Ada berita heboh beberapa saat lalu bahwa Zayn Malik meninggalkan group band musik One Direction. Sangat mengherankan. Ketika sedang di puncak, dia memilih keluar. Salah satu sebab adalah seperti perkataannya: “I am leaving because I want to be a normal 22-year-old who is able to relax and have some private time out of the spotlight.” Ternyata ada juga orang yang risih selalu menjadi sorotan publik. Dia ingin menjadi seorang biasa yang tidak dikenal, jauh dari kilatan lampu blitz, pena wartawan dan keingintahuan publik.
Di TV beberapa hari lalu ditayangkan presiden Jokowi melakukan sholat Jumat di sebuah masjid. Seusai sholat Jumat, presiden keluar dari masjid dan memasang kembali sepatunya. Kamera TV menyorot close up bapak presiden mengambil satu sepatu, memasangnya ke kaki, menalikan sepatu, mengambil satu sepatu lagi, memasangkan ke kaki, dan mengikatkan tali. Terlihat beberapa kali ikatannya gagal, mungkin karena sedikit grogi (emangnya enak disorot kamera trus-trusan?). Selesai menalikan sepatu, presiden berdiri mengibas-ngibaskan celana agar tidak terlipat. Maka selesailah pengikatan tali sepatu tadi. Yang seluruh prosesinya diabadikan dan disiarkan oleh beberapa stasiun TV dan kemudian ditonton berjuta rakyat.
Tiga menit penuh TV menyiarkan “pelajaran cara mengikat tali sepatu” tersebut tanpa edit atau potongan sama sekali. Dengan cemburu saya katakan saya sudah melakukannya ribuan kali mungkin puluhan ribu kali tapi tidak pernah satu kali pun ditayangkan TV. (Tanya kenapa?)
Itulah beratnya menjadi orang terkenal. Tindakan tidak boleh salah sedikitpun. Satu tindakan aneh akan tersebar ke seluruh dunia dan ratusan pemerhati akan memberikan komentar. Kemudian, dua ratus orang akan memuji dan dua ratus orang lainnya akan mencela.
Saya pernah nakal membayangkan seandainya saya menjadi seorang nabi. Duhai, alangkah beratnya beban saya. Tiap tindakan adalah hukum yang akan dipakai semua orang. Bukan hanya orang di jaman ini tapi juga manusia berabad-abad kemudian. Alangkah beratnya beban itu. Tidak boleh cengengesan, plonga-plongo, salah tingkah, mengantuk, apalagi tidur ngiler di pertemuan mana pun. Tidak boleh salah omong atau salah tindak. Cara makan harus benar, apalagi cara berpakaian. Satu jari terangkat, menjadi hukum. Satu telunjuk bergerak, itu menjadi ketentuan.
Alangkah bahagia orang yang tidak terkenal. Mereka bisa bebas melakukan plonga-plongo dan cengengesan. Seakan adanya tidak menambah, tiadanya tidak mengurangi.
Tapi sebaliknya, amalnya juga tidak dilihat orang. Ketika presiden mengikat tali sepatu menjadi liputan penting, saya mengikat tali sepatu menjadi “bukan apa-apa” yang sama sekali tidak layak dilirik media. Tidak perlu ada grogi, tidak perlu ada pencitraan.
Kata sufi Sofyan Ats Tsauri: “Amalku yang dilihat orang tidak aku perhitungkan.” Karena sangat sukar mengikhlaskan hati. Selalu terbetik rasa riya di hati ketika amal dilihat orang. Sofyan Ats Tsauri hanya bergantung pada amalnya yang tidak dilihat orang lain. Dia ingin menjadi seseorang yang tak dikenal. Cukup dia dan Tuhannya yang tahu amalnya.
Ada kisah nyata seorang anak muda kerjanya hanya nongkrong, ngobrol dengan teman-teman, kluyuran tidak karuan. Saudara-saudaranya banyak yang mencemooh anak muda itu. Meskipun sudah menikah tapi tidak punya pekerjaan tetap kecuali menjadi calo dan makelar di mana-mana. Dicela seperti itu anak muda itu hanya cengar cengir saja dan tidak mengubah kelakuannya.
Suatu hari anak muda itu sakit parah dan akhirnya meninggal. Saudara-saudaranya datang ke rumah karena menghormati orang tuanya. Tapi alangkah herannya mereka ketika melihat banyak sekali masyarakat miskin datang melayat. Dan masyarakat miskin itu menangisi jenazah almarhum dengan pilu. “Siapa lagi yang setia membagikan sembako kepada kami, ya anak muda”, kata mereka. Barulah para saudara itu tahu bahwa anak muda itu merupakan pahlawan bagi tetangga-tetangga miskin karena secara teratur membagikan sembako. Dan sangat ringan tangan membantu siapa pun yang kesulitan. An unsung hero yang tidak perlu pencitraan. Bahkan kalau bisa tidak ada orang yang mengetahui kebaikannya.
Sekarang ini ada banyak orang yang ingin kebaikannya diketahui semua orang. Sehingga mereka menjadi pahlawan ataupun selebritis. Dalam hal ini teknologi mutakhir membantu banyak. Tiap tindakan sekecil apapun mereka unggah di media sosial. Baik lewat foto maupun tulisan. Dan ratusan Like mereka jadikan pameran kebanggaan. Ratusan Jempol menjadi simbol kepopuleran. Hati-hati, riya mengintai hati. Antara riya dan sombong beda tipis loh.
Serpong, Mei 2015
2 thoughts on “Unsung Heroes”