Semua Orang Jahat

Hari itu saya naik motor berhujan-hujan. Pakai jas hujan sih. Tapi jas hujan sudah lima tahun dipakai. Sudah mulai rembes di banyak tempat. Bolong di sana sini. Alhasil baju dan celana basah sampai di tujuan. Dan pakaian itu terus saya pakai sampai kering dengan sendirinya.

Besoknya hujan-hujanan lagi. Juga besoknya. Yah, namanya juga musin hujan. Kita harus mensyukuri rahmat dari Allah.

Istri saya memperingatkan berkali-ikali agar jangan berhujan-hujan. Saya katakan dulu waktu kecil saya juga suka hujan-hujanan kok. Sehat-sehat saja tuh. Dia marah-marah, “Memangnya masih anak-anak?”

Uh, dia tidak tahu enaknya main hujan. “Jahat banget mengganggu kesenangan orang,” kata saya dalam hati.

Setelah itu saya demam tinggi. Sampai 39 derajat Selsius. Dipaksa istri ke dokter. “Wah, apa ini. Maksa-maksa orang. Kalau saya tidak mau kenapa?” tanya saya. “Hanya orang jahat yang memaksa kemauannya ke orang lain,” pikir saya.

Tiga hari kemudian terpaksa saya turuti kemauan istri untuk ke dokter. Soalnya diomelin terus selama itu. Kami ke klinik dekat rumah dan diberi obat antibiotik. Saya minum selama tiga hari. Demam berkurang tapi tidak hilang sama sekali. Masih ada demam ringan. Dicek temperatur 37,2 kadang 37,3. Istri mengatakan harus ke dokter lagi. Saya katakan, “Apaan sih maksa-maksa mulu.”

Tuh, kan. Makin kelihatan jahatnya. Suka memaksakan kehendak.

Tujuh hari kemudian demam ringan tak kunjung mereda. Akhirnya ikut saran istri untuk ke dokter. Kali ini ke rumah sakit, tidak lagi ke klinik. Di sana diperiksa darah Widal dan divonis dokter terkena typhus. Orang Jawa bilang tipes. Mungkin dari kata apes. Haha…..

Tidak perlu dirawat, tapi harus bedrest di rumah. Tidak boleh ke mana-mana. Owa…. itu dokter jahat banget. Padahal saya tidak pernah memukul dia. Mencubit pun tidak pernah. Tidak juga saya berkata kasar ke dia. Sebaliknya, saya selalu senyum ke dokter itu, mendengarkan kata-katanya, mengapresiasi dia. Apa balasannya? Saya disuruh makan 5 macam obat tiap hari. Tidak boleh ke mana-mana, harus tinggal di rumah. Dilarang makan pedas, asam, atau pun yang keras-keras. Owa… salah apa aku ke dia?

Di rumah pun istri dan anak-anak berkomplot dengan dokter itu. Tiap kali mau makan pedas, mereka melarang. Tiap mau makan gorengan, mereka ambil itu dariku. Duduk berlama-lama mereka mengatakan, “Bedrest, bedrest.” Disuruh tiduran di tempat tidur terus. Memangnya aku kepompong?

Owa… mengapa semua orang jahat padaku? Tidakkah mereka tahu bosannya bedrest mulu?

Bahkan keponakanku yang dokter juga jahat. Dia mengatakan, “Bedrest total, Om.” Bagaimana bisa ke kamar mandi kalau bedrest total? Memangnya orang tidak boleh kencing dan BAB gitu?

Saya berasio dengannya. “Itu yang dicek dalam test Widal kan ada 8 hal. Yang positif hanya 2. Berarti aku bedrestnya hanya 25% saja kan?”

Dia menjawab, “Nanti sehatnya ya hanya 25% saja.”

Jahat kan? Mendoakan pamannya hanya 25% sehat.

Anehnya semua ikut membenarkan. Kakak-kakakku, tetangga, teman yang tahu aku sakit mengatakan, “Jangan makan krupuk, gorengan, sambal. Makan cacing saja.”

Apa pulak ini? Yang enak-enak dilarang, malah disuruh makan cacing. Kebayang kan? Memangnya aku ikan yang mau dipancing? Mereka meninabobokan dengan mengganti namanya menjadi Vermint. “Sekali cacing ya tetap cacing,” kataku. “Biar pun diganti nama seratus kali”.

Owa, semua berkomplot dengan dokter itu. Kenapa semua orang jadi jahat padaku? Tidak habis pikir diriku….

Pamulang, Februari 2020

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *