Pertemuan Lolita

Ketemu ex teman-teman sekolah di rumah salah satu teman. Semua sudah mulai pada sepuh. Umur pada lolita (lolos lima puluh tahun).

Satu orang bercerita, “Saya masih sakit di pinggang kanan ke bawah bekas stroke. Kalau duduk lama, ketika berdiri harus diam dulu beberapa saat. Kaki digerak-gerakkan pelan-pelan. Semenit dua menit kemudian baru bisa jalan normal. Sepertinya peredaran darah ke kaki kurang lancar jika duduk. Kaki menjadi kebas tidak berasa. Perlu berdiri diam dulu agar peredaran darah ke kaki kembali normal, baru bisa jalan,” katanya.

Yang satu lagi menimpali, “Saya sakit pinggang juga. Ada ruas tulang belakang yang mungkin rusak tulang rawannya. Tidak bisa berdiri lama. Setengah jam berdiri sudah sakit dan harus segera mencari tempat duduk,” katanya.

”Apa sebabnya?” kami bertanya.

“Pernah mengangkat koper berat. Posisi punggung sedang agak melintir. Saat itu memang terasa ada bunyi krek. Dan sakit di pinggang bagian belakang. Tapi waktu itu saya masih muda, masih umur tiga puluhan. Jadi tidak saya rasakan benar,“ katanya.

“Jadi tidak diobati? Tidak ke dokter? Tidak ke tukang urut?” kami tanya.

“Tidak. Saya pikir akan sembuh sendiri dengan berlalunya waktu. Biasanya juga begitu. Ada teman yang mengingatkan itu nanti akan terasa sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Saya tidak hiraukan perkataannya. Eh, ternyata benar. Lima belas tahun kemudian terasa sakit di punggung bawah. Saya periksakan ke dokter. Dokter minta di X-Ray dan kelihatan ada yang rusak di ruas tulang belakang bagian pinggang,” katanya.

“Bisa disembuhkan?” tanya kami.

“Kata dokter tidak bisa. Yang bisa dilakukan adalah memperkuat dua otot kiri kanan tulang belakang dan juga otot perut. Ketiganya akan memegang ruas-ruas tulang belakang tetap berada di tempat,” jelasnya.

“Bagaimana caranya?” tanya kami.

“Kata dokter, olah raga terbaik adalah berenang. Padahal saya tidak bisa berenang,” kata teman.

“Lho, bukannya kamu dari Makasar? Kan dekat laut?” kami heran.

“Iya. Tapi tidak semua orang Makasar bisa berenang. Salah satunya adalah saya,” katanya malu-malu.

“Jadi kamu pilih olah raga apa?” tanya kami.

“Ya berenang. Saya telepon guru renang anak saya. Saya tanya apa bisa ngajarin bapaknya anak-anak? Dia bilang bisa. He he he …. Malu juga saya. Anak disuruh belajar berenang, bapaknya tidak bisa,” dia tertawa geli.

Kami ikut tertawa mendengarnya. “Terus bisa?” kami bertanya.

“Ya, bisa. Setelah beberapa kali dilatih saya bisa berenang. Kata dokter yang paling bagus berenang gaya bebas. Jadi saya belajar hanya gaya bebas saja,” kata dia.

“Jadi sekarang rutin berenang?” tanya kami.

“Awalnya iya. Dengan semangat 45, hujan deras pun saya pergi berenang. Sampai penjaganya geleng-geleng kepala melihat saya berenang di hujan deras. Tapi lama-lama kendor semangat. He he he … begitulah. Kurang istiqomah,“ katanya. “Sekarang kadang berenang, kadang jalan, kadang bersepeda. Kadang tidur saja di rumah kalau lagi malas. Inilah sifat manusia. Kurang konsisten,” dia mencari pembenaran.

“Memang konsisten itu berat,” kami mengiyakan. Karena kami juga merasakan.

“Saya beli sepeda statis,” kata teman itu melanjutkan. “Awalnya bersemangat. Setiap hari berlatih. Kemudian mulai berkurang dan berkurang. Sekarang sepeda statis saya sudah berkarat karena jarang dipakai. Kemudian saya beli threadmill. Awal semangat tinggi. Tiap hari 6.000 langkah. Makin lama makin berkurang. Akhirnya tidak sama sekali. Sekarang saya sudah berikan threadmill itu ke teman. Daripada jadi berkarat seperti nasib sepeda statis,” katanya mengakhiri cerita dengan desah napas panjang.

“Kalau saya punya masalah dengan tulang ekor,” kata teman yang lain.

“Kenapa ekormu?” tanya kami sedikit becanda.

“Tidak bisa duduk di tempat keras. Langsung tulang ekor sakit sampai saya menjerit.  Duduk di tempat empuk pun tidak bisa lama. Akhirnya saya akali pakai bantal leher,” katanya.

“Bantal leher yang seperti apa?” tanya kami.

Dia menunjukkan bantal leher, berbentuk seperti donat dengan lobang di tengah, tapi dengan satu sisi terbuka sehingga bisa dipasang di leher. “Di tengahnya ada lobang. Jadi ini beralih fungsi. Saya dudukin dan saya letakkan tulang ekor pas di lobang sehingga tulang ekor tidak tertekan. Pokoknya kalau bepergian jauh bantal leher tidak boleh terlupa,” katanya.

Yah, itulah perbincangan dengan teman-teman lolita. Satu per satu penyakit bermunculan.

Namanya umur tidak bisa dibohongi. Mobil pun jika sudah tua mulai bermasalah. Tenaga tarikan berkurang. Pintu mulai oglak alias tidak rapat. AC kurang dingin. Yah, itulah ….

Jika ada 100 organ tubuh, satu per satu mulai dihentikan fungsinya. Mengingatkan kita akan pemutus segala nikmat. Kapan semuanya akan dihentikan?

—oooOooo—

Ada saudara yang berpindah-pindah sholat. Satu hari dia sholat di musholla RT 01 yang penuh dengan orang-orang tua dan mendengarkan keluhan mereka mengenai kesehatan. “Supaya bisa bersyukur”, kata saudara itu. Tapi ada jeleknya. Ini membuatnya tidak bersemangat menghadapi kehidupan. Maka besoknya dia sholat di musholla RT 03 yang penuh dengan anak-anak, mendengarkan cerita mereka yang lucu-lucu. Mengenai sekolah (terutama ngomongin guru-guru), mengenai PR, mengenai sepak bola. Tertawa dan becanda dengan mereka. Dia mengambil semangat anak-anak itu agar tetap bergairah dalam hidup.

Selalu ada hikmah yang bisa diambil dari tiap kejadian di muka bumi inil.

Pamulang, Februari 2020

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *