Idul Adha di kampung cukup meriah. Tiga jenis sapi ditawarkan takmir masjid, menurut berat badannya. Tipe A dengan berat kurang lebih 300 kg, tipe B berat 275 kg, dan tipe C berat 250 kg. Silakan memilih qurban menurut kemampuan. Tentunya sepadan: makin berat hewan, makin mahal harga penawaran.
Saat malam Idul Adha, 12 sapi sudah terikat di depan masjid. Satu tipe A, empat tipe B, dan sisanya tipe C. Kita kagum melihat tipe A yang terlihat besar dibandingkan 2 tipe lain.
Ternyata kemudian ada yang mengirim satu sapi dengan berat 600 kg. Whoa, … ini dua kali lipat berat yang tipe A. Istilahnya, tipe istimewa.
Langsung kita berkerumun di sekitar sapi tersebut. Melihat, mengamati, menyentuh, dan mengagumi qurban besar ini.
“Berapa ya harganya,” kita saling bertanya. Yang jelas harganya jauh di atas 3 tipe sapi yang ditawarkan takmir. Mungkin dua kali lipat tipe A.
Pulang dari acara qurban saya berpikir itulah harga binatang. Nilainya ditentukan secara fisik, yaitu makin berat makin tinggi nilai.
Sangat berbeda dengan manusia. Nilai manusia sama sekali tidak ditentukan oleh fisiknya. Makin gemuk bukan berarti makin bernilai.
Tapi jika ditanya bagaimana menilai manusia, saya juga tidak bisa menjawab pasti. Apa tergantung akalnya? Ilmunya? Ya, bisa jadi. Karena perusahaan menggaji karyawan tergantung dari keilmuan mereka.
Tapi tidak hanya akal. EQ atau emotional quotient juga menentukan kualitas. Bahkan Daniel Goleman menyatakan pasti bahwa EQ jauh lebih menentukan dari pada IQ.
Kemudian, lebih lanjut ada SQ, Spiritual Quotient. Seberapa kuat kejiwaan seseorang mempercayai satu hal dan terus menerus berusaha mewujudkannya. Seperti Thomas Alva Edison yang percaya bahwa listrik bisa menjadi penerangan massal. Dia bereksperimen membuat bohlam lampu untuk bisa dipakai oleh semua orang.
Percobaan pertama gagal, kedua gagal, ketiga dan keempat juga gagal. Dia tidak berputus asa. Sampai 10 kali percobaan tetap gagal. Juga percobaan selanjutnya sampai keduapuluh, tiga puluh, empat puluh juga gagal total. Bahkan sampai percobaan ke-100. Semua gagal. Teman-teman dekatnya mengatakan: “Sudahlah, berhentilah mencoba. Engkau sudah banyak membuang-buang waktu dan uangmu”. Apa jawab Thomas Alva Edison? “Paling tidak, aku sudah tahu 100 cara yang salah. Sekarang aku akan mencoba cara ke 101.” Kemudian dia meneruskan percobaannya. Sampai akhirnya berhasil membuat bohlam lampu murah yang dapat mengubah energi listrik menjadi cahaya. Dan kitalah yang sekarang menikmati hasilnya. Malam menjadi menyenangkan karena ada lampu listrik yang menerangi.
Itulah IQ, EQ, SQ. Lebih lanjut bisa dibaca di buku-buku ESQ.
Dalam pandangan agama, yang paling mulia di mata Allah adalah yang paling bertaqwa. Jelas sudah, jiwalah yang menentukan nilai seseorang.Bukan gemuk kurusnya seseorang. Bukan ganteng-cantik maupun buruknya rupa.
Tapi mengapa orang sekarang lebih mengedepankan aspek fisik? Di Korea Selatan salon kecantikan sangat laris. Banyak orang di sana bisa menghabiskan ribuan dollar per bulan untuk memelihara wajahnya. Bukan hanya wanita, pria pun terdorong ke salon untuk memperbaiki penampilan. Tidak hanya make up atau potongan rambut, tapi juga mengubah bentuk dagu, pipi, memancungkan hidung, melebarkan mata, dan lain-lain operasi plastik.
Tidak ketinggalan asesoris eksklusif yang mahal menyertai. Dari baju, sepatu, tas, jam tangan, perhiasan sampai gadget modern.
Tidak lupa rumah diperbesar dan diperindah untuk mengundang decak kagum tamu. Perabotan luks dipasang dari lampu kristal, sofa kulit, TV raksasa, home theater yang berdentum-dentum. Dan jangan lupa, mobil pun harus berganti yang lebih trendi.
Semua fisik. Sementara di pinggir kampung beberapa orang mengais-ngais sampah mencari makanan tersisa.
Hiks … *tangismerana*…Mana hikmah qurban kita? Benarkah kita bagaikan sapi yang nilainya ditentukan oleh fisik semata?
Depok, Nopember 2014