Baru pindah ke Serpong, Tangerang. Sekarang saya kos di sana. Di dekat tempat kos ada masjid jami yang cukup besar. Seperempat jam sebelum subuh speaker di masjid sudah mulai memanggil. “Bangun, bangun, ayo sholat subuh berjamaah.” Kemudian dilanjutkan dengan bacaan pujian ke Allah swt ataupun sholawat ke Nabi saw. “Subhanallah, walhamdulillah, walaa ilaha illallah, wallahu akbar”, atau yang sejenisnya.
Ada satu orang yang sering melakukan itu, dan sekaligus juga mengumandangkan adzan. Kami panggil dia muadzin. Selesai sholat, saya perhatikan orang itu ketika berjalan keluar biasa melantunkan dzikir dengan suara yang sedikit dikeraskan. Kadang sholawat, kadang tahlil, kadang istighfar, atau apa pun semau dia sampai keluar dari masjid. Tadinya saya pikir dia over-acting memperdengarkan dzikirnya ke orang-orang. Tapi setelah saya perhatikan lebih jauh, ternyata dia buta. Melantunkan dzikir secara jahr (bersuara) dengan tujuan agar orang tahu dia mau lewat. Dia tidak ingin menendang orang yang ada di lintasannya. Dan orang-orang di sini sudah tahu itu. Mendingan menyingkir daripada ketendang.
Satu lagi cirinya adalah ketika berjalan keluar dia sering meletakkan punggung tangan di dahi, semacam ingin merasakan demam. Saya tidak tahu maksudnya. Sampai satu saat dia membentur rak buku di tiang masjid. Rak buku ini ditempelkan di tiang masjid, biasa untuk menaruh mushaf Al Quran. Memang menonjol kurang lebih 10 cm di tiang masjid, setinggi kepala. Beruntung saat terbentur dia menaruh tangannya di dahi. Sehingga hanya tangan yang terbentur, bukan dahi. “Oh, jadi itu sebabnya dia menaruh tangan di dahi”, batin saya dengan kagum.
Memikirkan ini saya jadi terharu. Dia punya kekurangan. tapi tidak kemudian menyerah dengan kekurangannya. Dia punya cara-cara sendiri yang saya nilai cerdas dan ulet dalam menghadapi kehidupan.
1. Dia tetap ke masjid biarpun dengan susah payah.
Perjalanan dari rumah ke masjid ditempuhnya dua kali lipat waktu yang dibutuhkan orang normal. Berjalan di dunia yang gelap gulita tentu sangat berbeda dengan berjalan di dunia terang benderang semacam kita (saya asumsikan bila anda bisa membaca ini berarti penglihatan anda normal). Perlu perencanaan lebih lama untuk dia bisa ke masjid. Toh, dia sampai di masjid lebih dahulu daripada kebanyakan kami. Saya yakin pahalanya lebih banyak daripada kita-kita yang normal.
2. Dzikir saat berjalan keluar dari masjid adalah satu solusi cerdas supaya orang tahu dia akan lewat.
Ada banyak orang yang menunduk ketika dzikir, atau memejamkan mata. Sayangnya dia tidak bisa melihatnya untuk kemudian menghindar. Dengan melantunkan dzikir, orang tahu bahwa dia akan lewat. Dan akan menyingkir sebelum kena tendang.
3. Menaruh tangan di dahi adalah cara cerdas menyikapi tonjolan rak di tiang-tiang masjid.
Dia tidak protes ke pengurus masjid mengenai rak yang acap kali membenturnya. Tapi dia “menerima nasib” dan mengantisipasi benturan dengan menaruh punggung tangan di dahi. Memang setinggi itulah rak buku di masjid kami. Jika pun terbentur, tidak parah-parah amat karena kena tangan bukan kepala.
Setelah adzan, dia melakukan sholat sunnah rawatib (sholat sunnah menjelang sholat wajib). Sering di tengah sholat sunnah dia berhenti dan bergegas ke tempat wudhu. Masih terdengar suaranya: “Nggak sopan nih kentut. Selalu saja tidak bisa ditahan. Ada yang nggak beres nih dengan badan”. Kami menahan senyum melihatnya berlalu. Memang beliau sudah tua, mungkin berumur 65 tahun. Dan umur segitu memang sukar menahan kentut. Dan kami maklumi saja ketika dia berwudhu di tempat wanita. Karena memang tempat wudhu pria lebih jauh. Harus keluar masjid terlebih dahulu. “Toh dia tidak bisa lihat…”, demikian pikir kami.
Salah satu kelemahan manusia adalah lupa. Ini terjadi kapanpun hatta ketika sedang sholat. Kadang lupa ini sudah rakaat ketiga atau keempat. Bagi kita yang makmum, cukup dengan melambatkan gerakan kita bisa mengintip apakah imam melanjutkan dengan duduk atau berdiri setelah sujud. Sedang untuk muadzin kami, dia harus senantiasa mengingat jumlah rakaat. Karena tidak bisa mengintip imam kala lupa.
Kelebihan ini saya sadari ketika suatu saat imam lupa jumlah rakaat. Ini kejadian di sholat asar. Saat selesai rakaat keempat imam meneruskan untuk berdiri. Sedang tepat di belakangnya ada muadzin kami. Karena tidak bisa melihat imam, sang muadzin langsung duduk tahiyat akhir. Makmum (saya termasuk) rada-rada tidak ingat jumlah rakaat. Tapi ketika melihat muadzin duduk tahiyat akhir, kami menjadi yakin bahwa ini sudah rakaat keempat. Maka ramai-ramai kami meneriakkan “Subhanallah” ke imam. Dan imam pun tidak meneruskan berdiri, tapi berubah menjadi duduk. Thumbs up untuk muadzin …. Tanpa beliau mungkin kami akan sholat asar lima rakaat.
Untuk masuk ke lobi masjid, ada 2 anak tangga naik. Dari lobi masjid ke ruang sholat, ada 3 anak tangga turun. Itu menambah kesulitan muadzin kami saat masuk maupun keluar masjid. Tidak heran ketika sudah bisa keluar dari masjid, beliau senantiasa menghela nafas lega, beristirahat sejenak dan berucap alhamdulillah. Suatu kelegaan yang ikhlas. Keluar masjid yang buat orang normal adalah suatu pekerjaan mudah ternyata menjadi kesulitan yang berarti buat muadzin. Tapi tetap tidak menyurutkan niat beliau untuk datang ke masjid.
Mendengar bacaan hamdallah yang penuh kelegaan dan keikhlasan, hati ini jadi teriris. Semoga Allah swt menerima segala amalmu, ya muadzin kami.
Serpong, Desember 2013