Membaca tulisan bapak Ade Armando mengenai LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender) dan bagaimana dia membelanya, saya mengelus dada. Padahal biasanya saya toleran terhadap pendapat-pendapat berbeda. Tapi ini sudah kelewatan. Bagaimana mungkin seorang pemikir bisa berpendapat bahwa LGBT itu normal adanya, sebaiknya dibiarkan, dan diberi hak selayaknya warga negara yang lain. Meski pun nadanya mempertanyakan apakah ada larangan dalam agama mengenai LGBT, secara tersirat sangat jelas bahwa beliau membolehkan LGBT.
Ini membuat saya bertanya-tanya kenapa orang bisa berpendapat berbeda bahkan bertolak belakang. Khusus dengan pak Ade Armando dan teman-temannya, saya menemukan setidaknya dua hal.
Beda keyakinan
Mereka berpendapat bahwa LGBT adalah suatu hal yang tidak bisa diubah. Seperti halnya orang yang tidak mempunyai tangan kanan. Maka adalah hal lazim ketika bersalaman dia memakai tangan kiri, menulis dengan tangan kiri, dan seterusnya. Itu normal adanya. Ketika orang lain memakai tangan kanan, dia memakai tangan kiri. Apalagi jika orang tidak mempunyai dua tangan, maka bersalaman dengan kaki mungkin merupakan hal yang biasa dan harus dimaafkan. Ini adalah hal yang tidak bisa diubah.
Maka perbedaan saya dan mereka mengenai LGBT adalah mereka mengatakan ini hal yang tidak bisa diubah, saya mengatakan hal ini bisa diubah. Saya – dan orang-orang yang menolak LGBT – mengatakan LGBT bukanlah hal yang alamiah. Seperti halnya pencandu narkoba, kebiasaan ini harus diperangi. Bukannya harus dilestarikan.
Di rumah sakit rehabilitasi narkoba, memang pencandu narkoba tidak langsung dihentikan konsumsinya. Kadang mereka diberikan narkoba juga, tapi dengan dosis terkontrol. Makin lama makin dikurangi.
Pertanyaan pertama, apakah LGBT itu baik? Dalam taraf ini saya percaya kami dan “mereka” masih sepakat bahwa LGBT buruk. Pertanyaan kedua, apakah LGBT bisa diubah? Nah, jawaban di taraf ini berbeda.
Jadi memang kalau di taraf kedua ini beda jawaban, maka perlakuan berikutnya berbeda. Yang percaya itu bisa diubah akan memperjuangkan mengubahnya, yang mengatakan itu alamiah dan tidak bisa diubah akan berusaha menerimanya. Kemudian mengayomi dan memfasilitasi.
God, grant me the serenity to accept the things I cannot change, the courage to change the things I can, and the wisdom to know the difference. (Reinhold Niebuhr quotes)
Beda latar belakang
Ketika seseorang punya latar belakang berbeda, penafsiran atas satu kata akan berbeda. Saya pernah berbicara dengan orang Malaysia dan mengatakan kata “butuh”. Dia sedikit tersentak dan menanyakan apa arti “butuh”. Saya katakan butuh berarti memerlukan. Dia terlihat lega dan mengatakan bahwa di Malaysia kata butuh berarti alat kelamin lelaki. Meskipun kata aslinya adalah “butoh”, tapi diucapkan mirip dengan “butuh”. Sejak saat itu saya sangat berhati-hati dan menghindari kata “butuh” di hadapan dia.
Satu peristiwa pun ditafsirkan mendua. Ketika presiden Jokowi blusukan ke pasar, Jokowi haters menyebutnya pencitraan dan mengecamnya habis-habisan; Jokowi lovers menyebutnya merakyat dan memujinya habis-habisan. Latar belakang yang berbeda, persepsi awal yang berbeda (hater or lover) membuat perbedaan penafsiran sangat bertolak belakang.
Di ayat Al Quran, ketika disebut kata istri, kami terbayang seorang wanita sebagai pendamping lelaki. “Mereka” yang lebih liberal mengatakan bisa saja lelaki sebagai pendamping lelaki. Walau kata yang dipakai adalah “litaskunu ilaiha” di mana “ha” dalam bahasa Arab adalah kata ganti perempuan, tapi “mereka” tetap keukeuh mempertahankan bahwa “ha” itu berarti pasangan hidup, bisa lelaki bisa wanita. Toh dalam berhubungan, kaum gay juga memposisikan diri salah satu sebagai “wanita” dan salah satu sebagai “lelaki” meski secara fisik dan biologis mereka sama-sama lelaki.
Memang sukar menyatukan pandangan. Apalagi jika ada hal-hal lain di luar dua di atas. Ego seseorang turut berperan. Ketika seseorang sudah menyatakan dia mendukung sesuatu, alangkah malunya ketika dia harus berbalik arah menjadi menolaknya. (“Mau ditaruh di mana mukaku?”) Atau jika dia punya anggota keluarga yang cenderung LGBT. Maka dukungan itu tidak melulu ilmiah tapi tercampuri dengan kepentingan pribadi.
Yang konyol adalah jika urusan dapur mempengaruhi intelektualitas seseorang. Berpendapat karena pesanan. Ini yang disebut menjual ayat dengan harga murah. Semoga kita dijauhkan dari yang terakhir ini.
Depok, Agustus 2015