Bertemu bekas Pembina Pramuka setelah tiga puluh tahun berpisah. Sebut saja nama beliau kak Satya. Beliau dulu terkenal sebagai pembina yang keras, tegas. Maklum latar belakang beliau dari ABRI. Tindakannya cekatan, perkataannya lantang, penuh kekuatan.
Tapi berubah total setelah tiga puluh tahun. Penyakit diabetes menggerogoti tubuhnya.
Matanya yang dulu tajam sekarang kabur dan kehilangan fokus. Penyakit diabetes telah menyerang mata, menjadikannya setengah buta. Dia dapat mengenali wajah seseorang setelah mendekat sejarak 30 cm. Suara yang lantang menjadi lirih. Gerakan yang tadinya gesit menjadi lamban dan berhati-hati. Temperamen yang meledak-ledak menjadi lunak. Sungguh penyakit telah mengubah total dirinya.
Saya coba menawarkan obat-obatan herbal kepada beliau. Sebagai penjual herbal saya tahu ada banyak obat herbal untuk diabetes. Jawab beliau: “Saya sudah mencoba bermacam-macam obat, baik yang herbal maupun kimiawi. Saya juga sudah mendatangi banyak pengobat, baik dokter maupun alternatif. Juga banyak diet yang dikatakan orang ampuh dan mujarab. Tapi ternyata keadaan saya tidak berubah. Diabetes tetap setia menghinggapi diri saya.” Dia menolak halus tawaran saya.
“Berobatnya kemana saja?” tanya saya. “Ya banyaklah. Tidak usah disebutkan satu per satu,” jawab beliau.
Kemudian beliau menceritakan saat itu ada satu pengobatan yang dikatakan bagus, sehingga beliau tertarik untuk mencoba. Di saat datang, ruang tunggu sudah penuh pasien. Sebelah beliau kebetulan ada pasien diabetes. Pasien tersebut bercerita bahwa sebelumnya kadar gulanya sudah mencapai 700 dari yang normalnya 200. Setelah tiga kali berobat, kadar gula turun menjadi 225. Dia datang keempat kalinya, berharap kadar gula bisa normal kembali.
“Saya menjadi sangat optimis mendengar cerita orang itu,” kak Satya melanjutkan. “Tapi ternyata sekali pengobatan tidak berpengaruh apa-apa. Kedua kali sama saja. Ketiga dan keempat juga tidak ada pengaruh. Kadar gula saya tetap tinggi. Akhirnya saya berhenti berobat ke sana.”
Ada lagi pengobat lain yang dikatakan banyak orang manjur. Ketika beliau sudah berkunjung ke sana satu, dua, tiga, empat, lima kali, ternyata tidak juga membuat penyakitnya berkurang. Beliau marah-marah, menganggap para terapis itu penipu. Karena memang sama sekali tidak terbukti dapat mengobati penyakit beliau.
Namun kak Satya tidak berputus asa. Tetap mencari pengobatan biarpun berkali-kali gagal. Dan berkali-kali pula beliau marah-marah karena tidak ada hasil meski telah keluar biaya tidak sedikit. Ada juga perasaan tidak terima akan takdir ketika orang lain berhasil sedang dia tidak. Ketika orang lain senyum gembira sedang dia tetap berkerut menderita.
Demikian, berkali-kali pengobatan memberikan efek yang berbeda-beda pada pasien. Beliau mengatakan: “Padahal penyakitnya sama, terapisnya sama, metode pengobatannya sama, obatnya sama, dan saya minum obat sesuai petunjuk pelaksanaan. Tidak pernah lalai sekalipun. Orang lain bisa sembuh, kenapa saya tidak?”.
Sempat marah dengan diri sendiri, dan tidak terima dengan takdir Allah. Merasa Allah pilih kasih. Orang lain sembuh sedang dirinya tidak, meski telah berusaha sekuat tenaga untuk menjalankan terapi dengan niat kuat dan bersungguh-sungguh.
Bisa dibayangkan. Dulu beliau biasa berpetualang. Naik turun gunung, hiking, jalan jauh merupakan kegiatan yang disukainya. Sekarang semua serba terbatas. Jangan kata jalan berpuluh atau beratus kilometer seperti dahulu, jalan beberapa ratus meter pun dirasa berat. Dijalani dengan lambat dan susah payah.
Tapi ada juga saat-saat dimana beliau berkontemplasi, merenung, apa yang menyebabkan penyakit ini tidak mau pergi dari diri. “Akhirnya tibalah saat pencerahan itu,” kata beliau. “Saya akhirnya berpikir tidak ada yang dapat menyembuhkan ini selain Allah semata. Itulah kesimpulan akhir saya,” beliau menegaskan.
Bahwa Allah-lah Sang Penyembuh. Allah satu-satunya yang memberikan ijin atas kesembuhan seseorang. Bukan dokter atau tabib. Bukan pil maupun tablet. Bila Allah berkehendak penyakit itu sembuh, maka tidak ada yang dapat menghalangi. Bila Allah berkehendak seseorang tetap sakit, maka ribuan tabib dan jutaan pil tidak akan dapat menyembuhkan.
Dengan pemikiran seperti itu, beliau menjadi cool down. Siraman kepasrahan nan sejuk mengaliri tubuh dan hati beliau. Hilang marah. Lenyap perasaan tidak terima. Mungkin Allah ingin memberi pahala yang lebih. Dengan penyakit ini, yang diinginkan hanyalah kepasrahan, tawakal, penerimaan akan takdir, kesabaran menjalani, serta kesadaran bahwa ini semua dari Allah dan atas ijin Allah. Penerimaan seperti itu akan mengalirkan pahala yang tak putus-putus. Pagi dan petang. Siang dan malam. Ya, itulah tujuan hidup utama. Mendapatkan keberkahan dari Allah semata. Di usia seperti ini, apakah yang bisa diharap selain adanya hidup yang lebih baik di akhirat kelak?
Semoga Allah swt memberkahimu, ya kak Satya. Engkau tetap pembinaku yang kuhormati dan kukagumi.
Depok, Nopember 2014