Seorang teman atau katakan sahabat saya meninggal dunia belum lama ini. Biasa runtang-runtung jalan bareng, mengerjakan proyek bersama, ngaji bersama, becanda bersama, tidak dinyana ternyata umur sudah sampai masa. Malaikat Izrail tidak pernah memberitahu kapan dia akan datang.
Masih teringat tiga pekan sebelumnya, kami punya proyek bersama. Janjian jam 1 siang dengannya. Sampai pada saatnya dia belum datang jua. Beberapa kali kutelepon tidak diangkat. Ketika akhirnya diangkat, dia mengatakan dia sedang sakit dan tidak bisa ikut mengerjakan proyek. Dari pagi katanya kepalanya pusing berat sehingga tidak bisa berbuat apa-apa. Saat itu terus terang emosi saya naik. Kalau tidak bisa kan seharusnya memberitahu sebelumnya. Telpon kek SMS kek. Jaman telekomunikasi canggih begini masa tidak bisa memberitahu. Ini tidak ada berita, tahu-tahu pada saatnya bilang tidak bisa. Emosi panas saya mengalir lewat hubungan telepon. Setelah itu, gelagapan saya mencari pengganti. Untung, proyek bisa juga selesai meski pakai terlambat.
Setelah sembuh, beliau beredar lagi. Sempat bertemu beberapa kali, kemudian beliau sakit lagi. Kali ini parah, sampai harus diopname di RSUD Tangerang Selatan. Dari masuk sampai lima hari setelahnya beliau tidak sadar diri. Saya sempat dua kali menengok. Hari kelima beliau menghembuskan napas terakhir.
Timbul penyesalan mendalam di hati, kenapa saya harus emosi waktu di telepon itu. Kemungkinan besar memang beliau saat itu terkena pusing berat yang tidak memungkinkan beliau untuk melakukan apa pun hatta menelepon atau mengirim SMS. Maafkan diriku, sahabat. Marah-marah tanpa tahu situasi dirimu. Seharusnya daku bisa lebih sabar saat itu. Kutundukkan kepala. Selamat jalan sahabat. Tugasmu di dunia telah usai. Semoga Allah swt merahmatimu.
***
Banyak berita kematian di koran, TV, atau media lain. Tapi “rasa” itu datang begitu menyentak ketika orang yang dekat dengan kita mengalaminya. Kesedihan, kehilangan, kekosongan salah satu ruang hati menjadi torehan dalam yang sangat menggoncang jiwa.
Perenungan lebih jauh adalah untuk diri sendiri. Sahabat saya lebih muda satu tahun dari saya. Dia sudah dipanggil Yang Kuasa. Sedang saya yang lebih tua dari dia masih diberi kesempatan hidup, entah untuk menambah dosa atau untuk menambah pahala.
Pertanyaan berikut tentu: Kapan giliran saya? Pertanyaan yang mengerikan bukan? Dan itu membuat saya merenung lebih jauh mengenai pencabut segala kenikmatan dunia ini.
Bukankah kematian itu berarti pulang? Siapa yang tidak gembira pulang? Perjalanan seperti apa pun tetap akan melelahkan dan kita gembira ketika bisa pulang dan bersantai di rumah. Ya, mati adalah pulang kepada Allah swt Sang Pencipta. Bukankah seharusnya Allah swt adalah suatu dzat yang kita cintai melebihi segala sesuatu di dunia ini? Bukankah seharusnya kita bergembira karena akan pulang dan bertemu dengan yang kita cintai? Bukannya malah takut!
Tapi tidak dapat dipungkiri kita semua merasa takut untuk menghadapi kematian. Hanya saja manusia terbagi menjadi dua golongan untuk menyikapi rasa takut akan kematian ini.
Golongan pertama menutupi rasa takut dengan berusaha melupakannya. Kemudian menenggelamkan diri dalam kenikmatan dunia.
Golongan kedua takutnya kepada kematian membuatnya melakukan persiapan yang cukup untuk menghadapinya. Orang-orang ini sadar bahwa kematian adalah suatu kepastian. Hanya waktunya saja yang tidak diketahui.
Jadi mau masuk golongan yang mana nih?
Teringat akan sebuah cerita sufi. Seseorang akan terjatuh ke sebuah sumur. Beruntung dia bisa memegang tali senggot dan bergantung padanya. Tapi dia terlalu lemah untuk bisa naik ke atas. Ketika dia melongok ke bawah, ternyata ada banyak ular berbisa menunggunya di dasar sumur. Menengok ke atas, dia melihat ada seekor tikus datang dan menggigiti tali tempat dia bergantung. Betapa takutnya dia. Kalau tikus itu berhasil memutuskan tali, maka dia akan terjatuh ke dasar sumur. Bila tidak mati pun, ular-ular itu akan mematuknya. Tiba-tiba ada tetesan madu dari atas. Orang ini mencoba mencicipi madu dan terasa sangat manis dan enak di lidah. Dan saat-saat selanjutnya dia menikmati tetesan madu itu, melupakan tikus di atasnya dan ular yang menunggu di bawah.
Dasar sumur adalah ibarat kematian kita, tikus adalah waktu yang terus menerus menggerogoti tali umur. Ular adalah adzab yang menanti. Tapi kita masih terus menerus menikmati manis madu dunia dan melupakan keduanya. Oh, manusia…
*tafakur*
Serpong, Februari 2016