Ketika orang yang kita hormati dan sayangi meninggal dunia, rasanya seperti hantaman ombak melanda kapal. Membuatnya oleng dan tidak tentu arah.
Ibarat membangun rumah dengan segala tabungan. Ketika sudah selesai, saat pulang kerja kita mendapat berita rumah terbakar habis. Tidak ada yang tersisa. Sedih, tak percaya, hati teriris dalam. Inilah rasa ketika beliau meninggal dunia. Berita yang mengejutkan karena tidak ada berita sakit sebelumnya.
Seorang Tante yang saya hormati. Teladan, sesepuh yang kata-katanya selalu kami ikuti. Punya kharisma meski bergaul merakyat. Selalu dihormati tanpa perlu pencitraan. Didengar kata-katanya karena pengalaman hidup yang kaya.
—oOo—
Di waktu kecil saya tinggal di Semarang. Lahir, SD, SMP di sana. Tiap lebaran saya menunggu-nunggu kedatangan Tante dari Jakarta. Dia orang yang senang silaturahim. Jalan-jalan “hanya” untuk menengok saudara. Padahal taraf ekonomi kami terpaut jauh. Kami di bawah, Tante di atas tinggi. Tapi tidak menghalangi beliau menyambangi kami.
Kami selalu mengharap kedatangan Tante. Pertama karena oleh-oleh Jakarta. Kue dari Jakarta kala itu saya rasakan sangat enak. Entah, mungkin karena kualitasnya beda. Olesan coklat atau potongan kejunya sangat terasa, lain dengan kue yang ada di Semarang. Maksud saya, kue yang mampu kami beli di Semarang. Maklum keadaan ekonomi keluarga kami lemah, kalau tidak bisa dikatakan ndlosor. Membeli kue adalah suatu kemewahan langka bagi kami. Itu pun tidak mungkin membeli yang mahal. Barangkali waktu itu pun di Semarang ada kue yang seenak kue Jakarta. Tapi tidak pernah kami beli. Kami sudah biasa mendengar ibu menolak permintaan kami dengan perkataan, “Mahal. Jangan beli yang itu”.
Jadi kedatangan kue Jakarta adalah idaman tahunan kami.
Kedua, tiap kali mau pulang Tante tidak lupa ninggali kami, anak-anak. Buat kami yang tidak pernah mendapat uang saku, tinggalan ini sesuatu banget. Maka berita kedatangan Tante selalu kami harap sangat.
—oOo—
Kami sekeluarga pernah ke Jakarta. Saya diajak Tante dan anak-anak mereka main. Kemudian mampir ke Pasar Baru. Dibelikan celana jeans oleh Tante. Ditanya Tante, “Mau celana jeans?” Saya tersenyum malu. Tidak tahu mau menjawab apa karena tidak tahu apa itu jeans. Baru sekali itu mendengar kata jeans.
Dan itulah celana jeans pertama saya dan satu-satunya bertahun kemudian. Dengan bangga saya pamerkan ke teman-teman di Semarang, “Ini celana jeans. Seko Jakarta lho.”
—oOo—
Ekonomi keluarga kami sangat sederhana kala itu. Untuk kami, pensil adalah sesuatu kemewahan. Di sekolah, kami memakai pensil sampai pendek, sampai tidak bisa lagi dipegang. Baru berani minta ke orang tua.
Peghapus adalah mimpi indah. Kami memakai karet gelang diikatkan ke pangkal pensil sebagai pengganti penghapus. Tentu tak sebersih penghapus asli. Maka menulis pun hati-hati jangan sampai salah.
Penggaris tidak punya, rutin pinjam dari teman. Kalau ada pelajaran pakai garis menggaris, saya selalu paling belakangan mengumpulkan. Menunggu kelonggaran teman kiri kanan depan belakang untuk bisa meminjam penggaris mereka. Tapi heran, itu tidak membuat kami kehilangan keceriaan masa kecil.
Untuk membantu kami, Tante menawarkan mengambil kakak pertama sebagai anak angkat. Jadilah kakak ngèngèr ke Tante selama SMP dan SMA. Beban keluarga kami agak berkurang dengan bantuan ini. Setelah lulus SMA, kakak diterima bekerja sebagai pramugari. Ini sedikit mengangkat martabat keluarga kami.
—oOo—
Saat ayah saya mendapat kerja di Jakarta, dia tidak dapat membawa keluarga karena tidak punya tempat tinggal. Tante menawarkan rumahnya untuk ditinggali. Jadilah ayah dapat memboyong keluarga dari Semarang ke Jakarta dan menempati rumah besar Tante di bilangan Matraman. Ya, di tengah kota. Benar-benar berasa mewah.
Itu beberapa jasa Tante yang sampai kapan pun tidak dapat tuntas kami balas.
—oOo—
Tante ini orangnya grapyak. Ramah ke semua orang. Tidak peduli miskin atau kaya. Kalau kami bertamu ke rumah beliau, selalu ada saja cerita yang membuat gayêng ngobrol dengan beliau.
Satu lagi sifat terpuji beliau adalah bisa menyimpan rahasia. Kami dapat menceritakan segala persoalan hidup bahkan aib kami tanpa takut beliau akan membocorkannya ke orang lain. Sehingga tiap ada kejadian di keluarga kami, beliaulah sesepuh yang pertama tahu. Karena kami percaya beliau amanah menjaga rahasia. Di samping dapat memberi arahan serta nasehat kehidupan berharga.
Kini beliau sudah tiada. Di tengah musim badai virus melanda. Bukan, beliau tidak terkena Corona, tapi meninggal karena memang sudah sepuh. Betapa sedih ketika kami tidak bisa berlama-lama bertakziyah di rumah beliau. Tapi yang jelas, nama beliau tinggal di hati sebagai teladan, penasehat, penolong, yang tak tergantikan. Ya, Allah, saya bersaksi bahwa beliau termasuk ahlil khoir. Semoga diampuni segala dosa, diterima segala amal, dilipatgandakan pahala, disambut di sisi-Nya dengan segala penghormatan.
In memoriam, Tante di Pulomas, Jakarta.
Pamulang, Maret 2020
Kamus Jawa:
Ndlosor : tiarap
Ninggali : memberi uang saat akan pergi
Seko: dari
Gayêng : akrab, menyenangkan
Grapyak: senang menyapa, ramah
Ngèngèr: ikut menumpang hidup