Karyawan vs Pengusaha

Building

Mendapat pesan dari seorang teman. Dahulu dia bekerja di sebuah perusahan besar telekomunikasi di Abu Dhabi. Satu setengah tahun lalu dia kena PHK. Kemudian pulang ke Yordania. Sampai sekarang tidak punya pekerjaan. Juga tidak punya bisnis. Penghasilan nol.

Lima anaknya masih sekolah. Dari hari ke hari hidup dari tabungan yang terus menerus berkurang. Ketika ditanya pertanyaan sederhana “how are you”, jawaban beliau panjang: “Im in Jordan since one and a half years ago, and without job nor business nor income since then. Nothing has happened except spending lots of my gratuity money for education fees of my 5 daughters in Jordan. Not a single penny of income since one and half years ago.

Saya mengenal beliau dahulu memang cukup trendy untuk ukuran umur lima puluhan tahun. HP ganti tiap enam bulan. Kadang ke kantor membawa HP, tablet, sekaligus laptop. Membeli home theater terbaru karena tergoda iklan “for your pleasure viewing”. Dandanan selalu necis dengan jas dan dasi setiap hari. Punya 10 bawahan yang selalu siap mendengarkan petuah beliau. Cukup dihormati saat itu.

Ketika di PHK umur beliau sekitar 53 tahun. Tidak tahu persis sih, tapi kira-kira segitulah.

Sedih mendengarnya. Tapi saya di Indonesia dan dia di Yordania, bagaimana bisa menjangkaunya? Sedang yang kesulitan di Indonesia saja saya tidak bisa membantu banyak. Lagi pula saya takut pekerjaan di Indonesia akan dianggap sangat kecil gajinya dibanding gaji di Abu Dhabi. Jadi saya tidak berani mengajukan usul untuk datang ke Indonesia.

Saya ingin menyarankan untuk usaha sendiri di Yordan, kecil-kecilan. Mungkin buka warung makan, bikin kue, buka toko baju, atau lainnya sesuai selera beliau. Karena saya yakin uang pesangon dari perusahaan yang dulu cukup besar. Tapi saya takut jiwa entrepreneur beliau belum terbentuk sehingga bahkan akan membuang-buang waktu dan uang. Usaha tidak akan berhasil kalau jiwa entrepreneur tidak ada. Setidaknya harus ada minat dan semangat untuk berwirausaha. Dan berjuang keras dari bawah.

Jadi pengusaha beda dengan karyawan. Terutama karyawan perusahaan besar. Beliau sudah biasa bekerja pada satu sistem yang tiap bagian punya tugas masing-masing. Ketika kita bekerja menjadi karyawan, sudah ada job descriptions. Apa yang menjadi tanggung jawab kita sudah terinci jelas. Ada pedoman tugas apa yang harus kita lakukan. Dan biasanya – teman saya itu termasuk – karyawan menghindari pekerjaan yang tidak masuk dalam job descriptions mereka. Cenderung menolak pekerjaan yang dirasa di luar jobdes. Malahan yang masuk jobdes pun kalau bisa dilempar ke orang lain.

Ketika menjadi wirausahawan jobdes tidak jelas,. Bahkan tidak ada. Tidak ada guide lines pekerjaan apa yang menjadi tanggung jawab kita.

Seorang pekerja cenderung menolak pekerjaan, seorang pengusaha cenderung ingin menerima pekerjaan apa pun.

Karyawan pasif menunggu pekerjaan datang padanya, pengusaha aktif mencari pekerjaan.

Pekerja digaji tiap bulan, ada atau tidak ada pekerjaan. Pengusaha berpenghasilan naik turun. Bisa besar sekali, bisa nol, bahkan minus alias merugi jika sedang apes.

Maka jiwa menabung dan mempersiapkan diri menyongsong paceklik adalah hal yang wajib untuk pengusaha.

Karyawan bisa menghabiskan gajinya dalam sebulan dengan keyakinan akan menerima gaji yang sama di bulan depan. Pengusaha hanya bisa memprediksi pendapatannya bulan depan dengan prediksi yang lebih sering salah.

Maka menganjurkan seorang yang biasa menjadi karyawan di satu perusahaan besar untuk banting setir menjadi pengusaha bisa menjadi blunder. Bisa-bisa seluruh tabungannya habis. Dan nantinya yang mengusulkan akan kena tudingan “gara-gara kamu yang menyarankan…”.

Lebih baik tutup mulut. Tidak perlu sok tahu ah.

Maaf, teman. Tidak bisa membantu.

Depok, Juli 2016.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *