Melihat Ayam

MelihatAyam2

Senang melihat ayam mencari makan. Membuka-buka tanah dengan kakinya, kemudian mematuk-matuk mencari yang bisa dimakan. Tidak ada di sini, jalan sedikit ke kiri, melakukan hal yang sama. Bergeser ke depan, melakukan hal itu lagi. Berhenti sebentar melihat sekitar. Mengebas-ngebaskan sayap dengan bertenaga, berkokok panjang sambil membusungkan dada.

Kelihatannya tidak ada beban sama sekali. Makan cukup untuk hari itu. Ketika sore sudah kenyang, mereka dapat tidur dengan nyenyak. Sama sekali tidak khawatir akan rejeki hari mendatang. Tidak pernah menabung untuk besok maupun lusa. Apalagi untuk tahun depan.

Pagi-pagi bangun untuk berkokok sekuatnya, menyambut pagi dengan bersemangat dan gembira. Yang anak-anak juga berkotek bersautan saling menyapa. Padahal belum tahu hari ini akan makan apa. Mengapa mereka tidak pernah khawatir? Mengapa mereka tetap bersemangat setiap harinya?

Apa mereka sangat beriman sehingga mereka yakin Allah swt menjamin rejekinya setiap hari? Eit, tunggu dulu. Perkara agama aku lebih pandai dari pada ayam. Mereka tidak tahu kitab suci, aku sering membacanya. Mereka tidak tahu hukum halal haram, aku mempelajari di sekolah. Mereka tidak tahu mana wajib mana sunnah, aku tahu itu. Aku lebih tahu agama daripada ayam-ayam itu. Tapi kenapa mereka lebih beriman daripada aku? Kenapa mereka sangat yakin Allah swt menjamin rejeki mereka? Sehingga mereka dapat tidur nyenyak setiap malam biar pun tidak punya tabungan hatta untuk makan besok pagi.

Sedang aku, aku bekerja keras untuk kehidupanku. Aku berpikir harus punya tabungan untuk esok, lusa, tahun depan, dan sepuluh tahun mendatang. Jika tidak punya tabungan, apa yang akan terjadi padaku dan keluargaku? Apa bisa makan? Anak-anakku bisa terus sekolah? Punya rumah untuk tempat bernaung? Punya pakaian untuk Idul Fitri? Sehingga aku sangat hemat untuk bersedekah. Sangat berhitung untuk memberi. Sangat ketakutan kehabisan tabungan.

Aku teringat ustadz Rahmat Abdullah yang hidup sangat sederhana. Istrinya mengatakan: “Abi, uang kita sudah habis nih. Tidak tersisa lagi untuk makan besok.” Dan sang ustadz berseri-seri mendengarnya. “Wah, ummi. Itu berarti sudah saatnya Allah swt mengisi dompet kita lagi. Aduh senangnya.”, kata ustadz gembira. Sangat optimis dan percaya penuh akan penjagaan Allah swt.

Ada juga kisah Nabi Sulaeman as, nabi dan raja yang kaya raya. Satu saat dia ingin memelihara seekor semut. Maka dikurungnya seekor semut di kandang, dan Nabi Sulaeman as mengatakan akan memelihara dan menjamin makannya. Ketika ditanya berapa kebutuhan makannya setiap hari, semut menjawab satu butir nasi. Nabi Sulaeman as sangat pede bisa memelihara semut itu karena kekayaannya memang luar biasa.

Hari pertama, Nabi Sulaeman as memberikan satu butir nasi kepada semut itu. Esok harinya, Nabi Sulaeman as menengok semut itu dan menemukan bahwa semut itu hanya makan setengah butir nasi. Yang setengah lagi masih tersisa. Nabi Sulaeman heran dan menanyakan mengapa semut tidak menghabiskan makannya. Semut menjawab: “Sebelumnya rejekiku dijamin oleh Allah swt. Aku tidak ragu sedikit pun akan itu. Sekarang aku dijamin olehmu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padamu esok hari. Karenanya aku harus menyisakan setengah jatah makanku sebagai persiapan.” Jawaban yang sangat menohok Nabi Sulaeman as. Dan pada akhirnya dia harus mengakui bahwa jaminan Allah swt jauh lebih baik dari pada jaminannya.

***

Kembali ke ayam, kenapa mereka terus menerus gembira dan bersemangat padahal banyak kesenangan yang tidak pernah mereka rasakan?

Ayam tidak pernah merasakan punya tangan. Dia tidak pernah merasakan enaknya ngupil. Atau mengorek-ngorek telinga. Atau menggaruk bagian tubuh yang gatal.

Dia juga tidak punya gadget. Apa enaknya hidup tanpa Whatsapp dan Facebook? Betapa banyaknya guyonan dan meme yang dia lewatkan. Atau candaan antar teman biarpun saling berjauhan.

Apa ayam pernah berkeliaran di mall? Wah, bisa dikejar-kejar satpam. Mereka tidak pernah merasakan enaknya window shopping di mall ber-AC. Melihat, menyentuh, mengagumi barang-barang yang tidak terbeli.

Ayam tidak pernah merasakan enaknya Mc Donald atau Pizza Hut. Atau duduk santai ngopi di Starbucks. Alangkah kosongnya hidup mereka !!!

Kesenangan yang didapat ayam-ayam itu jauh lebih sedikit dari pada yang aku dapatkan. Terus, kenapa mereka bisa berbahagia dan aku tidak? Mengapa mereka begitu bersemangat menjalani hidup sedang aku sering loyo?

Ah, tak habis pikir … Alangkah anehnya ayam-ayam itu !!!

* jedotinpalaketembok *

Serpong, Juni 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *