Seorang teman sedang sakit keras. Kanker stadium lanjut. Sudah berobat ke mana-mana, baik ke dokter konvensional maupun alternatif, baik obat kimia maupun herbal. Keadaannya dari hari ke hari bukan makin membaik tapi malah makin memburuk. Terakhir dia memutuskan untuk menjalani terapi kemo dan penyinaran. Paketnya 10 kali kemo, dilakukan setiap pekan sekali. Dan disinar setiap hari Senin sampai dengan Jumat. Baru delapan kali kemo keadaan beliau menurun drastis. Dibawa ke rumah sakit yang biasa melakukan kemo, ternyata mereka tidak punya ruang ICU. Padahal di situ terima BPJS. Sang istri mencari rumah sakit lain yang punya ICU, ternyata semua rumah sakit penuh. Dicoba segala koneksi dokter untuk mencari ruang ICU, tidak ada yang bisa mendapatkan. Akhirnya ditemukan satu rumah sakit swasta yang bisa menerima. Sayang rumah sakit itu tidak menerima BPJS. Sang istri memutuskan untuk membawanya ke sana. Langsung masuk ICU. Sempat drop, tapi kemudian keadaan teman saya stabil lagi. Ketika saya dan istri saya menengok, beliau masih di ICU dan tidak bisa berkomunikasi. Kami hanya ngobrol dengan istri beliau.
Masuk ICU hari Sabtu pagi, dirawat 4 hari, sempat dipindah ke ruang biasa selama 2 hari. Tapi kemudian drop lagi sehingga harus kembali masuk ICU. Sekarang sudah 2 pekan di rumah sakit itu.
Istinya menunggu terus di RS, tidak pulang ke rumah. Memang kadang keadaan memburuk. Kemudian harus ada yang tanda tangan ketika ada tindakan. Tanda tangan ini perlu karena kadang tindakan bisa membahayakan pasien, atau tindakan ini memerlukan biaya yang tidak sedikit. Misal untuk satu obat antibiotik, istrinya harus tanda tangan tagihan sebesar Rp 43 juta. Ada lagi tindakan seharga 7 juta. Obat lain seharga 11 juta. Kalau “hanya” seharga di bawah 2 juta, RS tidak meminta persetujuan keluarga. Si istri mengatakan: “Saya merem saja tanda tangannya. Yah, mau gimana lagi”.
Entah sudah berapa ratus juta, mungkin milyar, untuk penyakit ini. Kami melihat sang istri sudah kuyu. Di samping lelah badan, juga lelah pikiran. Mungkin juga lelah keuangan. Kami tidak bisa membantu banyak selain menghibur hatinya. Semoga Allah swt memberikan jalan terbaik untuk mereka. Amin.
Dalam perjalanan pulang saya merenung. Ketika sakit, sungguh, harta berapa pun menjadi tidak berharga. Ingat pepatah: Uang bisa membeli obat tapi tidak bisa membeli kesehatan. Uang bisa membeli rumah tapi tidak tempat tinggal, bisa membeli buku tapi tidak pengetahuan dan kebijaksanaan.
Karenanya salah satu intelligence yang penting dimiliki adalah health intelligence. Ini meliputi banyak hal: makanan, kebersihan, gaya hidup, termasuk juga mengelola stress. Jika pikiran jernih, tenang, kebanyakan penyakit akan menghilang. Agama bisa berperan banyak dalam hal ini.
Satu lagi adalah sedekah. Jika melihat begitu banyak biaya rumah sakit, rasanya kita ingin banyak bersedekah. Bukankah lebih baik, lebih sehat, lebih melegakan mengeluarkan uang untuk sedekah dibanding untuk biaya rumah sakit? Sedekah itu menggembirakan penerima maupun pemberi. Benar, bahkan sedekah lebih banyak memberi manfaat kepada pemberi, bukan kepada penerima.
Dengan bersedekah hati menjadi bahagia. Dengan bahagia penyakit akan menjauh. Saya teringat satu cerita seorang ibu yang sakit-sakitan. Ibu ini seorang janda. Dia rajin memberikan bunga di makam suaminya. Tapi karena sering sakit dan tidak bisa bepergian terlalu banyak, dia biasa menitipkan uang kepada penjaga makam untuk dibelikan bunga dan diletakkan di makam suami.
Suatu hari dia datang ke makam suaminya dan tidak melihat ada bunga di sana. Padahal baru kemarin dia memberi uang kepada penjaga makam untuk meletakkan bunga. Dia marah tak terhingga, segera dicarinya penjaga makam dan didampratnya habis-habisan. Sang penjaga makam tidak menjawab, tapi dia mempersilakan ibu tersebut untuk ikut bersamanya. Sang ibu dibawa ke perkampungan di belakang makam dan di sana ada banyak orang miskin beserta anak-anak mereka. Kata sang penjaga makam ke mereka: “Inilah ibu yang biasa berderma ke kalian”. Maka berebutlah mereka menyalami dan mencium tangan ibu tersebut. Kebahagiaan dan rasa terima kasih terpancar di muka-muka mereka.
Sang ibu terhenyak bingung, dia tidak mengerti. Kemudian si penjaga makam menjelaskan: “Orang yang sudah meninggal tidak memerlukan bunga. Mereka yang masih hidup lebih memerlukan uang tersebut. Tiap kali ibu memberi uang untuk membeli bunga, saya berikan ke mereka.” Barulah ibu tersebut mengerti. Dan melihat muka-muka tersenyum itu dia pun akhirnya ikut tersenyum.
Singkat cerita, ibu itu lalu secara rutin memberikan santunan ke orang-orang miskin tersebut. Uang yang biasanya dipakai membeli bunga disedekahkan ke mereka. Ibu itu larut dalam kegembiraan orang-orang miskin. Bermain bersama mereka. Duduk dan bercengkerama dengan orang-orang yang dibantunya. Yang ajaib adalah, penyakitnya berangsur-angsur sembuh sehingga akhirnya ibu itu sehat sama sekali. Rupanya hati bahagia berpengaruh pada kesehatannya. Dan hati itu bahagia ketika berbagi. Sungguh, manfaat sedekah itu lebih banyak kepada pemberi, bukan kepada penerima.
Di satu seminar bisnis di Jakarta, sang pembicara pernah bercerita ada seorang direktur yang menyewa satu perusahaan iklan untuk membuat annual book. Setelah lewat perencanaan panjang, disepakati isi dari annual book itu. Salah satunya adalah pengantar dari direktur beserta foto direktur sedang tersenyum.
Sang direktur kemudian pergi ke studio foto untuk membuat foto diri. Ketika hasilnya diberikan ke pembuat buku, mereka mengatakan senyumnya tidak alami. Cenderung dipaksakan. Kemudian minta foto yang lain. Direktur itu pergi ke studio foto yang lain. Hasilnya sama saja. Senyumnya seperti senyum terpaksa.
Putus asa, sang direktur mengontak temannya. Temannya mengatakan: “Gampang itu. Sediakan saja bayarannya dua ratus ribu.” Direktur itu menjawab: “Siap. Di studio foto pun saya bayar lebih dari itu. Tapi bener, kamu bisa membuat foto itu?” Temannya menjawab: “Beres, percaya padaku. Tapi, dua ratus ribu itu dalam bentuk sepuluh ribuan ya. Semuanya harus baru, kinclong, tidak kusut sama sekali.” Direktur itu heran: “Kenapa harus begitu?”. Temannya hanya menjawab: “Kamu mau tidak?” Akhirnya mereka sepakat hari Sabtu pagi mendatang mereka akan membuat fotonya.
Sabtu pagi teman itu datang ke rumah direktur. Sang direktur sudah siap dengan jas dan dasinya. Temannya bertanya: “Uangnya sudah disiapkan?” Direktur menjawab sudah. Temannya berkata: “Ayo kita berangkat”. Direktur bertanya: “Lho, kemana?” Temannya tidak mau memberitahu: “Pokoknya ikut saja”.
Mereka berkendara dengan mobil ke sudut-sudut kota. Di satu tempat, temannya minta berhenti. “Di sini?” Tanya direktur itu heran. Mereka di emperan jalan. Tidak tampak sama sekali studio foto. “Ya, di sini”, kata temannya. Di dekat situ ada banyak anak jalanan. Temannya memanggil mereka semua dan berbisik ke direktur: “Beri mereka uang, satu orang sepuluh ribu.” Satu per satu anak jalanan itu diberi uang sepuluh ribu baru.
Betapa gembira anak-anak jalanan itu, senyum dan tawa tidak bisa ditahan. Ada yang jungkir balik saking senangnya. Ada yang menempelkan uang itu ke dahi mereka. Ada yang melambai-lambaikan uang itu. Ada yang menciumi uang itu berkali-kali. Rupanya sangat jarang mereka mendapatkan uang baru yang kinclong macam itu. Dan diberi orang lagi. Direktur itupun mau tak mau menjadi tertawa melihat tingkah laku mereka. Kemudian temannya mengabadikan momen itu dengan kameranya. Berkali-kali kameranya merekam wajah direktur. Dan ternyata itulah foto-foto terbaik sang direktur. Senyum terlihat tulus, wajar, dan benar-benar keluar dari hati. Foto itulah yang dipakai di annual book. Rupanya, senyum tulus muncul ketika melihat orang lain berbahagia.
Eh, hati-hati. Bahagia itu menular lho.
Depok, Mei 2016