Dapat undangan mengikuti suatu acara. Tertulis acara akan dimulai jam 7 pagi. Diberi embel-embel “Mohon datang 15 menit sebelum acara dimulai”.
Saya datang di tempat jam 7 kurang lima menit. Sudah deg-degan, malu kalau terlambat karena harusnya datang sepuluh menit sebelumnya. Maklum, saya bawahan yang bukan VIP. Terlambat bukanlah predikat baik bagi karyawan rendahan.
Ternyata belum ada tanda-tanda acara akan dimulai. Setengah jam kemudian masih belum terlihat tanda-tanda. Sejam kemudian para peserta sudah resah gelisah ketika acara belum juga dimulai. Juga tidak ada pengumuman kapan akan dimulai. Kita tidak berani meninggalkan tempat karena tidak ada perkiraan waktu yang jelas.
Acara baru dimulai jam setengah sembilan. Satu setengah jam terlambat dari waktu tertera. Tidak ada rasa bersalah dari panitia. Tidak ada kata mohon maaf. Tidak ada raut penyesalan sudah membuat orang bergegas-gegas datang hanya untuk kemudian menunggu. Ada yang rumahnya jauh sehingga tidak sempat sarapan.
Ketika ditanya kenapa dicantumkan acara dimulai jam 7 bahkan lima belas menit sebelum jam 7, mereka menjawab ringan biar sudah banyak peserta datang sebelum acara dimulai. Jadi tidak malu dengan tamu VIP yang diundang. Oh…
—oOo—
Memulai acara terlambat itu menghukum orang baik. Yang datang tepat waktu. Mereka mendapat hukuman disuruh menunggu lama. Yang datang terlambat diapresiasi. Mereka tidak perlu menunggu. Bukankah itu terbalik? Di mana konsep reward punishment nya? Atau ada reward punishment tapi kepada orang yang salah?
—oOo—-
Ketidakadilan ini sering terjadi di Indonesia. Banyak waktu terbuang sia-sia karena terlambat memulai suatu kegiatan. Dalam kasus saya di atas, ada 40-an orang menunggu selama satu setengah jam dari 60 orang yang diundang. Sisanya, 20 orang, menunggu kira-kira satu jam. Jadi waktu yang terbuang adalah 40 orang x 1,5 jam ditambah 20 orang x 1 jam atau sama dengan 80 orang-jam (man hours).
Jika satu hari waktu kerja adalah 8 jam, maka 80 orang-jam ini setara dengan satu orang tidak masuk selama 10 hari. Atau selama 2 pekan dengan 5 hari kerja sepekan. Kalau orang tidak masuk 2 pekan, dia bisa dikeluarkan dari tempat pekerjaannya. Tapi membuang sia-sia 80 orang jam untuk menunggu, ini tidak dianggap pelanggaran. Perlu belajar matematika lagi untuk mengetahui perbandingan ini.
—oOo—
Sudah waktunya kita membiasakan diri memulai acara tepat waktu. Jika ingin memulai jam 9:30, beranikah kita menulis bahwa acara akan dimulai jam 9:30? Di banyak undangan, panitia menulis acara dimulai jam 9 ketika mereka merencanakan akan memulai jam 9:30. Setengah jam kali 50 orang itu adalah 25 orang-jam atau setara dengan 3 hari kerja.
—oOo—
Jeleknya, orang menunggu tanpa ketentuan ini menumbuhkan budaya buruk lain. Mereka dipaksa untuk ngobrol ngalor ngidul tidak karuan tanpa topik jelas. Jika anda di satu ruangan selama satu setengah jam, apakah anda akan diam saja? Atau memulai percakapan dengan orang di kiri kanan anda? Biar pun tanpa ada topik jelas. Biar pun sebenarnya waktu bisa dipergunakan lebih efektif jika anda berada di meja kerja.
Apa boleh buat, ngobrol asal ngobrol ini kemudian menjadi budaya kita. Ini adalah budaya yang sama sekali tidak produktif. Tidak ada target, tidak ada pencapaian, tidak ada perencanaan. Mendidik kemalasan. Ini menyia-nyiakan waktu. “Time is money”, kata orang Inggris. “Al waqtu saifun, waktu adalah pedang”, kata orang Arab. “Waktu adalah ngobrol”, kata orang Indonesia.
Dan harap diingat, keterlambatan ini menular. Saat pertama, orang akan datang tepat waktu , berharap panitia akan memulai acara sesuai waktu di undangan. Ketika dimulai terlambat, mereka akan merasa terganggu, mengomel panjang pendek, dan kalau bisa akan protes.
Tahap kedua, mereka terbiasa dengan keterlambatan, sehingga ketika menunggu mereka terlihat santai ngobrol dengan kiri kanannya. Tidak ada muka kesal gelisah. Santai. Bahkan mulai menyenangi kemalasan yang dilakukan.
Tahap ketiga, ketika menjadi panitia mereka juga akan memulai acara terlambat. “Biasanya juga begitu kok” kata mereka membela diri. Padahal kesalahan seharusnya tidak dibela tapi diluruskan. Tidak dipertahankan tapi dibetulkan. Tidak ditutupi tapi dibuka dan dianalisis dengan logika. Karena keterlambatan ini dalam jangka panjang benar-benar membuat bangsa rugi besar. Penghamburan waktu sia-sia secara berjamaah. Mendidik dan menyebar kemalasan.
Sudah waktunya memikirkan masa depan yang lebih panjang dari sekedar “biasanya juga begitu kok”.
Pamulang, September 2019