“Nak, rajinlah membaca buku, mumpung masih muda. Jangan seperti bapak. Sampai sekarang bapak tidak bisa membaca buku-buku tebal. Sudah malas duluan. Soalnya tidak terlatih dari kecil.”
Kira-kira, nasihat seperti itu masuk ke hati anak, tidak? Kok saya percaya tidak akan masuk. Sama halnya menyuruh anak makan sayur sedang dirinya sendiri tidak mau. Atau menyuruh anak rajin olah raga sementara bapaknya lebih senang duduk di sofa baca-baca hape.
Saya pernah membuka warung makan ayam goreng. Kemudian bertemu seseorang. Dia pernah membuka warung makan juga, tapi sudah tutup. Advis darinya: “Oh, kamu beli ayam dipotong empat, ya? Jangan begitu. Beli ayamnya yang besar, lalu dipotong sepuluh. Bisa dijual dengan harga sama, tapi untung kita lebih banyak. Aku dulu kayak gitu” Tentu saya abaikan nasihatnya. Logikanya sederhana. Kalau itu benar menguntungkan, pasti rumah makannya sudah berkembang besar dan tidak tutup.
Demikian juga ketika seorang pejabat memberikan petuah: “Janganlah hidup bermewah-mewah.” Sementara itu dia sendiri mobil mewahnya ada lima dan rumah megahnya bertebaran di mana-mana. Apakah kita akan percaya dan mengikuti petuahnya?
Saya ingat menteri PU di jaman Sukarno dan Suharto bernama Sutami. Seorang pekerja keras yang tak kenal lelah. Sebagai menteri PU, proyeknya adalah pembangunan fisik seperti gedung, jalan, jembatan, pelabuhan, bandara. Tercatat banyak bangunan yang dinakhodainya. Gedung MPR DPR dan Jembatan Semanggi Jakarta, Jembatan Musi Palembang, Waduk Jatiluhur Purwakarta, Bandara Ngurah Rai Denpasar, dan lainnya. Dengan begitu banyak proyek besar di tangan, pasti kesempatan menjadi kaya raya sangat terbuka. Menjadi menteri PU selama empat belas tahun, ternyata rumahnya kecil sederhana, bocor di sana sini. Tidak mampu membeli rumah secara tunai, sang menteri membeli dengan mengangsur. Angsuran baru selesai ketika akan pensiun. Ini ibarat masuk ke rumah penuh permata, tapi keluar tanpa membawa satu pun batu berharga.
Dia tidak punya pembantu. Istrinya memasak dan mengerjakan pekerjaan sehari-hari di rumah. Menteri Sutami setiap hari menyemir sepatunya sebelum berangkat ke kantor. Ketika ditanya wartawan mengapa menyemir sepatu sendiri, dia malah balik bertanya: “Lha terus, saya harus menyemir sepatu siapa?” Sangat bersahaja. Dia tidak pernah berpetuah apa pun mengenai kejujuran. Tapi melihat keadaannya, orang sudah tahu kejujuran merupakan prinsip hidup tak tergoyahkan baginya. Jadi perlukah dia menasihati orang untuk jujur ketika kesehariannya sudah selalu mencerminkan nasihat itu? Orang seperti ini kata-katanya bertuah. Akan selalu didengarkan dan dipercaya.
Akhlak tidak bisa dipelajari dari buku. Akhlak didapat dari keteladanan. Para ulama masa silam belajar akhlak dahulu selama bertahun-tahun ke guru, sebelum mulai belajar ilmu. Karena akhlak itu bukan teori yang manis dibacakan, tapi sikap keseharian yang guru tunjukkan. Bagaimana guru menerima tamu, menghadapi orang yang marah, sikapnya ketika tidak punya uang, ketika sedang kesal hati, ketika dicaci, atau pun ketika dipuji. Semua itu membentuk akhlak yang terpatri di hati para santri.
Orang tua adalah teladan bagi anak. Dulu, ketika koran masih berjaya, saya melihat keponakan saya duduk membaca koran dengan satu kaki menumpang di kaki yang lain. Dia baru berumur tiga tahun. Saya sangat kagum dan bertanya ke ibunya: “Weh hebat. Anak kamu sudah bisa membaca, ya?”
Ibunya tertawa dan mengatakan: “Tentu saja belum.”
Kata saya: “Lha itu, sudah bisa membaca koran.”
Ibunya tersenyum: “Itu hanya meniru-niru ayahnya. Gaya ayahnya seperti itu kalau membaca koran.”
Saya terpaksa tertawa mendengarnya. “Untung tidak ikut-ikutan memakai kaca mata seperti ayahnya.”
Terlihat teladan ayah akan membekas di hati anak. Ketika ayah suka membaca, anak juga suka mmbaca. Berapa banyak saya lihat jikalau ayahnya merokok, anak-anaknya juga menjadi perokok. Jika ayah tidak merokok, anak-anaknya juga tidak.
Di rumah lain, saya pernah melihat seorang tamu datang. Ketika mengetuk pintu, yang keluar adalah seorang anak kecil dan mengatakan: “Ibu tidak ada di rumah.” Padahal ibunya ada di dalam. Ibunya menyuruh si anak keluar untuk mengatakan hal demikian. Kira-kira, ketika besar si anak menjadi pembohong atau menjadi orang jujur? Walau ibunya beribu kali menasihati: “Nak, jadilah orang jujur,” saya percaya anaknya akan lebih meniru teladan ibu daripada perkataannya.
Guru adalah teladan bagi murid. Dalam otak atik gatuk bahasa Jawa, guru adalah singkatan dari digugu lan ditiru. Dipercaya dan diikuti teladannya. Guru bukan hanya pengajar, tapi juga pendidik. Membentuk karakter, memoles peri laku. Ini lebih penting daripada sekedar mengajar ilmu. Dan percayalah, membentuk karakter haruslah mencontohkan terlebih dahulu.
Pejabat adalah teladan untuk rakyat. Seorang pejabat di satu waktu mengatakan satu hal. Di saat yang lain, mengatakan hal yang berbeda. Ketika ditanya wartawan kenapa dahulu mengatakan hal yang beda, dia dengan ringan menjawab, “Itu wartawan yang salah faham. Arti yang sebenarnya adalah seperti ini dan itu.”
Rakyat dilatih untuk memelintir perkataan. Dan jika kemudian rakyat Indonesia menjadi bodoh dan mencla mencle, saya percaya pejabat punya andil besar dalam hal ini. Karena mereka menjadi teladan rakyat.
Pamulang, pertengahan Agustus 2021