Tanya Tak Berjawab

Akhir-akhir ini banyak yang meninggal di lingkungan kami. Tetangga depan kami meninggal jam 9:30 pagi. Saya sedang santai di rumah sehabis jalan pagi, tetangga depan tergopoh-gopoh menemui, “Pak, suami saya, pak….”.

Saya segera ke sana. Tapi sepertinya sudah meninggal beberapa saat lalu. Tidak ada nafas, dada tidak bergerak, tidak ada detak nadi, tidak ada reaksi ketika mata disentuh. Kami panggilkan dokter dari klinik terdekat dan dokter memastikan beliau sudah meninggal.

Belum reda kejutan itu, datang berita lain. Tetangga belakang saya juga meninggal. Yang ini meninggal di rumah sakit. Hanya selang satu jam. Jadilah saya diapit dua musibah, tepat di depan rumah dan tepat di belakang rumah.

Sepekan kemudian tetangga sebelah kiri meninggal. Beda empat rumah dari saya. Kembali pak RT sibuk dengan musibah. Bergotong royong mendirikan tenda, mengatur kursi, menghubungi pemakaman, dan lain-lain.

Hanya tetangga yang sebelah kanan yang tidak tertimpa musibah. Ternyata mereka pada sehat-sehat. Virus Corona pun mungkin tidak mempan ke mereka.

Jika ada, maka lengkaplah musibah di depan, belakang, kiri dan kanan rumah saya.

Kemudian ada 2 tetangga lagi yang meninggal. Yang ini beda gang. Kemudian 2 saudara saya meninggal. Total ada tujuh kematian dalam waktu berdekatan. Saya hadir di enam di antaranya. Yang satu lagi saya “missed” tidak dapat hadir karena sedang bepergian.

—oooOooo—

Ini membuat banyak tanya jawab berseliweran di kepalaku. Tanya saya, “Mengapa banyak yang meninggal?”

Saya jawab, “Karena sakit.”

Tanya, “Kenapa ada yang sakit lama tapi belum juga dipanggil?”

Saya jawab, “Ya, belum waktunya.”

Saya tanya lagi, “Kenapa engkau sendiri belum?”

Jawab: “Karena belum waktunya.”

Tanya: “Kapan waktumu?”

Krik, krik, krik…. Tidak ada jawaban.

Wah, susah nih. Tidak terjawab pertanyaan secara memuaskan.

—oooOooo—

Ahad pagi itu ada pengajian rutin di masjid kami. Saya dan anak ikut datang mendengarkan. Ada sekitar dua puluhan orang hadir. Setelah pengajian, biasanya ada makanan ringan disuguhkan. Tapi kali itu tidak ada. Saya bertanya pada marbot pengurus masjid, “Ga ada makanan ya pak?”

“Iya, nih. Ga ada,” jawabnya.

“Oh, siapa yang biasanya ngurus makanan?” tanya saya.

“Pak Badu. Hari ini dia tidak datang,” jawab marbot.

Ketika kami meninggalkan masjid, anak saya menggerutu, “Abi, mustinya ga usah nanya-nanya makanan.”

“Lha khan enak kalau ada cemilan,” kata saya tersenyum.

Anak saya makin cemberut, “Kan niat kita mau ngaji di sini. Bukan cari makanan.”

Weh, bagus juga pemikiran anak saya. Tapi tentu saya tak mau kalah debat dengan anak, “Khan sembari ngaji sembari cari makanan. Kalau ke pasar khan boleh beli beras, sambil cari sayur dan ayam. Sembari lihat peralatan dapur. Kalau mau, boleh beli kue sus. Sebelum pulang makan bubur ayam,” kata saya.

Anak saya masih tertekuk mukanya.

—oooOooo—

Pekan berikutnya, di pengajian Ahad pagi saya membawa makanan kecil. Tentu sudah koordinasi dengan pak Badu. Anak saya melihat itu dan  berkomentar, “Jadi ini sebabnya Abi menanyakan makanan kecil kemarin. Rupanya Abi mau membawa makanan untuk jamaah. Kok ga ngasih tahu saya sih?”

Saya tertawa saja. Toh akhirnya dia tahu tujuan saya menanyakan makanan kecil kemarin.

—oooOooo—

Dan itulah pencerahan saya. Saya melakukannya pada anak. Tidak saya beritahu maksud saya menanyakan makanan ke marbot masjid. Akhirnya, di pekan berikutnya dia tahu kenapa saya bertanya.

Allah pun melakukannya ke kita, manusia. Tidak perlu memberitahukan segala hal ke manusia. Akhirnya manusia akan menemukan sendiri, dengan catatan, kalau dia mau mencari. Apa tujuan dia diciptakan di dunia? Jika sudah tahu tujuan, apa perlu kita mengetahui kapan akan dipanggil? Saya rasa tidak perlu.

Ada hal-hal yang manusia perlu tidak tahu. Kata ahli hikmah: “Ilmu itu punya arogansi sebagai mana arogansinya harta”. Jika seseorang punya banyak harta, sangat mudah dia menjadi sombong.

Ilmu juga demikian. Ketika seseorang punya banyak ilmu, dia punya kecenderungan menjadi sombong. Maka harus ada hal-hal yang manusia tidak tahu dan tidak akan pernah tahu. Salah satunya adalah kapan, di mana, dan bagaimana dia akan mati. Supaya arogansi ilmu berkurang.

—oooOooo—

Mati itu seperti ujian sekolah. Tiap murid tahu dia akan menghadapi ujian. Ada murid yang menanti dengan santai. Tahu pasti akan ada ujian tapi berleha-leha mempersiapkan. Mengira ujian masih sangat lama.

Ada siswa yang tidak mau tahu. Walau sebenarnya tahu akan ada ujian tapi dia tidak mau membicarakan. Takut kalau pembicaraan mengenai ujian merusak mood ceria yang sedang dinikmati.

Ada siswa yang tiap hari bekerja keras untuk ujian. Dicemooh oleh siswa lain, “Ngapain kerja keras, toh ujian masih lama”. Atau, “Cie cie, murid teladan. Blajar truz….”

—oooOooo—

Mati itu ibarat razia polisi. Orang yang naik motor harus membawa segala perlengkapan. Ini untuk antisipasi agar aman kapan pun ada razia. Helm, jaket, sepatu dipakai. Surat-surat KTP, SIM, STNK wajib lengkap dan masih berlaku. Motor pun harus prima. Lampu depan menyala. Lampu rem, sein (lampu isyarat) bekerja baik. Spion ada. Jika semua sudah bagus, tidak peduli kapan polisi melakukan razia, kita tidak gentar. Tidak perlu tahu kapan dan di mana polisi akan melakukan razia.

Sekarang ini banyak orang ibarat naik motor tapi kelengkapan kurang. Ada yang spionnya hilang. Atau lampu depan tidak menyala. Ada yang STNK-nya mati. Atau tidak memakai helm. Akibatnya? Mereka sangat takut kena razia. Mereka akan lari menghindar jika tahu ada razia.

Sayangnya, untuk kematian kita tidak bisa menghindar seperti halnya bertemu polisi. Waktu untuk berjumpa sudah ditetapkan yang sayangnya kita tidak pernah tahu. Jika saat itu perlengkapan kurang, apa boleh buat. Bisa kena denda. Bisa masuk penjara. Lebih parah lagi jika ketahuan membawa narkoba. Bisa tembak di tempat.

Yah, semoga banyaknya kematian di sekitar kita mengingatkan bahwa suatu saat kita akan berjumpa dengan sang maut. Pasti. Di suatu saat yang kita tidak pernah tahu kapan.

Pertanyaannya memang bukan kapan, tapi: “Sudah siapkah?”.

Pamulang, Pebruari 2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *