SSS

SSSKetika naik busway, bis penuh sehingga saya terpaksa berdri. “Wuih, lumayan jauh nih”, kata saya dalam hati membayangkan harus berdiri 45 menitan. Seorang anak muda yang duduk di depan saya berdiri. Dan dengan sopan dia memberikan tempat duduknya kepada saya: “Silakan duduk, pak”, kata dia mempersilakan.

I had a mixed feeling about it. Di satu sisi, saya gembira dan berterima kasih pada anak muda itu. Berkat dia, saya tidak jadi berdiri 45 menit.

Di lain sisi, ada perasaaan kecewa, sedih, melankolis, biru. Yaitu kesadaran menohok bahwa Saya Sudah Sepuh (SSS). Sampai ada anak muda yang rela memberikan kursinya pada saya. Owa….

Maunya sih muda terus. Tahun-tahun berlalu seharusnya tidak berdampak sama sekali ke diriku. Hari-hari hanya bilangan. Tidak ngaruh. Ternyata …

Ternyata kulit mukaku sudah berubah. Ada keriput di sana sini setelah lebih dari 50 tahun terpakai.

Ternyata tenaga sudah berkurang. Dulu ketika SMA berangkat sekolah dengan berdiri satu jam itu biasa. Tidak ada keluhan sama sekali. Sekarang, duh,..

Ternyata kini mempelajari sesuatu yang baru itu butuh kerja keras ekstra. Otak tidak lagi encer macam muda lagi.

Sekarang ketika lupa saya sering menyalahkan “Faktor U”. Istri saya pun demikian, tiap lupa “Faktor U” jadi kambing hitam. Ketika cepat lelah di dapur, ada “faktor U”. Ketika mulai tumbuh rambut putih, “Faktor U”. Ehm, yang terakhir itu “Faktor Uban”.

Yah itulah siklus. Di mana yang tua memberi kesempatan pada yang muda untuk maju. Yang tua sudah waktunya ke pinggir, ke jalur lambat. Biarlah jalur cepat diisi para muda.

***

Tapi ada juga yang bertambah seiring dengan bertambahnya umur.

Kesabaran

Orang tua lebih sabar, termasuk dalam menerima kesalahan orang lain. Terutama, ketika sudah puluhan tahun bersama pasangan, maka mudah menerima kesalahan pasangan. “Lupa lagi? Yah, begitulah suamiku”, demikian istriku sering berucap. Mau marah tidak bisa. Lha wong demikianlah suaminya. Mau diapain lagi?

“Ha ha, gosong ya”, saya juga sering mengatakan demikian. Yah, sudah maklum dengan istri. Masih untung dimasakin.

Ketika akan berangkat ke suatu acara, istri lelet. Saya tenang saja menunggu istri sambil baca-baca HP. Tidak menyuruh-nyuruh istri untuk cepat. Demikian juga ketika saya yang telat, istri tidak pernah lagi muring-muring menyuruh saya bersegera. Berdua sudah maklum.

Nrimo Ing Pandum

Dulu cita-cita jadi orang super kaya. Financial freedom. Berumah sepuluh, bermobil lima belas, perusahaan lima, dan lain-lain. Tidak salah juga sih. Kalau kaya kan bisa berbuat kebaikan lebih banyak. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Sepertinya seginilah kekayaan kami, tidak mungkin melesat jauh. Jadi menerima takdir, dan bersahabat dengannya. Ketika penyakit menerpa, ya memang beginilah adanya jika sudah sepuh.

Istiqomah

Konsisten. Bisa melakukan satu kebiasaan secara terus menerus tanpa rasa bosan. Mertua saya tiap hari makan apel. Bertahun-tahun tanpa bolong sehari pun. Orang muda tidak akan bisa melakukannya.

Tetangga dulu ada yang tiap hari jalan pagi. Sudah sepuh, berdua dengan istri selalu keliling kampung. Salut dengan ketekunan mereka.

Melihat Jauh ke Depan

Ada cerita seorang kakek tua, sudah sangat sepuh, menanam pohon korma. Seorang pembesar lewat dan bertanya: “Kek, untuk apa menanam korma? Itu kan berbuahnya lima belas tahun lagi. Apakah engkau akan bisa menikmatinya?”. Si kakek menjawab: “Bukankah kita menikmati korma hasil tanaman ayah dan kakek kita? Bisa engkau bayangkan kalau ayah dan kakek kita tidak menanam korma. Apa kita bisa makan korma sekarang? Aku menanam ini untuk anak cucu kelak”.

Si pejabat terhenyak kagum mendengar jawaban kakek. Dia berkata: “Engkau sungguh bijak, kek. Engkau benar-benar menyadarkanku. Ini aku beri engkau hadiah”. Si pejabat memberi sekantung uang ke kakek. Kata kakek: “Ah alangkah ajaib. Baru saja menanam sudah dapat buahnya”. Ha ha…

Begitulah seharusnya menjadi tua. Mempersiapkan anak cucu untuk kehidupan sepuluh, dua puluh, lima puluh tahun mendatang. Dan untuk dirinya sendiri, seorang bijak akan mempersiapkan masa akhiratnya. Kemana lagi seseorang pergi kalau tidak ke sana?

Dan karena lebih banyak mengalami peristiwa, seorang tua biasanya lebih tahu mana yang penting dan diperlukan, mana yang tidak begitu penting, dan mana yang membahayakan anak cucunya.

Penengah

Seorang tua itu penengah. Wasit. Non-blok. Tidak memihak. Bukan karena tidak tahu dan tidak bisa menilai. Tapi lebih karena ingin merangkul semua.

Jika masih muda cenderung memilih konfrontasi. Jika sudah tua lebih memilih konsolidasi. Jika muda senang kompetisi, jika tua senang silaturahmi. Yang muda perlu eksistensi diri, yang tua malah ingin menepi.

Sebenarnya tidak ada salah atau benar di sini. Bukan pula baik atau buruk. Memang jamannya memerlukan seperti itu. Orang tua yang mau menonjolkan diri akan dikatakan “tua tua keladi, sudah tua tak tahu diri”. Seorang pemuda yang tidak mau berkompetisi disebut penakut, tak bernyali. Memang muda harus berani mencoba. Sementara yang tua harus mengekang rasa.

Bagi yang sudah sepuh (S2) atau sudah sangat sepuh (S3), harus bersahabat dengan sepuhnya. Tidak melakukan hal-hal di luar kemampuan karena akibatnya bisa fatal. Juga tidak bisa terlalu berharap tinggi, harus tahu diri. Tapi kalau bisa bersahabat dengan nasib sendiri, sepuh itu bagai strawberry. Ada rasa asam, ada manisnya. Ada merah, hitam, putih, hijau, pink. Mari dinikmati.

Bagi yang baru saja menjadi lolita, welcome to the club.

Serpong, April 2017

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *