Jalan-jalan pagi dengan istri, melihat burung-burung berkicau riang di pepohonan. Terbang dengan ceria, bermain dengan teman-temannya seakan tidak ada masalah di dunia ini. Padahal mereka tidak punya tabungan di bank, tidak punya rumah mentereng. Tidak punya mobil mewah. Juga tidak punya jabatan di kantor, maupun pangkat tinggi. Bahkan tidak punya pekerjaan tetap. Mereka senantiasa bernyanyi, bermain dengan teman mereka. Apakah mereka tidak pernah punya masalah?
–oOo—
Ada video seorang nenek bernama Suparni di kabupaten Wates, Yogyakarta. Umur 117 tahun tapi masih sehat kuat, jalan ke mana-mana. Telinga dan mata masih bagus. Ketika ditanya apa makanan yang biasa dimakan, nenek itu menjawab tidak ada diet khusus. Dia seorang miskin maka tidak bisa memilih-milih makanan. Sering beberapa hari tidak makan secara layak. “Yah, kadang lima hari sekali baru bisa makan utuh. Tapi perut tidak banyak tingkah”, kata beliau dengan bahasa Jawa medok. Benar-benar membuat iri orang-orang berpenyakit maag.
“Tidak ingin jadi kaya, mbah?”, tanya pewawancara. Jawab nenek itu: “Wah, tidak, tidak ingin kaya. Asal sehat dan selamat itu sudah cukup. Itu sudah merupakan kekayaan.” Nenek itu meneruskan: “Tuhan itu memberikan rejeki terus. Sedikit maupun banyak. Tapi kita yang merasa masih kurang. Padahal yang penting bisa hidup sesuai kelumrahan. Bisa makan, punya baju untuk dipakai. Tidak mikir neko-neko. Semua dibuat enteng.”
–oOo–
Saya melihat semua bayi sangat senang bermain. Begitu ceria dan penuh tawa. Hanya melihat bola dipukul ayahnya dia terbahak terpingkal-pingkal. Melihat ibunya bermain cilukba, dia terkekeh-kekeh. Mendengar kakaknya memukul gendang dia tertawa histeris. Mengapa bayi bisa demikian lepas, gembira dalam hidup?
Ada yang mengatakan karena bayi tidak punya masalah. Sehingga bisa tertawa begitu lepas. Ada yang mengatakan dia belum punya beban hidup. Tapi saya tidak memahaminya begitu. Sifat dasar manusia itu gembira. Dilahirkan dengan ‘mode’ gembira. Walau pertama menangis, tapi sebentar kemudian penderitaan itu sudah dilupakan. Mulailah masa-masa bahagia bayi. Masalah diterima, dilalui, kemudian dilupakan.
–oOo–
Apakah mbah Suparni tidak pernah punya masalah? Tidak mungkinlah. Semua orang hidup pasti punya masalah. Tapi ada yang sedih karena punya masalah. Merasa paling sengsara se dunia, dan mengira tidak ada orang yang lebih menderita daripadanya. Ada lagi yang menganggap enteng masalahnya. Tetap hidup ceria, senyum, bahkan tetap berusaha membantu orang lain. Ibaratnya, mereka adalah lautan dalam. Masalah apapun akan tenggelam di dalamnya, tidak menyisakan apa pun di permukaan.
Hanya ada sedikit orang yang bisa berperilaku seperti burung, nenek Suparni, atau bayi. Padahal saya yakin semua orang pernah hidup sebagai bayi. Rupanya banyak yang melupakan pengalaman hidup mereka sendiri.
Banyak di antara kita yang berpikir keras ketika harta “tidak mencukupi”. Padahal apa arti “cukup”? Ada yang gajinya 30 juta rupiah sebulan tapi tidak merasa cukup. Masih berusaha dengan sekuat tenaga, daya dan upaya, baik legal maupun ilegal, halal maupun haram, untuk menambah kekayaan. Ada pula yang gajinya hanya 3 juta sebulan tapi merasa cukup. Hidup santai dan gembira dengan istri dan 5 anak.
–oOo–
Berkaca dari burung, nenek Suparni, dan bayi, bisakah kita tetap merasa gembira ketika tidak punya apa-apa? Bisakah kita ceria ketika kerugian mendera? Rela ketika dihina? Senyum walau hati tertusuk jarum?
Padahal hidup butuh keceriaan. Seperti hutan medambakan hangat mentari setelah malam gelap melingkupi. Atau hijau pepohonan merindukan kicau riang burung di pagi hari. Keceriaan tidak harus “dipaksa” dengan melihat tontonan dagelan di teve. Atau film konyol di bioskop. Hanya melihat anak bermain sudah cukup mendatangkan keceriaan. Atau melihat kucing bercanda antar mereka. Atau memperhatikan tingkah laku kakek nenek.
Kata dokter, kesehatan itu bermula dari hati. Makanan menyumbang kesehatan hanya 20% saja. Jadi, gembira ini demi kesehatan lho. Bukan hanya sehat badan, tapi juga sehat hati sekaligus sehat sosial.
Dari tak punya, kembali ke tak punya. Apa yang kita sesalkan?
Pamulang, Agustus 2019