Sedikit, Terus Menerus

SedikitTerusMenerus

Kami sekarang mempunyai seekor kucing di rumah. Namanya Monti, singkatan dari moncong putih. Diberi oleh teman yang kucingnya baru melahirkan.

Kucing kami gesit, aktif, lucu. Cute, orang bilang. Meski pun ada kalanya dia begitu malas, tidur terus sepanjang hari.

Mau tidak mau saya memperhatikan tingkahnya. Bermain dengan kertas yang kami bentuk bola. Atau dengan bolpoin. Bolpoin dicakar, masuk ke bawah kursi, dikejar, dicakar lagi, masuk bawah meja, terus dikejar. Kadang mencakar bahkan merobek koran yang sedang dibaca orang (ugh…). Berburu lalat yang terbang rendah. Menggigit kecil atau menjilat tangan dan kaki kami. Bila kami makan alpukat dia berkeliling di sekitar dengan meong tak henti. Kadang naik meja ingin ikut makan.

Satu hal yang saya catat, dia tidak pernah makan kenyang. Makannya selalu sedikit tapi sering. Saya jadi berpikir mengapa demikian.

Kemudian saya bayangkan di alam bebas binatang pasti punya musuh. Misal seekor kucing didatangi anjing, maka mereka akan berkelahi. Besar kemungkinan kucing akan lari menghindar. Anjing yang belum puas akan berlari mengejar ingin “menghabisinya”.

Celakanya, anjing tidak bisa ditebak kapan datangnya. Bagaimana jika anjing datang saat kucing baru saja selesai makan kenyang? Sudah bisa dipastikan kucing tidak bisa berkelahi atau pun berlari. Dia hanya bisa mengatakan: “Entar dulu ah. Saya baru selesai makan nih”. Kira-kira apa anjing mau terima alasan ini? Ya enggak lah yao.

Bayangkan kita baru selesai makan kenyang kemudian diajak berlari. Bagaimana bisa? Yang ada sakit perut jadinya. Hmmm, saya rasa saya baru saja menemukan satu pencerahan dalam hidup.

Sakit itu banyak bermula dari perut. Salah satunya adalah makan kenyang. Kemungkinan besar secara alami cara makan kucing ini yang benar. Makanlah tapi jangan sampai kenyang. Manusia pun harusnya makan sedikit tapi sering. Saya jadi membayangkan jaman purba di mana manusia hidup di alam dan harus selalu siap menghadapi segala kejadian. Adakah pernah kita makan kenyang sampai tidak bisa berlari? Kayaknya tidak. Di alam, manusia harus siap setiap saat. Kita tidak tahu kapan harimau akan datang.

***

Lebih jauh lagi, tidak hanya makan. Segala kebiasaan kita yang terbaik adalah yang sedikit tapi terus menerus. Jika berlari 10 km sehari, tapi kemudian tidak pernah berlari lagi selama setahun, itu buruk buat kesehatan. Yang baik adalah berlari setiap hari atau setidaknya dua atau tiga kali dalam sepekan tapi dalam porsi yang sedikit.

Coba, bagaimana jika anda minum obat sekaligus dalam dosis yang tinggi? Kebayang kan? Dokter tidak pernah meresepkan seperti itu. Yang ada adalah dokter memberi resep minum obat 3 kali sehari di tiap waktu makan. Perhatikan bahwa minum obat harus diberi jarak waktu dari satu dosis ke dosis berikutnya. Dihabiskan dalam 10 hari. Bukan dilahap semua dalam 1 waktu, bro.

Bagaimana kalau tanaman di pot disiram air satu tong? Lalu dibiarkan tanpa disiram lagi selama sebulan? “Mampuslah dia, bang”, kata orang Medan.

Demikian juga dalam belajar (ssst… untuk anak saya “The-Pretty-Creature-Who-Likes-Imaginary-Things” khususnya). Tidak bisa dalam 1 waktu dilahap semua pelajaran. Yang terbaik adalah tiap hari belajar biar pun sedikit.

Tidak hanya pelajaran sekolah. Untuk menjadi penari handal harus latihan tanpa henti. Untuk bisa jadi penyanyi profesional apa lagi resepnya kalau tidak latihan tiap hari? Di semua lini perilaku terus menerus ini diperlukan. Pembalap, pelari, pebasket, pelukis, matematikawan, ilmuwan, programmer komputer … you name it.

Batu pun akan berlobang jika terus menerus ditetesi air. Kayu keras pun akan kalah jika terkena air tanpa henti. Cat sebaik apa pun kalah oleh cahaya mentari yang tiap hari mengelus. Di gurun pasir Arab, angin bisa memindah gunung pasir sedikit demi sedikit.

Kebiasaan terbaik adalah yang terus dilakukan tanpa bosan. Istiqomah. Konsisten. Ajeg. Jika anda menulis setiap hari setengah halaman, sebulan anda sudah menulis 15 halaman. Maka setahun 12×15 = 180 halaman. Sudah bisa menjadi satu buku. Bayangkan tiap tahun anda bisa menghasilkan satu judul buku. Bukankah ini sangat produktif? Tapi berapa banyak orang bisa TERUS MENERUS menulis setengah halaman sehari?

Paling tidak, sekarang saya mencontoh perilaku makan kucing. Makan sedikit. Tidak perlu kenyang. Kira-kira masih bisa lari kencang setelah makan. Tapi frekuensi makan lebih sering. Orang lain makan tiga kali sehari, saya lima kali sehari. Banyak yang melihat ketika saya makan mengatakan: “Kamu kok makannya sedikit banget sih?” He he… kagak tahu aje die… Sekarang sedikit. Tiga jam kemudian perut sudah nagih minta makan lagi.

Moga-moga nanti bisa menular ke kebiasaan baik. Sedikit tapi terus menerus. Tanpa bosan. Tanpa henti.

Depok, Maret 2017

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *