Teman saya seorang pembuat roti. Katakan namanya Armanto (nama samaran). Dia hidup pas-pasan dengan seorang istri dan tiga anaknya. Mempunyai sebuah motor yang dipakai untuk bisnis rotinya, baik untuk membeli bahan-bahan baku maupun untuk mengirim roti produksinya ke warung-warung eceran pelanggan.
Satu hari datang seorang teman lama ke rumah. Sebutlah namanya si Budi (nama samaran lagi). Omong punya omong, Budi mengatakan bossnya mau pesan roti. Setelah pilah pilih dan tanyo tanyi akhirnya sepakat jenis roti yang dipesan, jumlah, dan waktu pengambilan.
Pada hari H (hari samaran juga), Budi datang untuk mengambil roti. Roti sudah disiapkan Armanto. Budi mengatakan: ”Boss saya nanti akan datang ke sini membawa mobil. Sekarang dia sedang bertemu temannya” Budi menyebutkan nama satu tempat yang kira-kira lima belas menit dari rumah Armanto.
Tunggu punya tunggu si boss tidak datang juga. Budi mulai kelihatan gelisah. Dia berusaha menelepon bossnya. Setelah berbicara dengan boss, dia mengatakan: “Wah, si boss belum selesai nih urusannya. Dia bilang suruh mengambil uangnya ke dia. Takut nanti lama.” Akhirnya karena Budi tidak punya kendaraan, Armanto meminjamkan motornya ke Budi. Berangkatlah Budi ke bossnya memakai motor Armanto. Sejam belum datang, dua jam belum juga datang. Ketika ditelepon HPnya tidak hidup. Armanto mulai panik.
Dia menghubungi teman-teman lamanya yang kenal dengan Budi. Didapatkan bahwa Budi kost di satu tempat. Ketika didatangi, ternyata kamar Budi kosong. Semua barang sudah dibawa. Bahkan membayar kos pun Budi menunggak tiga bulan.
Tinggallah Armanto, teman saya itu gigit jari. Motor satu-satunya yang dipakai untuk usaha raib dibawa Budi, teman lamanya. Hari berikutnya terpaksa dia kemana-mana naik angkot. Tentu lebih banyak biaya untuk transpor, di samping tidak fleksibel dan butuh waktu lebih lama.
Untung, dua hari kemudian dia mendapat banyak pesanan roti dari pelanggan lain. Ada yang pesan seribu lima ratus roti. Besoknya lagi ada yang pesan delapan ratus, kemudian besoknya lagi delapan ratus roti. Dan seterusnya.
Dan akhirnya dalam waktu lima hari dia sudah bisa membeli motor lagi. Ajaibnya, setelah motor terbeli, orderan menurun dan kembali seperti semula. Oh, rupanya Allah memberi ganti motornya. Dan setelah motor terbeli, Allah mengembalikan jumlah rizkinya sebagaimana biasanya.
******
Memang ada faktor X dalam rejeki. Tidak semua bisa dicerna akal. Dalam kasus teman saya di atas, ketika dia mendapat musibah ternyata setelah itu jumlah pesanan melonjak tanpa ada perubahan apa pun dalam kualitas roti, dalam marketing, dalam pelayanan, atau apa pun. Dan setelah dia bisa membeli motor, pembelian menurun dan kembali seperti semula. Logika apa yang bisa dipakai untuk menerangkan ini?
Maka jangan lupa faktor langitan. Tetap berusaha keras, tapi jangan lupa dzikir. Pakai semua teori marketing, tapi jangan pernah menyakiti sesama. Kualitas layanan harus prima, tapi ibadah pun tetap terjaga. Produk dibikin juara tapi juga sedekah jawara.
Faktor langitan juga berperan penting dalam menjaga hati. Statistik mengatakan tiap satu jam ada satu orang bunuh diri. Kenapa orang bunuh diri? Karena tidak tahan menderita. Ini menunjukkan tidak adanya faktor langitan dalam diri orang tersebut. Jika segala sesuatu dihubungkan dengan langit, hati akan selalu terjaga tenang. Percaya bahwa tiada kesengsaraan melainkan sudah ada dalam rencana-Nya. Kesengsaraan ini pasti untuk kebaikan kita jua. Yang penting bukan “bagaimana cobaan” itu. Lebih penting dari itu adalah “Siapa yang memberi cobaan ini pada kita”. Jangan berburuk sangka pada Sang Pemberi Cobaan.
Faktor langitan juga membuat seseorang percaya adanya teman dalam tiap keadaan. Teman yang tidak hanya menemani, tetapi juga melindungi. Tidak hanya selalu mengetahui, tapi juga menguasai. Tidak hanya Maha Kaya, tapi juga Maha Pemurah.
Sayangnya pendidikan agama sekarang lebih menekankan pada cara melakukan ritual. Jika sholat, apakah jari telunjuk digerak-gerakkan atau diam. Dzikir apa yang harus diucapkan ketika selesai sholat. Doa apa yang benar ketika berbuka puasa. Hati nomor dua, hanya karena hati tidak bisa dilihat. Ritual nomor satu karena itulah yang bisa dipertontonkan.
Tapi melihat banyak kejadian di muka bumi ini, saya melihat hati berperan lebih penting dan jauh lebih menentukan dari pada ritual. Bukankah ketika Nabi datang, tidak banyak ritual yang diperintahkan? Belum ada sholat, belum ada puasa, belum ada zakat. Hati mengambil tempat penting untuk digarap terlebih dahulu.
Jika hati baik, ritual akan ikut baik. Namun jika ritual yang diperbaiki terlebih dahulu, percayalah, hati tidak mengikuti menjadi baik. Bahkan dalam banyak kasus hati menjadi sombong dan bangga pada diri sendiri.
Jika hati diperbaiki, orang tidak mengetahui bahwa dia melakukan ibadah. Ibadahnya tersembunyi, dia bahkan merasa malu jika ibadahnya diketahui orang. Dia rendah hati dan mudah melihat kelebihan orang lain. Dia terkenal di langit dan tidak dikenal di bumi. Segala kejadian di bumi ini kecil baginya karena hatinya berada di langit.
Kalau ibadah benar semua, tapi hatinya rusak (ingin pamer, sombong, dll) apakah ibadah itu diterima? Saya yakin tidak.
Jika ibadahnya salah (misal belum tahu tata cara sholat yang benar), tapi hatinya murni karena Allah, apakah ibadahnya diterima? Saya percaya sih diterima. He he.., mungkin banyak yang tidak sependapat di sini. Tapi tidak ada yang bisa membuktikan, bukan?
“Sesungguhnya amal itu tergantung dari niat (hati)”
Serpong, September 2016