Pengobatan BPH
Apa BPH perlu tindakan medis? Tidak semua perlu.
Banyak penderita BPH yang tidak perlu operasi. Bahkan tidak diobati apa pun. Bahkan tidak sadar bahwa mereka menderita BPH.
Saudara saya prostatnya membesar sampai dua kali lipat. Tapi karena saluran kemih tidak tersumbat dan kencing tidak terganggu maka BPH tidak diapa-apakan.
Jika prevalensi pria di atas 50 tahun adalah 50% mengidap pembesaran prostat, tidak berarti semuanya butuh penanganan medis. Ada yang tidak merasa sama sekali dan memang tidak diperlukan penanganan medis. Seperti dikatakan dokter urologi, ini adalah karena faktor usia. Jadi pembesaran prostat itu normal dan alami seiring usia. Asalkan tidak sampai mengganggu, tidak diperlukan penanganan medis.
Eh, saya baru tahu ada bahasa Indonesia miksi yang berarti kencing. Definisi kerennya “Miksi adalah proses pengeluaran urin dari vesika urinaria (tempat penampungan urin)”. Mulai sekarang saya akan memakai kata miksi ah, biar kedengaran agak intelek dikit. Kata lain yang sering juga dipakai adalah berkemih. Tapi saya lebih suka miksi. Kemudian air kencing adalah urin. Dari bahasa Inggris urine, sih, tapi tidak apa-apa. Saya akan pakai miksi dan urin supaya kedengaran lebih intelek. Wkwkwk…
Jika miksi sudah sukar, atau sama sekali tersumbat, solusi sementara adalah dengan memasang kateter agar urin dapat keluar. (He he.. bagaimana? Dengan kata miksi dan urin kedengaran lebih intelek bukan?). Kemudian dicoba dengan obat. Obat ini dimaksudkan untuk mengecilkan prostat. Dalam kasus saya, setelah dua hari di rumah sakit kateter dilepas dan saya dibolehkan pulang. Diteruskan berobat jalan.
Lima enam kali di rumah bisa miksi dengan lancar, eh, setelah itu mulai sukar lagi. Sebelum makin parah – saya tahu bagaimana sakitnya kalau tidak bisa miksi – saya kembali ke rumah sakit dan dipasang kateter lagi. Pulang dengan kateter terpasang. Menunggu jadwal bertemu dokter urologi. Oh, ya. Sebelumnya saya ditangani oleh dokter internis alias penyakit dalam. Ada lagi dokter spesialis yang khusus menangani masalah urin yaitu dokter spesialis urologi. “Pegangannya” sekitar organ urin, yaitu prostat, ginjal, saluran kemih, kantung kemih, dan teman-temannya. Sedang dokter internis masih luas jangkauannya.
Operasi Prostat
Operasi prostat disebut prostatectomy. Ada beberapa pilihan
- Open prostatectomy
Seperti normalnya operasi, perut dibedah dan dokter dapat melihat secara langsung organ-organ dalam tubuh. Bedah seperti ini dilakukan bila cara lain tidak bisa lagi dilakukan.
- Bedah dengan beberapa sayatan kecil.
Disebut laparoscopic radical prostatectomy atau laparoscopic prostatectomy. Membutuhkan alat yang dimasukkan ke tubuh lewat sayatan kecil tersebut. Selain itu bisa juga dengan robot-assisted laparoscopic prostatectomy, dengan alat yang dibantu robot sehingga lebih canggih. Ini lebih cepat sembuh dari pada bedah biasa.
- TURP
Ini yang saya jalani. TURP atau Transurethra Resection Prostate adalah dengan memasukkan alat/selang ke dalam tubuh seperti kateter melewati lubang penis. Kemudian mengerat atau mengerok prostat sedikit demi sedikit dari bagian dalam. Keratan dikeluarkan dari selang itu juga. Tidak ada sayatan di luar tubuh.
- Ada juga yang lain seperti TUIP (Transurethra incision Prostate), TUMT (Transurethra Microwave Theraphy), TUNA (Transurethra Needle Ablation) atau lainnya.
Saya tidak tahu banyak mengenai operasi yang lain. Saya hanya tahu TURP karena ini yang saya alami. Ini juga yang paling populer di Indonesia, sudah banyak rumah sakit yang memiliki alatnya.
Sebelum tindakan TURP, dicek PSA dalam darah. PSA adalah Prostate Specific Antigen, untuk indikasi apakah ada kanker prostat. Normal jika angkanya di bawah atau sama dengan 4.
Ternyata PSA saya 35. Ini sudah jauh dari limit. Maka dokter menyarankan biopsy. Biopsy adalah mengambil sampel prostat untuk memastikan apakah ada kanker. Saya bertanya ke dokter urologi: “Kenapa tidak dari hasil TURP? Bukankah itu bagian dari prostat?” Dokter urologi menjawab: “TURP mengambil bagian dalam prostat. Sedang kanker lebih sering berada di luar prostat. Hasil dari TURP nanti juga akan diperiksa. Tapi karena kanker seringnya dimulai dari bagian luar, biopsy lebih akurat memberikan gambaran karena biopsy mengambil bagian luar prostat”. Sekarang baru saya tahu bahwa kanker itu 75% berada di daerah perifer sedang TURP mengerok daerah transisi.
Persiapan TURP
Sebelum TURP, akan diperiksa darah dan urin. Entah apa yang diperiksa, saya tidak diberitahu. Padahal itu darah darah saya sendiri dan urin urin saya sendiri.
Kemudian harus menghadap dokter jantung. Pegang sana sini, didengarkan dengan stetoskop beberapa bagian dada dan perut, bertanya beberapa pertanyaan, kemudian dia menulis “OK untuk operasi TURP”. Apalagi dia tahu TURP tidak menyayat luar badan jadi sedikit komplikasi.
Menghadap dokter penyakit dalam. Mirip dengan dokter jantung. Pegang sana sini. Didengarkan beberapa bagian dada dan perut dengan stetoskop. Tanya-tanya beberapa pertanyaan, kemudian ditulis “OK untuk operasi TURP”.
Ketiga ke dokter anestesi. Ini lebih parah. Melihat kertas-kertas saya, dia mengatakan “Oh, TURP ya”. Langsung ACC. Kemudian malah ngobrol seru hal-hal di luar medis. Wah, dasar sama-sama menjelang tua.
Direncanakan operasi hari Jumat, 13 Januari 2017 jam 13:00 yang berarti setelah Jumatan. Sengaja saya memilih waktu itu karena setelah istirahat Jumatan dan makan siang saya harapkan dokternya akan fresh, segar sehingga tidak salah potong.
Puasa dilakukan 6 jam sebelum operasi. Makan pagi di rumah jam 06:30. Kemudian tidak makan minum apa-apa lagi setelahnya kecuali air putih. Meluncur ke rumah sakit. Sampai di sana mengurus kamar molor-molor, baru bisa masuk kamar perawatan jam 9. Dua jam kemudian dokter datang dan memberitahu bahwa operasi ditunda. Pagi ini ruang operasi dibersihkan sampai siang. Semua operasi ditunda. Yang pagi menjadi siang. Yang siang menjadi setelah magrib. Yaitu kira-kira jam setengah tujuh atau jam tujuh. Terus, saya disuruh makan siang. Baru puasa lagi.
Makan siang jam 12:00. Terus puasa. Ternyata tidak ada berita sampai jam 7 malam. Juga jam 8. Jam 9. Jam 10 malam barulah perawat datang dan mengatakan akan membawa saya ke ruang operasi. Wah, gagallah usaha saya meminta dokter untuk fresh, segar saat operasi saya. Jam 10 malam mana ada segarnya? Yang ada malah kantuk dan lelah. Semoga dokter tidak salah potong, doa saya dalam hati terus terusan.
Operasi TURP
Inilah yang ditunggu-tunggu. Masuk bangsal operasi, berganti baju operasi kemudian dibawa masuk ke salah satu dari tiga ruang operasi yang ada di bangsal itu. Dokter urologi bertanya” Lapar, pak?”, saya jawab: “Tentu saja. Sudah sejak jam 12 tidak makan”. Dokter bertanya: “Mau makan sekarang?” “Lho, boleh dok?” tanya saya. “Ya, boleh”, kata dokter tersenyum. “Tapi operasinya ditunda, tidak sekarang”. Semprul itu dokter. Masih bisa becanda di tengah ketegangan batin.
Di kamar operasi ada satu dokter urologi yang sudah saya kenal, dua dokter muda yang kelihatannya co-ass, dan tiga perawat.
Dipasang semua infus, monitor jantung dan lain-lain di tubuh saya. Deg-deg-deg, rasa jantung berdegup. Bagaimana pun juga perasaan takut, khawatir, ngeri mampir ke hati. Biarpun sudah diberitahu bahwa ini bukan operasi besar, bius pun hanya setengah badan bukan bius total, tetap saja jantung ini berdebar lebih keras dan lebih cepat. Saya pikir operasi akan dibatalkan karena detak jantung berubah menjadi cepat dan keras. Tapi ternyata tidak. Operasi jalan terus.
Dokter anestesi datang. Wanita. Cukup cantik sih. Tapi tetap tidak bisa menenangkan jantung yang gemetar. Menyuruh saya duduk memeluk lutut. “Tempelkan lutut ke dada, pak. Jangan bergerak ya”. Kemudian dia menyuntik punggung bagian bawah dengan obat bius. “Sudah, silakan tiduran lagi.” Saya kembali berbaring. “Angkat satu kaki, pak”. Saya angkat kaki kiri. “Oh, berarti belum tersebar obatnya. Coba tarik napas dalam-dalam. Kemudian dibatukkan keras. Tarik napas dalam-dalam lagi. Batuk yang dalam. Tarik napas, batukkan lagi.”
“Sekarang kaki sudah kesemutan?”
“Ya”
“Coba angkat satu kaki”.
Saya berusaha mengangkat tapi tidak bisa. “Tidak bisa, dokter”. Memang pinggang ke bawah terasa ba’al. Mengangkat satu kaki saja benar-benar tidak mampu. “Ya berarti sudah menyebar.” Kemudian dia berkata ke dokter urologi: “Sudah dokter. Silakan dimulai”.
Maka dokter urologi pun mengambil alih pimpinan. Sebelumnya dia meminta semua – termasuk saya – berdoa bersama. Selesai itu, barulah dia mulai beraksi.
Pertama (kayaknya sih) yang dikerjakan adalah biopsy. Memasukkan alat lewat dubur dan mengambil beberapa sampel prostat. Selesai itu barulah memasukkan alat TURP dan seterusnya dan seterusnya. Tidak ada rasa sakit selama operasi, terima kasih ibu dokter anestesi.
Saya tidak bisa melihat apa yang dilakukan dokter urologi. Bahkan wajahnya pun tidak dapat saya lihat. Karena di pinggang dipasang tabir yang menghalangi pandangan. Melihat layar monitor juga tidak bisa. Tapi saya bisa mendengar dokter itu bicara. Juga bisa melihat para dokter muda yang sepanjang operasi itu berdiri membantu. Kadang mereka saling berbisik satu sama lain. Menunjuk-nunjuk ke layar monitor. Kadang hanya berdiri tegang, terpaku memperhatikan layar monitor. Wah, bikin makin deg-degan.
Operasi ini memang sangat tergantung monitor. Dokter tidak bisa melihat prostat langsung, dia percaya penuh kamera di alat TURP dan layar yang menampilkan gambar.
Operasi berjalan hampir satu jam. Di akhir-akhir operasi memang mulai terasa apa yang dokter lakukan. Mungkin pengaruh bius hampir habis. Akhirnya kira-kira jam 23:30 dokter urologi memproklamirkan operasi selesai. Alat TURP dilepas, kemudian dipasang kateter lagi.
“Sudah selesai, pak” kata beliau tersenyum. Eh, itu perkiraan saya, lho. Karena separo wajah masih tertutup masker, mulutnya tidak kelihatan.
“Iya, terima kasih”, jawab saya lemah.
“Sudah boleh makan minum. Tapi jangan langsung banyak. Bertahap, sedikit sedikit dulu”. He he.. rupanya dia tahu saya sudah lapar setelah puasa 11 jam yang seharusnya hanya 6 jam.
Dokter melepas baju operasi dan bersiap-siap pergi. Kata dokter muda: “Pulang, dok?”
“Ke rumah sakit anu”, jawab dokter itu menyebut nama satu rumah sakit yang kira-kira 30 km dari tempat ini. “Ada lagi yang mau operasi”.
“Lho, ini sudah jam setengah dua belas malam, dok”.
“Ya, pasiennya mau menunggu. Saya katakan paling cepat jam 12 malam dan dia setuju”.
Cek.. cek.. saya hitung dari sini ke sana perlu minimal satu jam. Jadi dia akan melakukan operasi jam setengah satu malam. Apa tidak ngantuk ya? Saya yang dioperasi yang 10 malam saja kuatir dokter salah potong. Begitu larisnya dokter urologi. Mungkin karena banyaknya kasus prostat di Indonesia.
Dokter pergi , dan saya juga didorong balik ke ruang perawatan.
End of part 3
Depok, Februari 2017