Sebuah pohon di dekat rumah tumbang karena hujan deras beserta angin kencang semalam. Pohon itu sudah berumur puluhan tahun, mungkin lebih dari seratus tahun. Batangnya sangat besar, sebesar dua pelukan orang dewasa. Sudah berlumut sepanjang batangnya sehingga warnanya seakan menjadi hijau. Punya berpuluh cabang yang juga besar.
Ketika tumbang, separuh badan jalan tertutup olehnya, membuat lalu lintas macet berat. Masyarakat datang berbondong-bondong memotong dahan-dahan yang menjulur ke jalan. Memotong dahan-dahan itupun membutuhkan gergaji mesin karena besarnya dahan-dahan pohon tersebut. Setelah dahan-dahan dipotong, barulah lalu lintas dapat lancar kembali. Pokok pohon masih dibiarkan di tempat. Di samping berat untuk mengangkatnya, juga sudah tidak lagi mengganggu lalu lintas.
Akar pohon ini sudah sangat besar. Saya membayangkan kalau bisa membuat meja dari akar dan pokok pohon ini, bisa membuat meja makan ukuran 6 orang tanpa sambungan.
Pohon ini telah banyak berjasa memberikan keteduhan kepada orang yang beristirahat di bawahnya. Dia juga berjasa menahan air hujan sehingga banjir besar bisa tercegah sedikitnya terkurangi. Dia juga berjasa memberikan banyak oksigen ke lingkungan. Cabang-cabangnya dimanfaatkan penduduk sekitar sebagai kayu untuk banyak keperluan. Saya tidak tahu mengenai buahnya. Tapi, tanpa buah pun pohon itu sudah berbuat banyak untuk sekitar.
Pikiran menerawang ke diri sendiri. Akhirnya, beginilah diriku akan berakhir. Meski akar besar dan kuat menghujam ke dalam tanah. Meski cabang besar telah bertumbuhan di pokok. Walau daun rimbun melingkupi. Bahkan meski jasa telah banyak dibuat . Terima kasih dari masyarakat sekitar ternyata tidak cukup. Pada akhirnya kita tidak bisa melawan umur. Suatu saat kita akan berakhir. Seperti pohon besar yang tumbang. Akar tercerabut, cabang-cabang tidak lagi bisa berkembang. Tidak bisa lagi berbunga atau berbuah.
Untuk pohon, mereka lebih beruntung. Tidak ada pertanggungjawaban setelahnya. Di akhir hayat, mereka puas karena sudah berjuang di kehidupan mereka.
Tidak demikian dengan manusia. Di akhir hayat, mereka akan diminta pertanggungjawaban. Setidaknya, itulah yang saya dapat dari guru agama saya. Sayangnya, saya mempercayainya. Jadilah sekarang saya selalu memikirkan pertanggungjawaban di akhir nanti. Ketika akar saya sudah tidak mampu menunjang saya berdiri, ketika cabang saya sudah tidak bisa melindungi pokok.
Dan untuk manusia, ini bukan akhir dari segalanya. Ini adalah permulaan dari babak baru kehidupan.
Seorang teman kehilangan orang tuanya. Dan dia merasa sedih dengan kejadian itu. Gurunya menghibur dengan perkataan yang indah: “Untuk mencapai surga, satu-satunya pintu adalah kematian”. Perkataan yang membekas di hati saya.
Ya, kematian bukanlah akhir dari segalanya. Ada alam kubur. Kemudian setelah kiamat, ada masa timbangan. Yaitu masa dihitungnya amal perbuatan kita. Diadili di hadapan semua makhluk. Tidak hanya dari seluruh dunia, tapi juga dari seluruh masa. Dari masa Nabi Adam as hingga masa dekat kiamat. Semua berdiri dan menunggu pengadilan terakhir. Di bawah terik matahari yang dekat dengan kepala. Keringat bercucuran karena panasnya udara. Empat puluh tahun berdiri menunggu pengadilan dimulai. Wahai, alangkah berat. Bahkan sebelum pengadilan.
Dan di saat ini saya masih sibuk mencari-cari kesalahan orang lain. Mengapa tidak sibuk dengan diri sendiri, menghitung amal sendiri, dan melupakan keburukan orang lain?
Ada kisah seseorang yang berumur 500 tahun. Dia beribadah sepanjang hidupnya. Siang berpuasa, malam berdiri sholat. Ibadah tidak putus-putusnya selama 500 tahun. Di hari pengadilan, ketika dihitung ternyata semua ibadahnya tidak bisa menandingi karunia Allah swt padanya berupa penglihatan.
Berapa umur kita nantinya? Saya yakin tidak sampai 500 tahun. Dan banyak dari waktu hidup yang sedikit itu dihabiskan dengan kelalaian. Banyak ibadah yang kita tinggalkan. Banyak maksiat yang kita kerjakan.
Dan saat tumbang di akhir umur nanti, bisakah kita berkata: “Saya sudah melaksanakan tugas-tugasku dengan sempurna”? Oh, betapa beruntungnya pohon itu.
Serpong, Januari 2015