Datang ke pengajian bulanan ex teman-teman SMA, mendapat berita mengejutkan bahwa salah satu teman wanita bercerai. Dia sudah berumur 51 tahun. Saya tidak tahu persis usia suaminya, tapi saya perkirakan 55 tahun. Sudah berumahtangga puluhan tahun, minimal 20 tahun. Kemudian bercerai bulan lalu. Saya tersentak mendengarnya. Kok bisa?
Jika ada ketidakcocokan, pastilah mereka bercerai dua atau tiga tahun setelah menikah. Bukan setelah 20 tahun. Masalah ekonomi juga bukan. Mereka hidup nyaman di salah satu perumahan elite di Cibubur. Mereka juga punya rumah kedua di perumahan Bekasi. Terbukti ketika bercerai sang istri mendapat rumah di kompleks mewah di bilangan kabupaten Bogor, dan dibelikan satu mobil. Ekonomi bukanlah persoalan bagi mereka. Jadi apa? Saya bertanya-tanya dalam hati.
Sayangnya, teman tersebut tidak mau bercerita sebab musabab perceraian. Tapi memang mereka selama ini tidak punya momongan. Apakah itu penyebabnya, Allahu alam.
Yang saya tidak habis pikir adalah lamanya pernikahan mereka. Jika saling tidak akur, kenapa harus menunggu dua puluh tahun untuk menyadari? Bila memang ada perbedaan mencolok, mengapa baru sekarang titik puncaknya? Bila persoalannya adalah tiadanya buah hati, apakah tidak bisa dikompromikan, misal dengan adopsi atau mendirikan panti asuhan? Dengan modal cinta dan saling mengerti, saya yakin kompromi bisa dicari.
Saudara saya juga demikian. Lebih parah malah. Setelah 30 tahun bersama, suami memutuskan bercerai walau punya dua anak ganteng dan cantik yang sudah meningkat dewasa. Kalau yang ini karena ada WIL. Suami yang berumur 58 tahun suatu hari mencukur rambutnya di sebuah salon. Dari sinilah bibit suka sama suka bermula antara suami dan penjaga salon. Dan saya melihat ada faktor post power syndrome di dalamnya. Suami yang pensiun sedikit banyak mengalami stress.
Beliau bekas pejabat tinggi yang biasa sangat dihormati. Setelah pensiun tidak ada lagi penghormatan itu. Tanda tangannya tidak lagi diperlukan. Ucapannya tidak lagi sakti. Ada tidak adanya seakan tidak berarti.
Ditambah istri yang tidak mau tahu keadaan suami. Alih-alih di rumah menemani suami, istri lebih banyak keluar, baik sendirian ke mall maupun dengan teman-temannya.
Juga ada anak yang terus menerus merongrong dengan permintaan biaya kuliah dan biaya lain. Penghasilan suami menurun drastis sementara gaya hidup mewah tidak berubah.
Maka ketika ada empati dari WIL, nada pujian dari mulut menawan, dan telinga yang mau mendengarkan, maka cintapun beralih perlahan. Tiga puluh tahun bersama bagaikan gedung WTC yang runtuh seketika.
Perceraian, Salah Siapa?
Bagi saya pasangan suami istri bercerai adalah salah berdua. Tidak mungkin hanya salah di satu pihak saja. Pihak pertama melakukan kesalahan kecil, pihak kedua tidak terima. Kemudian melakukan kesalahan yang sama untuk membalas. Pihak pertama merasa dibalas, lalu membalas lagi dengan perbuatan yang lebih parah. Pihak kedua membalas dengan perbuatan yang sama atau lebih buruk. Seakan berbalas pantun. Sayangnya, pantun kali ini bukan sekedar kata-kata hiasan tapi perbuatan-perbuatan yang saling menyakitkan.
Seorang istri melihat suaminya pergi sepanjang hari dan merasa diacuhkan. Istri membalas dengan pergi sepanjang hari juga. Saat suami datang istri tidak ada di rumah. Ketika ditelepon istri menjawab: “Lha kamu juga pergi mulu. Ngapain aku di rumah terus nungguin kamu sampe lumutan.” Mendengar nada demikian, suami jengkel dan membalas dengan pergi lagi dari rumah, klayapan (bahasa kerennya blusukan) ke rumah teman-temannya sampai tengah malam baru pulang.
Istri yang sudah di rumah tidak menyambut kepulangan suami dengan gembira. Malah berusaha tidur dan tidak mempedulikan suami. Suami yang datang dengan mengantuk dan kelelahan mencari minum sendiri, bersih-bersih kemudian tidur membelakangi istri. Suer, beda lho, rasa air putih yang suami mengambil sendiri dengan yang diambilkan istri. Rasanya lebih “nyes” dan segar air putih yang diambilkan istri.
Demikian seterusnya dua pihak saling membalas, saling tidak mau mengalah, saling menyakiti dan semakin memperdalam luka keduanya.
Pada akhirnya kedua pihak sudah mengumpulkan banyak “bukti” dan “senjata” yang akan diceritakan ke saudara-saudara masing-masing pihak mengenai keburukan pasangan. Keluarga yang tidak tahu duduk persoalan tentu mendukung keputusan cerai karena banyak rapor merah “pihak sana”. Dan perceraian tidak dapat dicegah. Astaghfirullahal azhim. Wa naudzu billahi min dzalik. Semoga kita dijauhkan dari hal yang demikian.
“A happy marriage is the union of two good forgivers.” Robert Quillen
Depok, Juni 2014
One thought on “Perceraian”