Oleh: Bambang Santoso
Tetangga dekat rumah ada yang menikah. Lokasi menikah di Bekasi. Akad nikah hari Ahad jam delapan pagi. Dari rumah kami berangkat pagi-pagi agar dapat menghadiri akad nikah. Terus terang, kami lebih senang menghadiri akad nikah. Bila dibolehkan pemilik hajat, kami akan memilih datang di akad daripada resepsi.
Akad lebih layak dihadiri daripada resepsi. Karena upacara sakral ada di sini. Ijab kabul penanda ikatan hati. Dua kalimat penghalal yang tadinya haram, dan pengharam yang tadinya halal.
Tadinya dilarang berdua-duaan di kamar. Bisa-bisa digerebek orang sekampung. Sekarang dibolehkan bahkan disunnahkan. Tadinya mengabaikan wanita tersebut dibolehkan. Sekarang menelantarkan dan tidak menafkahinya diharamkan.
Akad berlangsung hikmat. Lancar tanpa pengulangan. Kata “sah” bergema dari puluhan orang yang hadir sebagai saksi. Termasuk kami. Wajah gembira dan plong pengantin pria menggantikan wajah tegangnya sebelum akad. Semua bergembira, sumringah, bahagia. Saat itulah telpon saya bergetar tanda ada panggilan masuk. Saya angkat. “Cucuku meninggal,” ujar kakak saya singkat. Mengabarkan berita menggelegar. Cucu keponakan yang masih bayi meninggal di umur 4 hari. Setelah sebelumnya ditunggu kosong selama 2 tahun.
Kami berdua bergegas pamit kepada tuan rumah dan langsung menuju ke rumah kakak. Terlihat saltum alias salah kostum ketika memakai baju pesta ke rumah duka. Sangat drastis peralihan dari suasana Bekasi yang sebelumnya meriah dan suka cita berganti suasana kelabu penuh tangis dan duka. Ayah ibunya terlihat lemas dan menangis tak berkesudahan. “Sudah mencari pemandi jenazah?” tanya saya. “Belum, Om. Kami tidak bisa mikir,” kata keponakan saya disela tangis.
Di peristiwa lain, WA Group SMP kami mengabarkan ada sahabat dekat yang meninggal. Sahabat yang baik dan perhatian. Kaya tapi tidak sombong. Suka membantu dan bersedekah tapi tidak pernah menampakkan. “Turut berduka cita” tertulis berulang-ulang di WA Group hari itu. Dari orang-orang yang mengenalnya secara langsung, maupun yang tidak mengenalnya langsung. Suasana berkabung meliputi WA Group saat itu. Semua menceritakan kebaikan sang almarhum. Banyak yang mengatakan: “Padahal saat terakhir saya bertemu beliau bla bla bla.”
Sorenya, satu posting berbeda muncul. Ucapan “Selamat ulang tahun…” ditujukan ke satu orang anggota group yang berulang tahun hari itu. Langsung di bawahnya berderet pesan “Turut berbahagia …” mengucapkan selamat ultah. Begitu cepat mood di WA Group berubah. Dari sedih, sendu, duka, luka menjadi ceria, gembira, bahagia.
Demikianlah dunia. Gembira cepat menjadi duka, sedih segera berubah menjadi ceria. Begitu lekas suasana hati berubah.
Karenanya saat bergembira, janganlah gembira berlebihan. Cukup sekadarnya. Sedih pun jangan berlebihan. Cukup sedang-sedang saja.
Dua kejadian di atas hanyalah sedikit dari banyak peristiwa dunia yang mengubah suasana hati seketika. Saya ingat peristiwa tsunami Tanjung Lesung di mana banyak anak bangsa sedang bergembira ria di pantai menyambut tahun baru. Tiba-tiba air laut menghempas keras. Panggung ambruk, peralatan bertebaran, banyak yang meninggal. Dari euphoria, menjadi tangisan.
Skenario Allah itu tak terduga. Siapa dapat menjamin anda terus bahagia? Skenario Allah mengalahkan segala kira. Pantaskah seseorang sedih selamanya?
Cobalah berjalan lurus. Adakah jalan rata selamanya? Tidak. Mendaki dan menurun adalah biasa. Ketika sudah terus menerus menaik, hati-hati, jangan lupa diri. Anda sudah makin dekat ke turunan. Tidak pernah ada jalan yang terus menerus menaik. Bahkan gunung pun punya puncak tertinggi.
Demikian juga bila jalan terus menerus menurun, jangan berputus asa. Itu pertanda jalan akan menaik. Tidak mungkin jalan terus dan terus menurun. Berharaplah dan berprasangka baiklah kepada Allah swt, Penguasa Alam Semesta.
Orang bijak tidak punya euphoria. Dia tahu kesenangan akan berakhir. Tidak besok, mungkin lusa. Tidak lusa mungkin pekan depan.
Dia tidak punya kesedihan mendalam. Tahu bahwa kesedihan ini pasti akan berakhir dan kegembiraan sudah menanti untuk menggantikan kesedihan.
Bagi yang sedang putus asa, janganlah takut, kita masih punya Allah yang Maha Kuat.
Bukan tanpa alasan kalau jiwa bijak disebut nafsul muthmainnah – jiwa yang tenang. Tidak bergejolak dengan sangat. Ibarat laut dalam, menerima apapun dan tetap tenang di permukaan. Walau di dalamnya tersimpan kapal-kapal tenggelam yang berkarat dan mengotori dasar laut dalam. Anda tak melihat raut kesedihan di wajahnya.
Tangerang Selatan, Januari 2023