Pelupa

Sudah mulai berumur, saya sering lupa nama seseorang. Mungkin wajahnya ingat. Tapi namanya siapa, kapan bertemu, di mana pernah bertemu, itu semua hilang dari ingatan. Tidak jarang saya malu ketika seseorang dapat dengan lancar menyebut nama saya, sementara saya sama sekali tidak ingat dia. Makin berusaha diingat, makin hilang dan makin kabur. Parahnya lagi, dia memberikan tebakan: “Ayo, diingat-ingat, saya siapa? Pasti lupa sama saya ya”. Sampai akhirnya dengan malu-malu saya mengakui: “Ini mas siapa ya?” Owa…

Tidak hanya nama orang, saya juga sering lupa di mana menaruh barang. Berkutat membongkar laci demi laci dan banyak tempat lain hanya untuk mencari satu barang yang saya lupa ditaruh di mana. Waktu terbuang sia-sia, kerjaan menjadi tidak selesai, gara-gara barang belum ditemukan. Kalau hanya sesuatu yang murah seperti tisu atau pensil ini dapat mudah dibeli lagi. Tapi kalau dokumen asli yang harus ada, atau flash disk yang berisi data penting, tentu sukar mendapatkan kembali.

—oOo—

Ini kelemahan orang yang sudah mulai menua. Harus diakui otak tidak seencer dahulu lagi. Tapi ketika dipikir-pikir, ada sisi baiknya juga menjadi orang pelupa. Paling tidak di dua hal berikut.

  1. Lupa kebaikan kita

Hilanglah nilai kebaikan jika kita selalu mengingat-ingat kebaikan yang sudah kita lakukan. Pernah bersedekah ke orang. Pernah mengantar orang ke rumah sakit. Pernah mengajari orang cara membetulkan barang elektronik. Atau kebaikan lain.

Ada yang senantiasa mengungkit kebaikan diri. “Kalau tidak saya bantu, dia tidak akan bisa menyelesaikan kerjanya”. Atau “Untung dia nanya ke saya. Kalau nggak, dia akan muter-muter ke mana-mana nggak karuan.” Mengingat kebaikan saja tidak perlu, apa lagi menyebut-nyebutnya.

Ada cerita seorang pemuda sedang mencari kerja. Dia bertemu pamannya, dan paman itu memberitahu ada lowongan pekerjaan di perusahaan A. Pemuda itu kemudian melamar ke sana dan diterima. Proses normal, sama sekali tidak ada campur tangan dari pamannya. Paman itu hanya memberitahu adanya lowongan.

Karir pemuda ini bagus, naik pesat dalam beberapa tahun bekerja. Memang dasarnya dia adalah orang yang berpotensi.

Tapi tiap ketemu, pamannya selalu membangga-banggakan jasanya. “Dulu saya yang ngasih tahu lowongan itu ke dia. Kalau nggak saya kasih tahu dia nggak akan dapat pekerjaan itu”. Di arisan sang paman mengatakan itu. Ketika ada pernikahan dan para saudara berkumpul, sang paman mengatakan itu. Ada acara keluarga apa pun, sang paman tidak pernah lupa menceritakan kebaikannya memberitahu lowongan pekerjaan.

Sang keponakan lama-lama tidak tahan. Akhirnya dia memutuskan keluar dari perusahaan A. Padahal karinya sedang menanjak. Padahal dia suka pekerjaan itu. Dia pun disukai di tempatnya bekerja. Tapi dia ingin menghentikan ‘constant, irritating boasting’ sang paman.

Sungguh, hanya Allah yang perlu tahu kebaikan kita. Bahkan kalau bisa, orang yang kita bantu tidak perlu tahu. Contoh adalah doa. Ketika kita berdoa untuk orang lain, mereka tidak perlu tahu. Tidak perlu kita katakan: “Tadi malam saya sudah berdoa untuk kamu lho”. Lah, buat apa menyebutkan ini?

Lebih baik lagi kalau kemudian kita melupakan kebaikan kita tersebut. Seakan kita tidak pernah melakukannya. Nah, kalau sudah lupa ya jelas tidak bisa menyebutnya.

  1. Lupa keburukan orang

Jika selalu ingat kejahatan orang, kita tidak akan bisa tenang. Selalu hati ini terasa sakit ketika ingat kejadian di masa silam. Ketika sudah susah payah berusaha, ternyata ada orang menjegal sehingga semua usaha kita sia-sia. Ketika proyek yang kita lakukan hampir selesai, ada satu key person yang tidak mau memberikan persetujuan. Kemudian, proyek itu menjadi gagal dan kita rugi besar. Atau ketika anak tersayang tertabrak mobil orang. Atau ketika orang menghina kita dengan perkataan yang merendahkan dan menyakitkan.

Alangkah baiknya kita menjadi pelupa. Tidak ada rasa sakit hati. Tidak ada dendam pribadi. Tidak tersisa iri dengki. Bukankah dunia akan menjadi surga?

Terutama keburukan pasangan. Ketika istri menggoreng ayam gosong. Ketika suami telat menjemput istri. Hendaknya saling memaafkan, kemudian saling melupakan. Kebanyakan pasangan bercerai karena masing-masing tidak mau melupakan kesalahan yang lain. Tiap ada kesalahan baru, mereka mengungkit kesalahan yang dulu.

Ketika istri memasak tempe gosong, suami  mengatakan: :”Uh, gosong lagi. Kemarin nggoreng ayam gosong. Ini masak tempe juga gosong. Ga pernah bisa nggoreng ya? Kamu kalau masak air juga pasti gosong.”

Ketika suami telat lagi menjemput, istri mengatakan: “Selalu begitu. Selalu telat kalau menjemput aku. Memang tidak pernah mau perhatian pada istri. Ini sudah ketiga kalinya kamu telat.” Kesalahan suami diingat-ingat sangat detail. Bisa menyebutkan tempat kejadian, hari, tanggal, jam, menit saat pasangan salah.

Ibarat panci yang terus dipakai memasak, bukankah tetap bersih kalau setiap selesai memakai kita cuci panci itu? Sehingga tidak ada kotoran tersisa. Kesalahan pasangan adalah ibarat kotoran yang menempel di panci. Harus senantiasa dihilangkan, dilupakan.

Ibarat AC di kamar, bukankah harus dibersihkan berkala, agar saluran tidak tersumbat? Ibarat lantai di rumah, bukankah perlu disapu, dipel terus menerus agar tidak ada noda?

Mari bersihkan ingatan dari keburukan orang. Niscaya akan membaiklah hubungan kita dengan sesama. Apalagi kalau itu adalah kesalahan pasangan. Lupakan saja. Cuci bersih hati anda. Kalau dikotori lagi ya dicuci lagi. Gitu aja kok repot.

Lupa adalah anugerah Allah yang sangat berharga. Banggalah memilikinya.

Pamulang, September 2019

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *