Pandai

Pandai itu anugerah. Diberikan Allah swt kepada orang-orang tertentu. Beruntunglah orang-orang ini. Ketika orang lain butuh sehari untuk belajar satu topik, dia hanya perlu dua jam. Yang lain perlu bersusah payah belajar untuk mendapatkan nilai B, dia dengan santai bisa mendapatkan A. Orang lain berkeringat dua jam mengerjakan ujian, dia keluar dari ruang ujian 30 menit lebih awal. Itu pun sudah ‘bertoleran’ ke teman-teman dengan tidak keluar jauh sebelumnya.

Benar, pandai itu blessing. Suatu kenikmatan yang diberikan Allah kepada sedikit orang. Einstein menerimanya, bapak teknologi Indonesia B.J. Habibie juga menerimanya. Tapi kebanyakan orang hanya mendapatkan kepandaian rata-rata saja. Dan kelebihan yang langka membuat orang-orang pandai ini selalu mendapat pujian di mana-mana.

Kemudian, seiring dengan berjalannya waktu, orang-orang terpilih ini menjadi terbiasa dengan kata-kata: “Wah, kamu pandai sekali.” Atau “Hebat banget lu”. Atau “Kok kamu bisa sih?”. Pujian-pujian ini membuat kelebihan mereka menjadi senjata yang berbalik makan tuan. Apa masalahnya?

  1. Arogan dan sinis

Alangkah sayang, orang pandai kebanyakan arogan. Kalimatnya mencerminkan kebanggaan pada diri sendiri. Kadang tidak secara langsung diucapkan, tapi tetap terasa dalam perkataan. “Kalau saya, satu hari sudah cukup mengerjakan itu” Ketika diajari sesuatu, sering mereka mengucapkan: “Ya, ya, saya sudah tahu”. Membuat orang menjadi malas mengajari mereka. Sindiran orang pandai ke orang bodoh kadang memang benar tapi betapa menyakitkan. Sinis adalah kelakuan mereka sehari-hari. “Seharusnya ini sudah selesai dua hari yang lalu”. Atau “Waktu saya SD saya sudah bisa mengerjakan ini”. Mereka pandai tapi ternyata kurang cermat untuk mengetahui bahwa tidak semua kebenaran itu perlu diucapkan.

  1. Tidak terlatih sabar maupun toleran terhadap kesalahan orang lain.

Orang lain salah, perkataan nylekit langsung saja keluar dari mulut orang pandai: “Gitu aja nggak bisa”. Atau: “Dulu belajar apa saja di sekolah?”. Orang dengan kepandaian biasa-biasa saja akan lebih toleran terhadap kesalahan orang lain. Mereka tahu bagaimana rasanya “tidak tahu” dan “bodoh”. Sedang orang pandai tidak pernah mengalami itu. Mereka tidak bisa menerima ketidaktahuan orang akan suatu hal. Bukankah belajar itu mudah? Bukankah kalau tidak tahu itu dalam waktu singkat bisa menjadi tahu? Mereka tidak pernah merasakan pengalaman “tidak tahu” dalam waktu lama.

Ketika orang bersusah payah dan lambat dalam melakukan sesuatu, orang pandai tipe satu akan segera mengambil alih pekerjaan tersebut. Sedang orang pandai tipe dua akan mencemooh: “Lambat nian, bro. Siput aja lebih cepet”. Keduanya jelek untuk pembelajaran orang lain.

  1. Kurang bersyukur

Dengan segala kelebihannya, orang pandai sering tidak bersyukur. Merasa ini adalah kemampuannya. Tidak menghargai bantuan orang lain sehingga jarang mengucapkan terima kasih. Dan kurang menghayati adanya campur tangan Allah swt dalam tindakan mereka.

Keadaan ini diperparah dengan adanya sekolah. Di jaman belum ada sekolah (jaman kuda gigit besi) kepandaian bukanlah satu-satunya hal yang dipuji dan dihormati. Hal lain juga dihormati setara dengan kecerdasan. Misal otot. Kemampuan berkelahi dihormati seperti pada jaman gladiator. Demikian juga kemampuan berburu, karena saat itu makanan datang dari hasil berburu.

Ada kepala salah satu lembaga pemerintah yang tidak mau menerima kandidat karyawan dengan nilai tertinggi di universitasnya. Mereka ingin lapis kedua yang nilainya B. Padahal lembaga ini banyak bergerak di bidang penelitian. Seharusnya mereka mencari orang dengan kecerdasan tertinggi. Namun berdasar pengalaman, orang-orang dengan nilai nyaris sempurna ternyata kurang bisa bekerja sama dengan kolega. Sangat pandai sih, tapi apalah guna kalau tidak bisa berkolaborasi dengan temannya. Padahal sekarang semua penelitian tidak bisa bekerja sendiri. Harus dalam kelompok. Orang yang sangat pandai sering dengan pede melakukan kemauannya sendiri yang tidak sejalan dengan keputusan bersama. Hasilnya, orang pandai ini tidak memberikan kontribusi berarti ke tim, bahkan memberikan masalah.

Kekurangan lain dari orang pandai adalah menunda pekerjaan. Sering dikerjakan di akhir waktu tenggat. Karena dengan kecerdasan mereka, biasanya pekerjaan apa pun dapat dikerjakan dalam waktu singkat. Pada satu saat benar, mereka selesai tepat waktu. Pada banyak kejadian, mereka tidak bisa menyelesaikan tepat waktu. Karena mereka bukan superman yang selalu dalam keadaan fit dan segar. Ada masa-masa capek, lelah, sakit, atau mood menurun.  Atau pada saat akan mengerjakan, ada kejadian lain yang perlu perhatian mereka. Atau ada pekerjaan penting lainnya yang datang mendadak.  Sehingga pekerjaan sebelumnya menjadi terbengkalai.

Kekurangan lain adalah kurang uletnya mereka berusaha. Kadang ada pekerjaan yang perlu waktu lama. Ini membuat mereka tidak sabar dan segera berputus asa. Endurance atau daya tahan berbanding terbalik dengan kepandaian.

Saya punya saudara yang berbisnis laundry atau cuci setrika pakaian. Karyawan sering keluar masuk. Biasa, karena memang bisnis seperti itu tidak bisa menggaji tinggi karyawan. Tiap kali ada karyawan baru, bisa kelihatan mana karyawan yang pandai dan mana yang kurang pandai. Yang pandai, hanya perlu diajari sebentar dia sudah tahu. Dan bisa mengerjakan tugasnya dengan benar. Yang kurang pandai, harus diajari berkali-kali. Kadang sampai saudara saya putus asa untuk mengajari. Baru bisa mengerjakan dengan benar.

Tapi kemudian terlihat karyawan yang pandai mudah keluar dan pindah ke pekerjaan lain. Barangkali ada faktor orang pandai mudah mendapat pekerjaan. Tapi juga ada faktor kurang uletnya para orang pandai.  Sedangkan karyawan yang kurang pandai, bertahan lama di pekerjaannya. Mereka ulet, mau disuruh apa pun, dan lebih loyal ke perusahaan. Pengalaman yang sama seperti di lembaga pemerintah di atas.

Cerita lain, ada seseorang yang berjuang keras di masa kuliahnya di fakultas pertanian. Hampir drop out, dan dianggap dosennya tidak becus untuk lulus. Meski pun akhirnya dapat juga lulus di injury time, yaitu di akhir masa sepuluh tahun.

Lulus sarjana, dia bercocok tanam kedelai. Dia mengumpulkan berbagai macam jenis kedelai. Disilangkan satu per satu antara bermacam jenis kedelai. Ditanam dan dirawat dengan seksama. Hasilnya diperiksa dan dipilih yang terbaik. Kemudian yang terpilih disilang lagi dengan yang lain. Tiap siklus perlu tiga bulan.

Setelah bersabar dengan telaten selama enam tahun dia bisa mendapatkan kedelai unggul. Biji besar, rasa enak, tahan hama, waktu panen sebentar. Karena ini dia banyak diminta berceramah di kampus-kampus mengenai pengalamannya menyilangkan biji kedelai. Bahkan di depan para dosennya yang dulu. Bukan kepandaian, tapi keuletan luarbiasalah yang membuatnya berhasil, mengalahkan para dosen yang jauh lebih pandai darinya.

Tentu, tidak semua orang pandai bertindak dan bersifat negatif seperti itu. BJ Habibie adalah sedikit dari orang pandai yang mempunyai kepribadian matang. Tetapi kebanyakan orang pandai yang saya temui mempunyai satu atau lebih faktor negatif di atas. Sayang sebenarnya. Ini membuat orang pandai tidak begitu berhasil dalam hidup. Dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan sosial dan keluarga.

Pandai saja tidak cukup. Bijaksana harus menyertainya.

Memakai pakaian lengkap yang sederhana itu lebih baik dari pada memakai baju yang mahal dan gemerlap tapi tidak memakai celana.

Pamulang, Oktober 2019

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *