Saya kok merasa korupsi tidak menurun di Indonesia. Pernah bertanya kepada seorang pejabat: “Apakah tidak takut ketahuan korupsi? Bukankah sudah banyak yang kena KPK?” Dia menjawab enteng: “Yang ketahuan itu kan yang lagi apes saja”. Whoa… Jadi waskatnya bukan pengawasan malaikat tapi pengawasan teman dekat. Jadinya ya korupsi bersama atau bersama-sama korupsi, manapun yang anda mau.
Seorang penerima proyek yang jujur alias tidak memberikan gratifikasi tidak akan diperingatkan oleh mereka (para pejabat korup). Hanya saja tidak akan lagi diberi proyek.
Seorang pejabat pengadaan bercerita ke saya bahwa dia pernah memberikan proyek ke seseorang. Kemudian orang tersebut tidak memberikan apa pun ke dia maupun ke para pejabat yang terlibat. “Orang itu pelit banget.” kata beliau. “Ya paling tidak bagilah untuk bagian keuangan, bagian penerima barang dan user. Harusnya mereka-mereka itu dapat.”, kata beliau menasehati saya dengan “bijak”. Kemudian melanjutkan: “Kalau untuk saya sendiri sih tidak perlu. Saya tidak minta kok. Hanya saja, kalau ada rasa terima kasih karena sudah diberi proyek, ya untuk saya juga boleh”. Dihadapan beliau sih saya manggut-manggut saja seakan mengerti.
Dan selanjutnya pengusaha tersebut di ‘black-list’ oleh beliau, tidak pernah lagi diberi proyek. Bukan karena tidak bisa mengerjakan proyek, tapi karena tidak ada gratifikasi sama sekali. Dan beliau sebagai pejabat pengadaan punya kuasa menentukan siapa yang diberi proyek siapa yang tidak.
Gratifikasi dianggap sesuatu hal yang biasa. Suatu norma umum. Maka pengusaha yang tidak memberikan gratifikasi dianggap orang aneh. Semua yang lain memberi kok pengusaha yang ini tidak.
Lebih jauh lagi, seorang pengusaha yang tidak memberi gratifikasi adalah seseorang yang pelit, dan sangat tidak tahu terimakasih.
Suatu norma yang – menurut saya yang awam ini – sangat bertolak belakang dengan norma yang seharusnya dianut.
***
Saya teringat satu cerita. Guru SD menghadapi murid-muridnya. Di tangan kiri ada kapur, di tangan kanan ada penghapus. “Apa ini?” guru mengangkat tangan kiri, “Kapur”, kata murid beramai-ramai. “Bagus. Apa ini?”, guru bertanya sambil mengangkat tangan kanan. “Penghapus”, jawab murid serempak. “Bagus”, jawab guru.
“Sekarang kita balik”, kata guru. “Penghapus kita namai kapur dan kapur kita namai penghapus. Mengerti semua?” Murid-murid menjawab mengerti.
Kemudian guru mengangkat kapur dan bertanya: “Apa ini?” Sebagian murid menjawab kapur, sebagian menjawab penghapus. “Ini sekarang kita namai penghapus”, guru mengingatkan. Kemudian dicoba lagi, guru mengangkat kapur dan bertanya: “Apa ini?” Dijawab beramai-ramai “Penghapus.”
“Bagus”, kata guru. “Apa ini?” guru sekarang mengangkat penghapus. Sebagian murid menjawab kapur, sebagian menjawab penghapus. “Ini sekarang kita namai kapur”, guru menjelaskan. “Mari kita coba lagi. Apa ini?” tanya guru sambil mengangkat penghapus. Murid menjawab kompak “Kapur”.
Demikian guru itu melatih anak-anak mengatakan kapur sebagai penghapus dan penghapus sebagai kapur. Setelah berkali-kali dilatih, akhirnya seluruh murid bisa kompak menyebutkan kapur sebagai penghapus dan penghapus sebagai kapur.
Setelah semua kompak, guru mengatakan lagi: “Sekarang kita kembalikan lagi kapur sebagai kapur dan penghapus sebagai penghapus. Apa ini?” guru mengangkat kapur. Maka sebagian besar murid tetap mengatakan itu penghapus dan sebagian kecil saja yang mengatakan itu adalah kapur.
Kesimpulan dari cerita guru dan murid di atas? Tidak ada kesimpulan Om. Silakan dicari ‘ndiri masing-masing.
Serpong, Maret 2015