Saya naik angkot 79 Cimanggis Depok, jurusan Cisalak – Leuwipanjang. Saat itu ada seorang nenek yang sudah ada di angkot. Tidak berapa lama dia meminta turun. Semua orang di angkot menanyakan ke nenek tersebut: “Bener turun di sini, nenek?” Ada yang bertanya: “Nenek hafal nggak? Jangan-jangan bukan di sini”. Yang lain mengatakan: “Lihat dulu nek. Ingat tempatnya?”.
Saya melihat ke nenek yang membuat heboh ini. Umurnya sudah tua, mungkin 80 tahun. Gerakannya pelan-pelan. Kakinya kelihatan sudah goyah menyangga tubuhnya yang berusaha berdiri di angkot. Bagi yang pernah naik angkot Suzuki Carry saya rasa tahu bagaimana susahnya berdiri di angkot tersebut.
Si nenek membawa satu tas plastik kresek di tangannya. “Hati-hati nek”, kata orang di sebelahku. “Pelan-pelan aja nek”, kata orang di sebelahnya. “Ya nek, nggak bakal ditinggal kok”, kata sopir.
Akhirnya nenek dapat turun dengan selamat. Untung ada seseorang yang ikut turun bersamanya. “Mari nek saya seberangin”, saya masih mendengar orang tersebut menawarkan bantuan ketika angkot sudah bergerak menjauh. Dari angkot saya masih sempat melihat sang nenek dibantu orang tersebut menyeberangi jalan.
Orang-orang kemudian ramai membicarakan si nenek. “Dia dari Bogor”, kata satu orang di angkot. “Hah? Dari Bogor? Jauh amat”, pikir saya. “Dia mau jualan ketapang di perumahan situ”, kata seorang ibu sambil menunjuk perumahan Permata Puri tempat si nenek tadi turun. “Apa itu ketapang, bu”, tanya saya. “Sejenis makanan camilan, macam jajanan pasar”, kata ibu itu menerangkan. Lebih hah lagi saya. Seorang nenek jauh-jauh dari Bogor naik angkot untuk menjual camilan. “Harganya satu bungkus enam ribu. Ini tadi saya beli satu”, kata yang lain. Lebih-lebih hah. “Dia bikin sendiri di rumah”, jelas orang lain lagi di angkot. Ck ck ck. Makin terperangah saja saya.
Dengan melihat bungkusan kue ketapang dan melihat tas plastik yang dibawa nenek tadi, saya memperkirakan nenek itu hanya membawa kurang lebih 10 bungkus. Dengan harga enam ribu per bungkus, kemungkinan keuntungan sekitar dua ribu per bungkus, nenek itu akan mendapatkan 20 ribu rupiah kalau jajanannya terjual habis. Jumlah segitu harus dikurangi ongkos dari Bogor ke Cisalak pp.
Saya termangu. Hampir menitikkan air mata memikirkan sang nenek. Setelah begitu tua, jalan pun sudah pelan tertatih-tatih, masih memikirkan mencari uang untuk penghidupan. Ada rasa haru melihat perjuangan gigihnya mencari uang. Ada juga perasaan kasihan karena perhitungan keuntungan yang tipis. Ada juga perasaan heran mengapa anak cucunya membiarkan sang nenek berjuang sendiri.
*******
Saya teringat satu wejangan dari seseorang. Ada 4 orang yang sangat dekat ke surga, dan sekaligus sangat dekat ke neraka. Surga dan neraka hanya terpisah sehelai rambut tipis.
Yang pertama adalah orang yang punya jabatan. Dia dengan gampang bisa mendapatkan kemudahan yang dia inginkan. Sangatlah mudah seorang pejabat menggunakan pengaruhnya karena semua bawahan akan menurut dan tidak berani membantah. Tapi bila dia berhasil menjaga amanah dia lulus ujian dan menjadi pemimpin yang adil. Surga merindukannya. Bila amanah diselewengkan, hak orang lain tidak ditunaikan, neraka menantinya.
Yang kedua adalah orang yang punya uang. Dengan ini dia bisa membelanjakan uangnya sesuai kehendak. Bila dia membangun sekolah, membantu anak yatim, memberi pekerjaan orang, tidak zhalim pada karyawan, maka dialah orang yang mendapatkan keuntungan dari berjual beli dengan Tuhannya. Membeli surga dan membayar dengan harta dunia. Sebaliknya, dia juga dengan sangat mudah melakukan keburukan seperti ke pergi ke night club, minum minuman keras, mendapatkan wanita dan cewek matre, menyuap pejabat, dan lain-lain. Maka neraka sudah tidak sabar ingin menelan dirinya.
Yang ketiga adalah orang yang tidak punya uang sama sekali. Tiap saat, pasti ada kesempatan untuk berbuat kriminal. Menemukan HP atau dompet ketinggalan merupakan godaan besar, apakah akan dikembalikan atau akan dipakai sendiri. Ada anak kecil yang berjalan sendiri, apakah akan diperas, diambil tas dan uangnya? Tukang kue yang lengah, apakah akan kita ambil kuenya? Ibu yang ceroboh, akankah kita jambret tasnya? Pendeknya pasti ada kesempatan terbuka untuk berbuat kriminal demi uang yang diidamkan.
Orang yang tidak punya uang akan sangat bernafsu untuk melakukan tindak kriminal. Menipu, mencuri, merampok, atau lainnya. Karena perut lapar, istri sedang sakit dan perlu berobat, anak yang menangis karena lapar atau karena diejek teman-teman sebaya. Orang-orang seperti ini mudah sekali menjadi gelap mata dan menghalalkan segala cara untuk mendapat uang.
Orang-orang yang bisa menahan dirinya, tetap berjalan di jalan lurus walau hasilnya sangat sedikit akan mendapat pahala besar di akhirat. Kesabaran adalah kunci.
Yang keempat adalah orang yang sakit hati. Orang-orang yang sakit hati bila mereka bisa menahan hati dan berusaha ikhlas serta melupakan kejadian kezholiman yang menimpa mereka, maka pahalanya sangat besar. Saat Nabi saw di Thoif beliau dilempari batu, diejek, diusir dari sana, padahal niat tulus beliau saw adalah ingin mengajak ke kebenaran. Malaikat gunung saking geregetannya berkata: “Ya, Nabi. Berdoalah pada Tuhanmu. Niscaya akan aku angkat gunung ini dan aku timpakan pada mereka.” Nabi saw menjawab: “Jangan, mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Bahkan Nabi saw berdoa: “Ya Allah, jadikan anak cucu mereka para pejuang Islam. ” Doa yang dikabulkan Allah swt. Bayangkan bila seorang nabi berdoa, pastilah doanya didengar Allah swt. Apalagi ini pada saat beliau sedang dianiaya. Maka doanya sangat makbul.
Orang yang sakit hati dapat melakukan apa saja karena gelap mata. Tidak ada ketakutan atau pikiran panjang akan akibatnya. Tapi orang-orang yang bisa menahan diri walau hati telah tersakiti, untuk mereka surga menanti.
****
Nenek tersebut saya rasa masuk golongan tiga. Beliau tidak punya uang, tapi berusaha sekuat tenaga tidak melakukan hal-hal tercela. Beliau jauh-jauh datang dari Bogor berjualan jajanan dengan harga tidak seberapa. Saya tidak tahu apakah suami atau anak-anaknya masih ada dan mengapa mereka membiarkan sang nenek melakukan perjalanan usaha yang semestinya sudah tidak lagi dilakukan. Tapi saya tahu pasti, si nenek adalah seorang pejuang keras. Tidak menyerah dengan keadaan miskinnya. Surga sudah tidak sabar menantimu, nek.
Tiba-tiba saya jadi merasa malu. Apakah usaha saya sudah sekeras itu? Bisakah saya jadi segigih beliau?
Depok, awal Juni 2013