Kami bertiga makan bersama. Saya, teman saya, dan anaknya. Saya lagi punya uang, makanya berani mbayarin. Bukan di tempat mahal, maklum, bukan pengusaha kelas milyaran. Hanya di warung makan pinggir jalan. Teman saya bernama Farhan dan anaknya Dedi.
“Mau makan apa, nih?”, tanya saya ke Farhan. Teman saya memesan nasi goreng. “Kalau Dedi mau makan apa?”, tanya saya ke anaknya. Sebelum anaknya menjawab, ayahnya mendahului: “Mie goreng saja. Biasanya juga begitu. Ya kan, Dedi? Mau makan mie goreng?” Saya terkesima. “Kenapa bukan Dedi yang memilih?”, tanya saya. “Ah, dia senangnya mie goreng kok”, jawab ayahnya. Lho, kenapa anak tidak diberi kesempatan memilih? Dan anak ini sudah bukan kecil lagi. Sudah 29 tahun umurnya. Sebentar lagi menikah. Tapi menu makanan masih dipilihkan oleh ayahnya. Buat saya ini aneh.
Dedi, sang anak, baru 2 hari diterima bekerja di satu perusahaan di bagian building maintenance. Tugas utamanya adalah bagian kelistrikan, karena memang dia lulusan SMK Listrik. Saya bertanya kepadanya: “Dedi, teman satu bagian kamu ada berapa orang? “ Bapaknya cepat menyahut: “Dua. Ya kan Ded? Dua orang kan?”: Anaknya hanya mengangguk mengiyakan. Lha, kenapa tidak membiarkan anaknya menjawab? Bukankah saya bertanya ke anaknya? Dan bukankah anaknya lebih tahu keadaan tempat kerjanya dari pada bapaknya?
— oOo —
Mengambil keputusan itu sulit. Harus dilatih sedari kecil. Saya melihat banyak anak muda tidak berani mengambil keputusan sekarang ini. Atau lebih tepatnya, tidak berani menanggung akibat dari keputusannya. Mereka selalu ragu dalam mengambil keputusan. Jangan-jangan salah. Jangan-jangan berakibat buruk. Kadang menyesal berkepanjangan ketika keputusan yang diambilnya salah. Atau menghindari tanggung jawab dengan menyalahkan orang lain.
Kesulitan terbesar seorang peragu adalah ketika dia harus mengambil sebuah keputusan. Biasanya mereka menghindari mengambil keputusan. Jika benar-benar terpaksa mereka harus mengambil keputusan, ada dua kemungkinan terjadi.
- Tidak memilih, menunggu dunia memilih untuknya
Jika peragu tidak bisa menentukan pilihan, dia menggantung keputusannya sampai waktu lama. Sampai dunia bosan dan memilihkan untuknya. Tapi ingat, pilihan alam tidak selalu yang terbaik.
Contoh, ketika memilih istri, dia tidak berani menentukan pilihan. Akibatnya yang baik-baik sudah diambil orang. Dia akhirnya mendapatkan yang pushy type, orang yang biasa menekan. Karena memang dia harus “dipaksa” untuk memilih. Tapi ini sebenarnya bukanlah yang terbaik untuknya. Yang terbaik sudah keburu diambil orang. Grrrhhhh…
Ibarat orang ingin membeli mangga, dia membuang waktu terlalu lama untuk memilih, padahal orang sibuk di sekitarnya untuk membeli. Karena tidak cepat memilih, mangga yang baik-baik sudah diambil orang. Tinggallah mangga yang sisa. Dan dia harus memilih dari itu. Tentu pilihan tidak bisa optimal.
- Mengerjakan saran orang lain
Seorang peragu harus mengambil keputusan. Dia bingung dan bertanya ke orang lain. Ketika mendapat satu saran, dia kerjakan sesuai dengan saran itu. Karena memang sedari kecil dilatih untuk mengerjakan saran orang lain, terutama saran orang tua.
Ketika saran itu salah, maka orang peragu akan menyalahkan pemberi saran. “Gara-gara kamu ngasih saran macam ini, lihat hasilnya.” Dia tidak berani menanggung akibat dari keputusannya. Menyalahkan orang pemberi saran, padahal bisa saja dia menolak dan mengerjakan pilihan dia sendiri.
Contoh ketika lulus SMA dan memilih jurusan di universitas, peragu akan bingung menentukan kehendaknya sendiri. Ketika meminta saran, diberikan saran oleh teman untuk memilih teknik sipil (contoh saja, lho. Bagi yang teknik sipil tidak usah ill feel). Setahun kemudian dia merasa tidak senang di teknik sipil, dan dia menyalahkan pemberi saran. “Ini gara-gara si fulan ngomong ini dan itu sehingga saya milih teknik sipil.” Padahal bisa saja dia menolak saran teman dan memilih jurusan pilihan sendiri.
Atau ketika akan membeli rumah dia tidak dapat menentukan pilihan. Dan mengikuti saran saudara untuk membeli satu rumah. Ternyata tidak kerasan tinggal di sana. Selalu dia menyalahkan saudara yang memberi saran. “Dia yang menyarankan membeli rumah di sini. Katanya begini dan begitu. Ya, saya nurut saja. Ternyata beda sama sekali”.
Ketika saran itu benar, dan keputusan itu ternyata baik, ini bahkan lebih berbahaya lagi menurut saya. Dia yang tadinya condong ke A, ketika mendapat saran untuk memilih B, akhirnya ganti memilih B. Dan ternyata memang benar pilihan B lebih baik dari pada A. Maka dia makin tidak percaya diri untuk memilih sendiri keputusannya. Dia makin bergantung ke orang lain untuk memilihkan baginya. Ini makin menjerumuskan. Makin menjadi peragu atas diri sendiri.
— oOo —
Investasi terbaik kepada anak adalah pendidikan. Termasuk pendidikan mengambil keputusan. Ajarilah anak sedari kecil untuk berani mengambil keputusan, dan berani menerima resiko dari keputusan yang diambilnya. Mulailah dari hal kecil, yang keputusan salah tidaklah berakibat fatal. Jika membeli baju untuk anak, ajak anak dan minta dia memilih sendiri bajunya. Ketika di warung makan, suruh dia memilih sendiri menu makanannya. Jika ada orang bertanya ke anak anda, biarkan anak itu sendiri yang menjawab.
Yang terpenting bukanlah menjadi pelindung anak, tapi melatih bagaimana anak dapat melindungi diri sendiri. Bukan memilihkan untuk anak, tapi bagaimana anak bisa memilih untuk diri sendiri. Anak akan tumbuh dan orang tua akan layu.
Orang Jawa mengatakan kacang mongso ninggalan lanjaran. Pohon kacang satu saat akan meninggalkan tonggak tempat dia bersandar saat kecil, dan mulai tegak dengan kekuatan sendiri. Tonggaklah yang menentukan arah pohon kacang muda, selanjutnya pohon akan melanjutkan arah tersebut. Tugas orang tua adalah mengarahkan saja. Sekokoh apa pun tonggak, satu saat akan ditinggalkan kacang.
Pamulang, Oktober 2019