Lihat ke Depan

Kala itu baru saja hujan. Jalanan berkubang dengan air yang enggan pergi. Anak saya berjalan sendirian ke kampus. Dengan hati-hati dia meniti jalan, jangan sampai sepatu basah masuk genangan air. Tiba-tiba .. “Jedug”… Kepalanya terantuk tiang. Sesaat dia tertegun, kemudian mengusap-usap kepalanya. “Sakit…”, katanya tidak tahu kepada siapa. Rupanya perhatiannya ke bawah membuatnya lupa melihat ke depan. Hasilnya, kepala benjol…

Begitulah, kadang kita lupa melihat ke depan karena terlalu terpaku pada apa yang di bawah kita. Ada banyak lubang menganga, penuh air. Kita tidak ingin sepatu basah karenanya. Kemudian lupa bahwa di depan juga perlu perhatian. Ada tiang, ada orang berjalan berpapasan, ada bocah yang bermain. Semua hilang tidak terlihat karena banyaknya kubangan di bawah.

***

Depan itu banyak macamnya. Besok itu ada di depan kita. Lusa juga. Masa depan sepuluh atau dua puluh tahun lagi juga ada di depan. Bahkan alam akhirat juga di depan.
Banyak orang melupakan masa depan dan terpaku ke masa sekarang. Generasi milenial banyak terjebak pada perilaku ini. “Nikmati masa sekarang. Masa depan itu urusan nanti”. Atau “Kapan lagi menikmati masa muda kalau tidak sekarang”.

***

Saya ingin menyoroti gadget dan internet yang membuat semua serba instant. Saya ingat dahulu ketika kuliah, saya harus mengirim surat ke orang tua bila memerlukan uang. Orang tua menerima surat sepuluh hari setelah saya kirim. Kemudian orang tua, bila saat itu punya uang, akan minta waktu ke atasannya untuk pergi ke kantor pos. Maklum, kantor pos buka hanya pada jam-jam kerja saja. Mengirim uang saat itu lewat wesel pos. Wesel pos akan saya terima sepuluh hari kemudian. Baru besoknya bisa saya ambil ke kantor pos.

Ini membuat mahasiswa harus melihat ke depan untuk keperluan keuangan. Bandingkan dengan jaman sekarang.

Anak saya mengirim WhatsApp: “Butuh uang Rp xxx untuk bayar seminar. Deadline hari ini.”.

Atau: “Tiket kereta ke Jakarta sudah tinggal sedikit. Harus segera bayar sekarang. Kalau tidak, pasti kehabisan.”

***

Kadang saya berpikir, apakah internet membuat kehidupan lebih baik atau lebih buruk? Generasi sekarang menginginkan segalanya serba instan, serba sekarang, tanpa harus meninggalkan empuknya sofa. Mau makan? Tinggal pesan, makanan diantar. Mau beli sesuatu barang? Tinggal order online, barang datang. Mau lihat keadaan suatu daerah setelah gempa? Buka situs berita. “All on your fingertips”.

Mau silaturahim? Tinggal ketik “Apa kabar, bro?” Mau mengucapkan selamat, tulis “Selamat atas kelahiran putra pertama”. Mau berbela sungkawa? Ketikkan “Turut berduka cita atas meninggalnya ayahanda tercinta”.

Tentu banyak kelebihan internet. Tapi keburukkannya juga banyak.

Internet membuat yang jauh menjadi dekat. Tapi di saat yang sama membuat yang dekat menjadi jauh. Saya pernah melihat empat pemuda duduk di satu meja di restoran, keempatnya sibuk dengan gadget masing-masing dan tidak ngobrol satu sama lain.
Internet membuat semua menjadi serba cepat dan instan. Tapi di saat yang sama membuat orang bersumbu pendek, emosi cepat tersulut. Tidak biasa menunggu. Adakah kecepatan lebih dipentingkan dari pada kesabaran?

Internet membuat orang dapat melakukan pekerjaan dengan mudah. Tapi juga membuat orang kehilangan daya juang. Letih lelah melakukan pekerjaan membuat orang beralih ke pekerjaan lain. Terus, siapa yang mau menjadi petani? Jika letih lelah selalu dihindari, siapa yang bersedia menjadi nelayan?

Internet membuat orang mendapatkan informasi yang membludak. Tapi keletihan mencari ilmu tidak dilewati. Murid bisa mendebat guru atas dasar pembacaan yang sedikit dari internet. Tidak ada lagi prinsip Imam Ghozali yang mengatakan murid harus mengikuti guru dalam hal apa yang seharusnya dipelajari terlebih dahulu. Murid sekarang jika sudah membaca sesuatu dari internet, seakan itu adalah kebenaran yang tidak bisa tergoyahkan.

Internet membuat orang dapat melakukan pekerjaan tanpa meninggalkan tempat. Tapi juga membuat orang mager (malas bergerak). Lebih baik pesan makanan online dari pada berjalan ke warung tetangga.

Internet membuat komunikasi sangat mudah. Tapi tatap muka berkurang. Buat apa berkunjung kalau sosmed sudah mewakili? Buat apa pergi membuang waktu dan uang kalau jari dapat menari?

***

Tidak dipungkiri, gadget dan internet membantu dalam banyak hal. Tetapi pada saat yang sama, ada nilai-nilai yang hilang digerus teknologi. Saya sebagai orang generasi old merasa hal-hal yang hilang itu adalah hal yang prinsip dan penting. Silaturahim, kesabaran, daya juang dengan letih lelah, rajin bergerak, penghormatan kepada guru. Nilai-nilai ini penting untuk masa depan. Lihatlah ke depan. Jangan hanya fokus pada yang ada dihadapan.

Pamulang, Desember 2018

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *