Legalisir Ijazah

LegalisirIjazahSaya punya keperluan melegalisir ijazah S1. Saya tinggal di Depok sedang ijazah S1 dari Yogya. Sudah terbayang ribetnya. Transportasi ke Yogya pulang pergi (lebih tepatnya pergi pulang). Kemudian menginap 2 malam minimal. Dan tetek bengek lainnya.

Ketika browsing di internet ternyata kampus menyediakan jasa legalisir jarak jauh. Wah, ini dia yang saya cari. Pas banget. Hanya sayang di web tersebut ditulis bahwa jasa ini ‘akan segera diluncurkan’. Dan tiap legalisir akan makan waktu 20-30 hari. Biaya harus ditransfer sebelum proses dimulai.

Nglokro lagi saya. Rupanya jasa pelayanan ini belum ada. Dan terus terang saya pesimis. Karena menurut pengalaman, birokrasi terkenal lamban di universitas negeri. Jika ditulis “akan segera diluncurkan” itu bisa molor berbulan bahkan bertahun berikutnya. Apalagi waktu proses 20-30 hari itu saya rasa sangat lama untuk sebuah legalisir. Masa iya untuk satu tanda tangan dekan butuh begitu lama?

Saya coba mengirim email ke alamat yang ada di laman tersebut. Di luar dugaan hari itu juga email dibalas. Menerangkan tata cara legalisir jarak jauh. Ijazah di-scan, kemudian dikirim lewat email. Staf universitas akan meneruskannya ke dekan yang bersangkutan. Kemudian hasil akan dikirim via kurir ke alamat yang diminta.

Ternyata jasa itu sudah ada. Berarti websitenya yg kurang update. Horeee. Gembira tak keruan hati ini. Tidak perlu pergi ke Yogya. Hemat waktu hemat tenaga hemat biaya.

Sesuai persyaratan, saya kirim scan ijazah. Ketika saya tanya waktu pemrosesan, dia mengatakan 4 hari. Wah, kemajuan pesat. Karena di web site mereka menuliskan legalisir butuh 20-30 hari proses. Ketika saya tanya biaya, dia mengatakan seribu rupiah per copy. Terhenyak saya. Ga salah nih, bu?

Saya sebenarnya hanya butuh satu copy. Alangkah lucunya mengirim seribu rupiah ke beliau. Heran saya. Di jaman begini masih ada harga seribu rupiah. Ke toilet saja dua ribu, beh. Sedang ini, tanda tangan seorang dekan, seorang doktor atau kadang profesor, dihargai hanya seribu rupiah. Tidak tega mendengarnya…

Seribu rupiah? Wahai, ongkos transfernya pun enam ribu lima ratus rupiah.

Ketika saya ceritakan ke istri, komentarnya adalah: “Disuruh bayar mahal ga mau, disuruh bayar murah protes mulu…” kemudian gambar emoticon orang lagi menggeretakkan gigi.

Semoga Allah swt merahmatimu wahai para pekerja keras di bidang pendidikan. Tapi sudah saatnya merevisi ongkosnya, rekan. Seribu rupiah? * mengelusdada *

Depok, Mei 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *