Akhir-akhir ini bahasa Inggris makin menggeser bahasa ibu. Perhatikan percakapan di sekitar kita.
“Nanti kita meeting jam 10″, kata seorang eksekutif muda. Kata meeting sudah menggantikan kata rapat atau pertemuan. Karena rapat dianggap sangat resmi, sedang pertemuan dianggap tidak direncanakan, semacam kalimat “pertemuan dengan teman lama di jalan”.
“Eh, Linda sudah married lho”, kata seorang mahasiswi pada temannya. Kata married menggantikan kata menikah.
“Nanti kita tanya ke user”, kata bagian pengadaan. Kata user lebih sering dipakai daripada pengguna.
“Saya sudah booking ticket lho jeng”, kata seorang ibu pada temannya. Booking ticket terasa lebih nyaman dipakai daripada pesan karcis di pembicaraan ibu-ibu ini.
Dan banyak lagi kata bahasa Inggris yang lebih sering dipakai. Sepertinya memakai bahasa Inggris lebih wah dan berintelektual tinggi.
Kita masih ingat Vicky dengan Vickinisasinya memakai kata-kata bahasa Inggris dengan lancar dan berhasil menggaet seorang penyanyi dangdut cantik dengan pesona bahasanya. Memang sekilas sangat intelek dengan banyak kata yang tidak dimengerti. Meski kemudian ketika diurai satu per satu kata-kata tersebut menjadi menggelikan.
Dalam bentuk tulisan, penjajahan bahasa pun tampak jelas. Promosi “Buy 1 get 1 free” sudah jamak dipakai. Kata “discount 30%” lebih akrab dipakai daripada “potongan 30%”. Termasuk kata-kata Extravaganza, Spectacular, Reduction Week, Seasonal Offer, Shopping Festival, Road Show, terlalu banyak untuk disebutkan. Kata-kata itu lebih menjual dibanding kata-kata senada dalam bahasa Indonesia.
Apalagi pemilihan nama. Kita sudah sering mendengar perumahan dengan nama “Residence”, “Village”, “Villa”, “Estate”. Juga pemilihan nama pusat perbelanjaan “Mall”, “Square”, “Supermall”, “City Walk”, dan sejenisnya.
Ini di luar kata-kata yang sudah jamak diterima sebagai bahasa Indonesia seperti televisi, telepon, visi, misi, posisi, salon, dan teman-temannya.
Rasanya bahasa Indonesia miskin sekali ya? Tidak cukup punya kosa kata yang memadai untuk dipakai menyampaikan makna.
***
Saya naik Commuter Line, kereta api listrik dari Depok ke Jakarta Kota. Dan melihat pengumuman dari PT Kereta Api Indonesia yang cukup menggelitik.
Proses Penggunaan Kartu Multi Trip
1, Tapping di Gate In untuk masuk, tunggu lampu hijau menyala dan dorong tripod Gate.
2. Pemeriksaan validasi kartu oleh petugas secara visual/sistem dengan mobile reader.
3. Tapping di Gate Out untuk keluar, tunggu lampu hijau menyala lalu dorong tripod pada gate.
Banyak sekali kata bahasa Inggris yang dipakai dalam petunjuk singkat ini. Contoh adalah Tap, Gate In, Tripod, mobile reader, dan lain-lain. Yang resmi dari PT KAI saja seperti ini, bagaimana swasta diharapkan akan memakai bahasa Indonesia?
***
Mungkin ini salah satu sebab mengapa pemerintah ingin menghapus mata pelajaran bahasa Inggris di tingkat SD. Tapi saya berharap bahasa Inggris tetap diajarkan di tingkat SD. Karena dalam pergaulan mendatang bahasa Inggris sangat dibutuhkan. Dengan tingkat ekonomi Indonesia seperti ini, pergaulan dan bisnis sudah harus mengglobal. Tidak melulu di dalam negeri.
Kita tidak bisa memaksa orang Jerman berbahasa Indonesia. Tapi kita bisa memaksa mereka memakai bahasa Inggris. Karena inilah bahasa yang secara de facto sudah diakui sebagai lingua franca – bahasa pergaulan – dunia. Apa boleh buat.
Tapi yang perlu ditingkatkan adalah kesadaran berbahasa Indonesia. Ini bisa “dipaksakan” dengan melatih anak banyak membaca dan menulis bahasa Indonesia. Saat ini saya melihat sekolah tidak melatih anak untuk banyak membaca, apalagi banyak menulis. Akibatnya anak tidak terbiasa menulis.
Maka ketika sudah meng-internet, banyak situs yang memakai bahasa Inggris. Karena di luar negeri pelajaran membaca dan menulis sangat ditekankan, ketika besar mereka sudah terbiasa menulis dengan teratur dan sistematis.
Akibatnya, internet dipenuhi dengan tulisan-tulisan mereka, tentunya dalam bahasa Inggris. Dan karena tulisan-tulisan itu banyak mengulas sesuatu hal secara sistematis, bahasa Inggris dianggap bahasa intelek. Lambat laun itu masuk ke alam bawah sadar manusia Indonesia. Memakai bahasa Inggris dinilai mentereng dan dianggap sebagai simbol intelektualitas seseorang.
Mari budayakan membaca dan menulis bahasa Indonesia. Dan banggalah dengan berbicara dan menulis dengan kosa kata Indonesia.
Serpong, Desember 2013
2 thoughts on “Keok di Negeri Sendiri”