Kembali

Saya bepergian ke kota kelahiran. Menempuh jarak 500 kilometer untuk bisa mencapainya. Sudah saya tinggalkan kota itu 40 tahun lalu. Meninggalkan berbagai kenangan di memori. Dan ketika sampai di sana, ada kehangatan menyapa. Kota ini “homey” buat saya. Serasa saya akrab dengan udaranya. Sinar mataharinya. Jalan-jalan besar maupun kecilnya. Pepohonan rindang di tepi jalan. Kelokan sungai. Kicauan burung dan lengkingan jengkerik. Rumput basahnya maupun tanah keringnya.

Mengapa demikian? Bukankah sudah berpuluh tahun kutinggalkan itu? Bukankah kota kelahiranku telah berubah jadi kota besar, maju pesat? Kota yang tadinya kecil, telah berkembang tiga kali lipat. Jalan yang tadinya sepi, berubah menjadi padat. Banyak tanah kosong, menjadi bangunan padat. Tapi mengapa rasa “berada di rumah sendiri”tetap mencuat? Kenapa diriku merasa betah dan lekat?

Mungkin salah satu sebab adalah saya tidak punya masalah dengan kota kelahiran. Kenangan lama serasa indah semata. Jika saya punya banyak musuh, apa mungkin saya merasa senang dan tenteram kembali ke sana? Rasanya tidak.

***

Berpikir lebih jauh, mungkin ini yang membuat orang-orang senang melakukan temu kangen, berkumpul lagi dengan orang-orang yang mereka kenal dulu. Baik teman maupun saudara. Ingin mengungkit rasa masa lalu. Mereka merasa “homey” atau bahasa Jawanya “pomah” dengan keadaan lalu. Keadaan di mana mereka masih kecil. Ada orang tua yang melindungi, ada rumah hangat tempat kembali, ada adik kakak yang saling menyayangi dan bisa dipercayai. Kenangan lama ingin ditarik balik ke masa kini.

Lebih jauh lagi, kita juga pasti, mau tak mau, akan kembali. Dari tanah, kembali ke tanah.  Dari debu kembali ke debu.

Itu jasad. Sedang untuk nyawa, kita berasal dari Allah dan akan kembali ke Allah. Sukakah kita?  Atau tidak suka? Nah, lho. Ini pertanyaan besar yang harus kita jawab.

***

Seperti juga temu kangen, jika ada masalah seseorang akan segan untuk datang. Misal seseorang berhutang ke saudaranya. Dan diadakan temu kangen keluarga besar. Secara alami dia akan segan datang. Takut ditagih, takut dipermalukan, segan bertemu orang yang menghutanginya. Demikian juga orang yang bermasalah pernah menyakiti temannya. Dia akan segan datang ke reuni jika dia tahu temannya akan datang.

Pertanyaan besarnya adalah: apakah kita punya masalah dengan Allah sehingga kita segan menghadap-Nya? Adakah kita pernah menyakiti-Nya? Pernah mengabaikan-Nya? Pernah melupakan-Nya?

Jika kita tak punya masalah dengan kota kelahiran, kita akan “homey” kembali ke sana. Jika tidak ada masalah dengan teman lama, maka akan senang bertemu dia lagi. Jika tidak ada masalah dengan Allah, maka rindulah kita bertemu dengan-Nya. Pertanyaannya: beranikah kita berkata kita tidak punya masalah dengan Allah? Pertanyaan turunan: senangkah kita menghadapi kematian? Atau malah takut?

Pamulang, awal Juli 2018

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *