Akhir-akhir ini banyak perilaku kasar yang dilakukan para manusia Indonesia. Anggota DPR memaki “AN***G” kepada pejabat DKI. Gantian pejabat DKI mengatakan “T*I” alias bahasa toilet mengenai para anggota DPR. Para komedian (begitu mereka ingin disebut, tidak lagi mau disebut pelawak) mengatakan ke temannya ‘elo kayak botol kecap’ untuk mengejek fisik. Para artis juga mengatakan kata-kata kasar ke artis lain yang dibencinya. Pengacara saling mengucap ejekan ke lawan.
Kemana perginya peri laku santun orang timur? Mengapa perilaku kasar menjamur dengan cepat di masyarakat?
Sekarang rasanya tidak mengapa orang berkata kasar asalkan berprestasi bagus. Berangasan asal berkarya hebat. Memaki-maki asal kelimuannya mumpuni.
Apakah sukar berperilaku santun? Sebenarnya budaya timur maupun agama sudah mengajarkan dengan gamblang bahwa berkata kasar dan bertingkah laku tidak beradab itu memalukan. Bertingkah santun itu meninggikan. Menghargai orang lain itu sama dengan menghormati diri sendiri.
Lebih jauh lagi, sifat sabar sudah jauh ditinggalkan. Ketika hasil sidang tidak sesuai yang diharapkan, meja dibalikkan. Ketika dalam diskusi terjadi kebuntuan, kursi beterbangan. Ketika berbeda pendapat, saling mengumpat dan melaknat.
Saat ini kepala dingin dan emosi yang terkendali menjadi barang langka. Kata-kata sopan dianggap tidak bisa mewakili perasaan. Perilaku beradab dianggap tidak “menjual”.
Salah satu sebab adalah media. Media senang ketika mendapat berita. Perilaku sopan bukanlah berita. Jika pihak yang bertikai bersikap sopan dan sabar, media ogah menayangkannya.
Jika ada yang marah, kemudian memaki-maki, maka media dengan cepat meliput dan menempatkannya sebagai topik utama. Besoknya, dan minimal seminggu setelahnya media memburu para analis untuk memberikan ulasan atas kemarahan orang tersebut.
Dan inilah yang memicu orang meniru tingkah laku berangasan itu. Kalau mau cepat tenar, berkatalah kasar. Kalau mau diliput, haruslah bikin ribut. Jika ingin jadi topik berita, maki-makilah lawan anda.
Faktor pemicu kedua adalah istilah kebebasan berekspresi. Perasaan yang disembunyikan bukanlah sifat “jantan”. Perasaan harus dilepas, diekspresikan, kalau perlu dengan cara berlebihan, supaya orang lain tahu. Maka dianggap kewajaran ketika seseorang jengkel dan dilampiaskan dengan kata-kata toilet. Seseorang marah dan meneriakkan nama penghuni kebon binatang.
Faktor pendorong kebebasan berekspresi adalah juga media sosial yang sering anda baca. Di sana orang bebas berekspresi tanpa ada pengekang. Jiwa sedang sedih, galau, gembira, kaget, semua kata penuh ekspresi ada di sosmed. Karena sosmed kini seperti buku harian pada jaman dulu. Bedanya, kalau buku harian selalu disimpan rapi sebagai rahasia yang tidak boleh dibaca orang lain, sedang sosmed dibuka lebar untuk dibaca semua orang. Dan merasa bangga bila semakin banyak orang yang membaca. Apalagi bila mendapat ratusan “Like”.
Di dunia nyata, orang terpengaruh dengan tingkah lakunya di dunia maya. Lha iya tho. Wong orangnya sama kok. Jadi ketika dengan bahasa tulis mereka senantiasa mengungkapkan ekspresinya dengan terbuka dan membiarkan orang lain mengetahuinya. maka demikian juga di dunia nyata. Mereka merasa perlu mengekspresikan emosinya dengan jelas supaya orang mengetahui rasa hatinya. Ekspresi yang jelas ini sering kebablasan dan tidak bisa dibedakan dengan tingkah laku berandalan. Sabar tidak bisa lagi mengekang kemarahan, santun tidak bisa lagi mengekang kekasaran, sopan tak dapat lagi menghalangi berangasan.
Memang emosi, seperti juga pemikiran adalah hak prerogatif masing-masing orang. Namun itu adanya di hati dan di otak saja. Ketika sudah diutarakan dalam bentuk perkataan dan perbuatan, anda tidak bisa lagi mengatakan ini adalah hak pribadi. Ini sudah berpindah menjadi ranah publik. Perkataan seperti juga tingkah laku haruslah memperhatikan etika dan akhlak.
Mari kita pikirkan dengan kepala dingin, pendidikan macam inikah yang ingin kita wariskan ke anak-anak kita? Akhlak macam inikah yang kita inginkan dipunyai anak-anak kita?
Lama-lama nanti nilai-nilai tergerus. Prestasi adalah segalanya, akhlak mulia adalah masa lalu. Seabreg penghargaan adalah satu-satunya ukuran, nilai agama maupun ketimuran bukanlah faktor yang perlu dipertimbangkan.
Wahai, kemana akhlak mulia itu menghilang? Akhlak yang menenteramkan, senyum penuh ketulusan pandangan mata yang menyejukkan. Di mana itu sekarang? *tertunduksedih*
Serpong, April 2015