“Ga boleh dzikir pakai tasbih. Haram itu,” kata seorang jamaah menegur jamaah lain. Yang ditegur sebenarnya tidak terima. Tapi menjawab: “Oh, begitu ya.” Kemudian menyimpan tasbihnya. Meneruskan berdzikir dengan diam tanpa tasbih di tangan.
Kejadian lain: “Celana harus cingkrang, tidak boleh dijulurkan di bawah mata kaki,” kata satu jamaah memperingatkan jamaah lain. Yang diperingatkan melirik, kemudian melipat celananya sampai di atas mata kaki. Besoknya dia tidak shalat di masjid itu lagi.
Saya melihat fenomena lingkaran menyempit di banyak masjid. Ketika orang mulai datang ke masjid diperintah untuk seratus persen ikut Rasul saw.
***
Umat Islam dapat diibaratkan lingkaran. Ada yang di inti, ada yang di tengah, dan ada yang di pinggiran. Yang di inti saya sebut kaum inti, yang di tengah saya sebut kaum pertengahan, yang di pinggir – tapi masih di dalam lingkaran – saya sebut kaum pinggiran.
Kaum inti adalah orang –orang yang sudah komplit Islamnya. Paham tentang agama, shalat di masjid tepat waktu. Rajin membaca Al Quran, mencontoh Rasul saw dari pakaian, cara makan, cara tidur, pendeknya dari ujung rambut ke ujung kaki. Sampai titik dan komanya. Pokoknya nyunnah total.
Kaum pinggiran adalah muslim abangan. Masih mengaku Islam, KTP Islam, tapi tidak menjalankan ritual-ritual Islam. Shalat tidak, puasa tidak. Baca Al Quran tidak pernah, ke masjid juga anti. Belum pernah sedekah, apa lagi haji. Tapi alhamdulillah masih muslim. Ini di dalam lingkaran tapi di lapisan terluar.
Di antara kaum inti dan kaum pinggiran ada kaum pertengahan. Kaum ini berlapis-lapis. Ada yang shalatnya 2x setahun, Idul Fitri dan Idul Adha saja. Puasa di hari pertama Ramadhan, selanjutnya bolong melompong. Masih mengucapkan astaghfirullah atau perkataan Islami lainnya, kala sadar dan ingat.
Kaum pertengahan yang lebih ke dalam, shalatnya sekali atau 2 kali sehari. Hanya zhuhur dan asar saja. Itu pun kalau lagi di kantor. Jumatan ikut, karena malu dikatakan “Orang Islam kok tidak Jumatan”. Kalau libur, shalatnya juga libur. Apalagi kalau sedang tamasya. Puasa penuh hanya sepekan pertama Ramadhan, selanjutnya masih senang makan serta merokok di waktu siang. Bisa baca Al Quran meski terbata-bata.
Makin ke inti, pengetahuan agamanya makin banyak. Shalat makin teratur. Puasa tidak bolong saat Ramadhan. Makin ke inti makin bertambah ibadah sunnah. Fasih dalam membaca Al Quran. Ahli dalam hal fikih.
***
Fenomena masjid sekarang, kaum inti meminta – kadang memaksa – kaum pinggiran dan pertengahan yang datang ke masjid untuk masuk ke inti. “Ini tidak sesuai sunnah” atau “Ini tidak diajarkan Rasul saw” atau “Nabi saw melakukan seperti ini”. Demikian perkataan yang sering saya dengar. Kaum inti menginginkan semua orang menjadi kaum inti. Bertindak seperti mereka, berfikir seperti mereka, berpengetahuan seluas mereka.
Sementara menurut saya, kaum pertengahan ini harus ada. Kalau melihat bidang ekonomi, kaum menengah adalah buffer atau penahan. Kaum menengah adalah perekat bangsa. Tanpa kaum menengah, negara akan pecah berantakan.
Kaum ekonomi menengah adalah penghubung antara kelompok ekonomi kuat dan kelompok ekonomi lemah. Kaum menengah ini tidak berlebihan hartanya, tapi cukup terhormat untuk tidak meminta-minta. Dapat berdiri tegak di hadapan konglomerat dan dapat menyatu di tengah kaum melarat. Merekalah yang membuat negara menjadi stabil.
Dalam lingkaran umat Islam Indonesia, kaum pertengahan dalam bidang agama juga sangat diperlukan. Mereka adalah penjembatan.
Jujur, kaum inti tidak dapat bergaul dengan kaum pinggiran. Di samping takut “ketularan”, mereka juga beda bahasa dengan kaum pinggiran. Maukah ustadz mendekati pelacur? Saya yakin tidak. Bisa terjadi fitnah besar. Maukah ahli ibadah bergaul dengan pemabuk? Bukan maqom-nya. Kaum pertengahanlah yang dapat melakukannya.
***
Ada teori penjualan yang mengatakan untuk dapat menjual, anda harus “sedikit” lebih baik dari calon pembeli. Sedikit saja, tidak boleh terlalu banyak. Karena kalau berbeda terlalu jauh, konsumen tidak mau bicara dengan anda. Misal ketika menjual alat bengkel, salesman tidak boleh memakai jas dan dasi. Karena calon konsumen adalah para pekerja bengkel yang kotor dan penuh belepotan oli. Penjual seharusnya memakai baju kaos, celana jeans, dan sepatu olah raga, biar pun bersih. Karena harus lebih baik dari calon konsumen, tapi tidak terlalu jauh jaraknya. Dengan demikian komunikasi hangat dapat terjalin.
Dalam bidang agama, kaum pertengahan dapat bergaul dengan kaum inti. Karena minimal mereka menjalankan shalat dan tidak alergi terhadap bahasa Arab. Kaum pertengahan juga tidak gagap dalam menyatu dengan kaum pinggiran, yang shalat sering bolong dan tidak kenal ayat Al Quran. Kaum pertengahan dapat beradaptasi ke atas maupun ke bawah dengan baik.
Ustadz Abdul Shomad berkata: “Saya hanya berteriak-teriak di mimbar. Tapi yang mengajak orang datang ke pengajian ini, itulah yang punya andil besar dalam memperbaiki kaum muslim.” Yang berandil besar dalam mengajak kaum pinggiran ke masjid adalah kaum pertengahan. Alangkah sayangnya ketika kaum pinggiran sudah mau datang ke masjid, kaum inti dengan garang mengharuskan kaum pinggiran ini untuk 100% nyunnah. Hasilnya, banyak yang terkaget-kaget dan belum siap untuk itu.
***
Fenomena banyaknya kaum inti yang menginginkan semua orang di masjid menjadi kaum inti seperti mereka adalah fenomena lingkaran menyempit. Mereka tidak menginginkan lingkaran luas dan melebar. Semua harus mengumpul di inti, yang menurut saya tidak alami.
Asimilasi kaum inti – pertengahan – pinggiran hendaklah terjadi dalam suatu proses alami yang wajar. Warna merembes dari satu lapisan ke lapisan lain dengan perlahan. Alangkah baiknya jika kaum inti menahan diri dari mengintimidasi kaum pertengahan dan pinggiran, dan menggantinya dengan pendekatan yang lunak. Menanyakan keperluan mereka, apa yang bisa dibantu, dan mengambil hati mereka. Dibanding dengan memberikan nasehat dan ceramah tanpa diminta.
Betapa banyak orang tergesa-gesa ingin melihat hasil. Padahal Allah swt pun mencipta dunia tidak dalam sekejab. Perlu 6 masa untuk prosesnya.
Tangerang Selatan, Februari 2021
Penulis adalah pengamat sosial, staf pengajar di Universitas Pamulang, Tangerang Selatan
Artikel ini sudah dimuat di https://fajarbarunews.com/fitur/opini/kaum-inti-pertengahan-pinggiran/