Seorang teman bertengkar terus menerus dengan istrinya. Tiap kali bertemu di rumah, mereka saling menyalahkan satu sama lain. Bukan hanya masalah hari itu, perbuatan setahun, dua tahun, bahkan lima tahun yang lalu diungkit-ungkit kembali. Hari-hari mereka selalu “panas” menyelomot. Tidak tahan dengan itu, suami pergi meninggalkan istri di rumah. Alasannya, biar situasi tidak makin panas. Nanti toh akan mendingin dan cair lagi, istri akan merasa kehilangan suami. Tiga bulan suami meninggalkan istri, yang terjadi adalah sebaliknya. Hubungan makin menjauh, tidak ada titik temu. Sekarang mereka dalam proses perceraian.
Saudara saya (laki-laki) bertengkar dengan istrinya. Tiada hari tanpa pertengkaran. Tidak tahan dengan itu, sang istri keluar dari rumah dan mengontrak rumah lain. Tinggal di sana sendirian, meski tidak begitu jauh dari rumah tinggal mereka. Kata istri: Kalau suami mencintaiku, pasti dia akan datang dan memintaku pulang. Tidak demikian kejadiannya. Dua bulan kemudian suami mendaftarkan perceraian di Pengadilan Agama.
Melihat beberapa contoh di kehidupan nyata, saya menarik kesimpulan demikian: ketika bertengkar, adalah salah besar bila salah satu meninggalkan rumah. Bagaimana bisa saling mengerti bila satu sama lain berjauhan? Yang terjadi adalah makin renggangnya jarak suami istri. Baik secara fisik maupun secara hati.
Agama selalu menganjurkan silaturahim. Bila berjauhan rumah pun, dianjurkan untuk saling kunjung mengunjungi. Lha, ini sudah serumah kok malah saling pergi menjauhi. Bertolak belakang dengan konsep silaturahim.
Silaturahim adalah saling menjalin kasih sayang. Dianjurkan saling bertemu, saling berbincang satu sama lain. Bertemu dan berbincang menumbuhkan kasih sayang. Baik saudara maupun teman.
Kalau suami istri? Lebih-lebih lagi. Silaturahim antara suami dan istri bahkan lebih dianjurkan, atau bisa dibilang sampai ke tingkat wajib. Adalah wajib bagi suami istri untuk saling bertemu, bertegur sapa, duduk bersama, berbincang masalah apa saja, atau saling menggoda, bercanda. Untuk saya, duduk berdua berpegangan tangan dengan istri adalah kebahagiaan terbesar saya di dunia ini.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang tua wajib menyediakan waktu untuk anak-anak mereka. Jika tidak pernah bertemu, bagaimana mungkin orang tua bisa dekat dengan anak? Nah, jika konsep ini sudah diterima secara luas, bagaimana dengan suami dan istri? Bukankah konsep yang sama juga harus diterapkan? Bukankah harus senantiasa bertemu untuk bisa dekat dengan pasangan?
Orang yang pergi dari rumah menurut saya adalah orang yang menghindar dari masalah. Jika ada istilah fight or flight, dia memilih flight. Ini menunjukkan kekurangdewasaan, tidak mau mengakui kesalahan diri.
Jika ada masalah, seharusnya dihadapi, jangan lari. Jika ada perbedaan pendapat, pakailah empati, jangan emosi. Jika ada yang marah-marah, hendaklah yang satu menahan diri, jangan saling mencaci.
Ada banyak teori mengenai cara menyelesaikan perbedaan terutama antara suami istri. Silakan mencari dan membaca bukunya. Tapi yang ingin saya sarankan adalah, jangan lari. Tetaplah di rumah, tetaplah bertemu pasangan. Dan bersabarlah. Batu sekeras apapun akan berlubang dengan air lembut yang terus menerus menetes. Kapan batu bisa berlubang kalau air berhenti menetes dan mengalir ke tempat lain?
Tetaplah diskusi dengan pasangan. Percayalah, lari adalah jalan terburuk menyelesaikan masalah. Ibarat menunda penyelesaian, masalah itu akan datang lagi hanya saja dengan skala yang lebih besar dan di saat yang tidak terduga. Jika sudah demikian, perceraian seakan menjadi jalan terbaik untuk menyelesaikannya. Astaghfirullah.
Depok, April 2015
9 thoughts on “Jangan Meninggalkan Rumah”