Anak saya kelas 8 SMP. Perempuan. Cantik? Ya iyalah. Tiap orang tua kalau ditanya anaknya cantik atau tidak ya pasti menjawab cantik. Tapi hmm…, tidak boleh ngomong buruk mengenai orang ya? Terutama kalau itu anak sendiri. Baik, saya katakan saja dia tidak terlalu rajin. Got it?
Siang pulang sekolah, sore, dan malam itu dia main gadget saja. Ketika sudah jam 8 malam, baru dia mengatakan ada PR IPS dan PKN. Bagi yang tidak punya anak SMP, IPS itu Ilmu Pengetahuan Sosial, dan PKN itu Pendidikan Kewarganegaraan.
Kemudian, baru dia meletakkan gadgetnya dan mulai mengerjakan dua PR. Entah sampai jam berapa. Orang tuanya tidur jam 11an, dia masih mengerjakan PRnya.
Pagi hari, dia kedapatan tertidur dengan buku terbuka di sampingnya. Ketika dibangunkan dia mengatakan bahwa PRnya belum selesai, baik IPS maupun PKN. Katanya: “PRnya buanyak banget. Gurunya ga kira-kira kalau ngasih PR.”
Kata ibunya: “Ya terang saja, kamu mulai mengerjakan jam 8 malam. Siang, sore, malam kamu main hape saja. Ya, mana selesai.”
Kata ibunya melanjutkan: “Padahal PR itu sudah diberikan sejak pekan lalu. Kemana aja kamu sepekan ini?” Anak saya ngambek dan tidak mau masuk sekolah hari itu. Ibunya membujuk, memaksa, dan berargumen dengan dia: “Jangan lari dari masalah. Serahkan saja seselesainya ke gurumu. Itu hasil kamu”.
Setelah berjuang keras, akhirnya anak saya mau berangkat sekolah. Mohon tepuk tangan yang meriah untuk ibunya.
Siang sepulang sekolah, ibunya bertanya mengenai PR IPS dan PKNnya. Si anak menjawab sedih: “Allah tidak cinta kepada saya”. Ibunya heran dan bertanya: “Lho, kenapa?”. Anaknya menjawab: “Karena katanya kalau Allah cinta pada seseorang, Dia akan memberi cobaan kepada orang itu. Dan ternyata Dia tidak memberi cobaan kepada saya”.
Ibunya masih belum mengerti: “Kalau ngomong yang jelas dong”. Anaknya menjelaskan: “Hari ini guru PKN tidak masuk. Jadi PR PKN tidak dikumpulkan. Guru IPS tadi datang hanya 5 menit, kemudian pergi meninggalkan kelas. Jadi PR IPS juga tidak dikumpulkan.” Baru dia tertawa-tawa. Ibunya mengelus dada melihat kelakuan anak, meskipun akhirnya tersenyum juga melihat putrinya senang.
I have mixed feelings about it. Di satu sisi saya senang karena anak menghubungkan segala sesuatu kepada Allah Sang Pemilik Alam. Ini tanda menggembirakan bahwa dia punya iman. Di sisi lain, saya prihatin karena dia tidak mengambil pelajaran dari peristiwa itu. Setelahnya, dia kembali main gadget dan tidak lagi mempedulikan dua PR besarnya. Mungkin di hatinya sudah timbul kepercayaan bahwa Allah akan menolongnya lagi. Hmm…, suatu percaya diri yang berlebihan. Dan suatu anggapan yang salah bahwa dia adalah anak emas Tuhannya.
Selanjutnya, itu PR bagi kedua orang tuanya untuk mengubah kepercayaan yang “terlalu PD” itu.
Depok, April 2016