Baru kembali dari Indonesia. Rumah di Cibubur, Depok, sering bolak balik ke tempat kakak di Kebon Nanas. Biasa naik angkot 56 jurusan Halim – Cileungsi.
Di angkot ini saya melihat Indonesia yang kurindukan. (Mode: terharu)
Angkot 56 pakai mobil Hi Ace, dengan tempat duduk panjang macam mikrolet. Ditambah dua tempat duduk memanjang di tengah. Sembilan orang di kanan, tujuh orang di kiri, dan lima orang di tengah. Ditambah tiga orang (termasuk sopir) di depan. Kombinasi yang bagus 9-7-5-3.
Angka 9-7-5 ini adalah untuk ukuran badan orang Indonesia yang rata-rata kecil. Ini pun sudah desak-desakan. Tidak ada tempat tersisa. Sopir tidak pernah punya kondektur. Dia hanya duduk di depan dan mengurusi jalan.
Ketika ada orang membawa bawaan berat, orang-orang dengan suka rela membantu menaikkan dan menempatkan barang di dalam mobil yang sesak. Rasa saling membantu dan gotong royong terlihat jelas saat itu.
Ketika sudah ada dua orang gemuk di sisi kanan, orang gemuk ketiga tidak akan muat di sisi itu. Penumpang yang merasa dirinya kecil di sisi kiri kemudian berpindah ke sisi kanan untuk memberikan tempat bagi penumpang gemuk. Rasa toleransi nampak di sini.
Tatkala berhenti mencari penumpang di UKI, salah seorang penumpang berteriak-teriak laksana kondektur: “Cileungsi, dua lagi dua lagi”. Semua penumpang sudah tahu berapa jumlah penumpang yang bisa diangkut oleh mobil. Gotong royong dan tolong menolong kembali terbias di permukaan. Penumpang membantu sopir untuk mendapatkan penumpang. Karena jalan tanpa penumpang penuh adalah kerugian untuk sopir. Penumpang pun tahu, kalau sopir memakai kondektur, dia harus membagi pendapatan. Dan ongkos harus dinaikkan oleh sopir. Maka suka rela mereka membantu pak sopir.
Setelah mobil penuh, mobil mulai melaju memasuki jalan tol Jagorawi. Penumpang di belakang dengan otomatis mengeluarkan uang untuk pembayaran tanpa dikomandoi oleh sopir. Mobil dengan A/C Rp 4500. Tanpa A/C Rp 4000.
Uang dikumpulkan. Biasanya ada tiga orang penumpang yang ‘volunteer’ mengumpulkan uang. Kemudian diserahkan ke satu orang. Dia yang menghitung uang dan harus sama dengan jumlah penumpang. Di belakang, bila penuh 21 orang jumlah uang harus Rp 84,000 untuk non A/C (atau Rp 94,500 untuk A/C). Sementara dua orang di depan diserahkan langsung ke sopir. Perilaku gotong royong kembali menyeruak, jelas terlihat.
Jangan mengira bahwa mengumpulkan uang itu gampang. Saya pernah sekali mencoba mengumpulkan uang. Ternyata repot banget. Banyak yang membayar tidak dengan uang pas. Apalagi waktu itu mobil pakai A/C, jadi harus memegang koin lima ratusan. Kebanyakan membayar dengan lima ribuan atau sepuluh ribuan. Repot memegang uang, di samping harus mengingat siapa yang belum dapat kembalian, mengingat juga siapa yang belum membayar, kemudian menghitung uang terkumpul harus sesuai dengan jumlah penumpang. Masih ditambah duduk yang sempit (jawa: umpel-umpelan), kadang kaki harus naik karena ada barang di bawah. Awas, jangan sampai koin terjatuh. Koin akan menggelinding tidak karuan ke mana-mana. Jangan harap anda akan menemukan kembali koin keberuntungan anda. Bagi yang ingin merasakan repotnya jadi kondektur, sekali-kali cobalah mengumpulkan uang di angkot ini.
Pernah suatu ketika uangnya kurang. Hanya terkumpul Rp 80,000 padahal mobil penuh. Si pengumpul berteriak-teriak: “Siapa yang belum bayar? Masih kurang 4000 rupiah”. Beberapa kali tidak ada yang menyahut. Mungkin ada yang lupa belum bayar. Atau yang terkantuk-kantuk sehingga tidak sadar dirinya belum membayar. Setelah lima menit tidak ada yang membayar lagi, sang pengumpul memberikan uang Rp 80,000 itu ke sopir. Dan sopir pun tidak protes meski uang kurang.
Pernah juga suatu ketika uang yang terkumpul berlebih. Si pengumpul berteriak-teriak: “Siapa yang belum dapat kembalian?” Berkali-kali berteriak tidak ada yang menyahut. Mungkin ada yang lupa atau terkantuk-kantuk sehingga tidak sadar dirinya belum mendapat kembalian. Akhirnya si pengumpul berkata: “Ya, sudah. Saya serahkan semua ke pak sopir”. Semua uang terkumpul diserahkan ke sopir. Dan para penumpang tidak protes.
Tiap kali naik angkot 56, rasa terharu meliputi hati saya. Ternyata sifat gotong royong, bantu membantu, toleransi, saling mengerti masih menjadi watak bangsa Indonesia. Duduk berhimpitan di bangku panjang, penuh sesak, berkeringat, sifat itu muncul nyata. Ah, melihat ini saya optimis Indonesia akan menjadi bangsa besar.
Abu Dhabi, Agustus 2011