Hidup pas-pasan itu enak, lho.
Pas perlu biaya, pas ada bonus dari kantor.
Pas mau jual mobil, pas ketemu orang yang butuh beli mobil.
Pas perlu beli HP baru, pas ada discount 50% untuk elektronik.
Hidup serba pas memang nikmat.
***
Tiga tahun lalu sekitar bulan Mei saya menelepon ibu saya di Indonesia. Beliau bertanya: “Kapan pulang?”. Saya jawab, saya akan pulang bulan Juli mendatang. Beliau berkata: “Itu kan cuti. Kapan pulang?”.Wah, saya jadi kelabakan. Ternyata yang ditanya ibu adalah kapan saya pulang seterusnya ke Indonesia. Saya jawab sekenanya: “Iya, nantilah. Dipikir-pikir dahulu.”
Memang ibu saya tidak meminta saya pulang. Beliau hanya bertanya kapan saya pulang seterusnya ke Indonesia. Tapi pertanyaan itu menyiratkan harapan agar saya pulang dan menetap kembali di Indonesia.
Setelah itu, beberapa kali beliau sempat menanyakan hal yang sama ketika saya menelepon beliau di pekan-pekan berikutnya. Saya mulai berpikir untuk kembali ke Indonesia. Toh di UAE saya tidak akan bisa menetap selamanya. Cepat atau lambat saya harus kembali ke ibu pertiwi. Terus mau cari pekerjaan apa ya?
Saya sempat mendalami bidang Project Management, dengan mengambil kursus PMP (Project Management Professional) dengan biaya sendiri. Sebagai persiapan untuk mencari kerja di Indonesia nantinya.
PAS kebetulan saat itu ada teman yang memperkenalkan saya buku Robert Kiyosaki Rich Dad Poor Dad . Membaca buku itu saya tergerak untuk mempelajari lebih jauh bidang entrepreneur. Setelah buku itu, paling tidak ada lima lagi buku karangan Robert Kiyosaki yang saya baca. Kemudian buku-buku Donald Trump. Juga buku-buku entrepreneur Islam. Makin tertarik saya untuk mencoba bidang entrepreneur.
***
Desember 2010 saya menetapkan niat untuk kembali ke Indonesia dan menjadi entrepreneur. Waktunya adalah pertengahan 2011 setelah kenaikan kelas anak-anak. Alasannya adalah menemani ibu, dan juga ingin mempraktekkan bidang entrepreneur yang mulai saya minati itu.
PAS saat itu anak pertama saya selesai ujian IGCSE dan naik ke kelas sebelas (SMA kelas 2). Anak kedua naik ke kelas 9 (SMP kelas 3) dan anak bungsu naik ke kelas 4.
Yang paling berat adalah anak kedua.
Dia hanya punya waktu 1 tahun untuk penyesuaian, kemudian harus ujian SMP. Anak pertama punya waktu 2 tahun sebelum ujian SMA. Anak ketiga punya waktu 3 tahun sebelum ujian SD.
Tapi ditunda 1 tahun ke depan maka anak pertama yang berat. Karena harus ujian SMA di tahun yang sama.
Ditunda 2 tahun ke depan maka anak ketiga yang berat, hanya punya waktu satu tahun untuk ujian SD.
Ditunda 3 tahun ke depan maka kembali anak kedua yang berat, harus ujian SMA di tahun itu.
Jadi tetap saja ada anak saya yang harus kerja keras untuk ujian nasionalnya, baik pulang di tahun ini, tahun berikutnya, atau 2, 3 tahun mendatang.
Akhirnya saya berbismillah membulatkan tekad untuk pulang di tahun 2011. Kemudian mengutarakan niat ini ke istri. Ada resistensi keras dari istri. Karena memang di Abu Dhabi kehidupan sangat menyenangkan. Fasilitas negara modern. Keamanan terjaga. Lalu lintas masih oke, tidak seperti Jakarta yang macet di mana-mana. Jalan tidak berlobang-lobang. Air selalu tersedia. Listrik tidak pernah byar pet.
Tapi setelah berdiskusi panjang sebulan penuh, diselingi persuasi, provokasi, rayuan gombal, guyonan, berkali-kali shalat istikhoroh, akhirnya istri luluh dan setuju untuk kembali ke negara ‘batu dan kayu jadi tanaman’.
***
Tugas paling berat adalah menyampaikan ke anak-anak. Pelan-pelan, dengan perumpamaan: “Bagaimana kalau kita pulang seterusnya ke Indonesia?” demikian kita bertanya. Wow, reaksinya sangat heboh. “BIG NO”, kata mereka sepakat. Heran, biasanya mereka berselisih dalam hampir segala hal. Tapi untuk urusan pulang ke Indonesia mereka bertiga sangat kompak.
Memang dari kecil mereka di UAE. Tidak ada teman di Indonesia. Bahasa Indonesia sangat minim kalau tidak bisa dikatakan buta sama sekali. Bagaimana mereka mau senang tinggal di Indonesia?
Apalagi Indonesia penuh dengan berita kriminal semata. Perampokan, pencurian, perkelahian, pembunuhan, adalah hal yang jamak di koran-koran. Ketakutan akan sekolah baru, teman baru, lingkungan baru menghantui hati. Juga mereka akan kehilangan teman-teman akrab di UAE, persahabatan yang sudah dijalin bertahun-tahun direnggut paksa dari mereka.
Kami masih menahan diri untuk menyampaikan secara langsung niat pulang ke anak-anak karena takut mengganggu konsentrasi mereka dalam menghadapi ujian sekolah. Baru setelah ujian selesai kami menyampaikan niat itu secara terbuka ke anak-anak. Heboh lagi dah.
Tapi kebetulan anak pertama PAS selesai di sekolahnya. Sekolah itu paling tinggi punya kelas 10. Setelah itu semua murid kelas 10 harus keluar dari sekolah dan melanjutkan ke sekolah lain yang mempunyai kelas 11 dan 12. Atau boleh langsung ke Universitas setelah menyelesaikan IGCSE.
PAS dua teman paling dekatnya akan melanjutkan sekolah di luar negeri. (memangnya UAE bukan luar negeri?) Satu ke Inggris dan satu lagi ke India. Sedang teman-teman lain pun berpencaran. Sebagian masih di UAE tapi banyak yang pindah ke negeri masing-masing. Dengan contoh-contoh itu sedikit demi sedikit berkurang resistensi anak pertama.
Anak yang ketiga tidak begitu menolak. Meski protes-protes di awal, ketika kakak pertamanya melunak dia juga ikut melunak.
Yang masih keras penolakannya adalah anak kedua. Dan ada kemungkinan dia akan turun kelas karena sukar mencari sekolah yang menerima pindahan kelas 3 SMP. Maklum sudah dekat ujian SMP. Kami hanya bisa berdoa saja agar Allah swt melunakkan hati anak-anak kami. Kemana lagi meminta tolong?
***
PAS di bulan Mei ada pelatihan Entrepreneur University di Abu Dhabi. Saya langsung mendaftar berdua istri. Materinya sangat menarik dan menggelitik. Semua peserta dikompori untuk menjadi entrepreneur. Dengan contoh-contoh kejadian nyata. Dengan teori praktis dan aplikatif. Dengan ‘first hand experience’, para mentor yang sudah jadi entrepreneur. Makin bulatlah tekad menjadi pengusaha.
PAS saat itu pak Gita ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal datang ke Abu Dhabi. Beliau bercerita bagaimana meyakinkan investor asing untuk menanam modal di Indonesia. Beliau bercerita pertumbuhan ekonomi Indonesia yang di atas 6% per tahun. Ini prestasi besar di tengah keterpurukan USA dan Eropa. Janganlah melihat Malaysia, Singapore, Thailand atau Vietnam. Mereka secara alami akan tergilas oleh Indonesia. “Saingan kita adalah China dan India”, kata beliau optimis, dengan keyakinan penuh. “Itulah yang harus kita lihat dan kita jadikan saingan”.
Saya sangat tergerak dengan ceramah beliau dan berkeyakinan dengan pertumbuhan ekonomi macro semacam itu, akan banyak peluang usaha di Indonesia. Juga sekarang sudah banyak pejabat-pejabat bersih yang profesional semacam pak Gita, ketua BKPM, pak Joko Widodo Walikota Solo, Nur Mahmudi Ismail walikota Depok, dan banyak lagi contoh teladan lain.
PAS saya ketemu teman orang Tunisia yang bekerja satu kantor dengan saya. Beliau berencana akan tinggal di Indonesia dan buka usaha. Saya tanya: “Kamu optimis akan dapat hidup di Indonesia dengan buka usaha?” Dia jawab: “Ya, insya Allah saya akan dapat hidup di Indonesia”. Nah, kalau yang warga Tunisia saja optimis bisa hidup di tanah air, masak saya yang orang Indonesia tidak bisa hidup di sana? Saya merasa sangat tertantang dengan perkataan beliau.
Satu saat saya mencukur rambut saya di salon. Tukang cukurnya orang Pakistan. Bincang-bincang saat dia mencukur rambut saya. Menceritakan masa-masa sulit kehidupan seseorang. Suatu saat dia mengatakan kalimat yang mengesankan saya: “Fii harakah, fii barakah”. Kalau ada usaha, pasti dapat barakah. Wah, ucapan yang sangat menancap di hati saya. Jangan takut masa depan. Asal kita mau berusaha pasti ada kehidupan.
***
Yah, itulah hidup pas-pasan. Ada kejadian-kejadian ‘pas’ yang bila kita hubungkan akan membentuk satu desain. Bila itu kebetulan terjadi pada diri anda, maka seakan mengisyaratkan sesuatu.
Pas ibu memanggil, pas saya lagi tertarik bidang entrepreneur, pas ada pelatihan GILA jadi pengusaha, pas digelitik pidato pak Gita, pas ketemu orang Tunisia yang kelewat optimis bisa hidup di Indonesia, pas anak pertama sudah lulus IGCSE, dan kebetulan-kebetulan lain. Jigsaw ini sedikit demi sedikit menambah dorongan keinginan saya untuk berani mencoba bidang pengusaha di Indonesia. Yang belum
pernah saya jalani sebelumnya.
Deg-degan sih iya, tapi sekaligus tertantang. Khawatir memang besar, tapi gairah mengalahkannya. Ketidaktentuan nasib menggelayuti, tapi gambaran masa depan nan cerah juga kuat mendorong ke depan.
Banyak kejadian yang pas itu memaksa saya mengambil pilihan. Benar, hidup pas-pasan itu enak kok. Bagai mengikut air mengalir saja.
“Jangan takut akan masa depan. Tuhan sudah ada di sana”
Abu Dhabi, September 2011