Krenteg adalah gerakan hati, lintasan pikiran, niat yang tersembunyi, keinginan yang terpendam. Keinginan ini belum terlaksana baik dalam perkataan apalagi tindakan. Belum juga ada perencanaan apa pun. Tidak satu gores pena atau pun satu titik tinta. Krenteg merupakan hasrat atau kehendak yang masih mentah, sama sekali belum tahu dari mana akan memulai.
Bulan Desember 2021 lalu saya mendengarkan video dari ex Menkes Ibu Siti Fadilah Supari. Beliau mengatakan Omicron sangat menular. Walau demikian, varian Covid-19 yang ini ternyata tidak berbahaya. Bahkan kalau sudah terkena virus Omicron, selanjutnya kekebalan tubuh atau imun akan menaik. Akan punya proteksi lebh tinggi dari penyakit Covid berikutnya.
Di salah satu video lain beliau mengatakan: “Ini anugerah bahwa Indonesia mendapatkan virus Omicron. Seharusnya kita bersyukur.”
Mendengar ini saya berpikir-pikir. Mendapatkan virus Omicron sekarang enak juga ya. Resiko ringan. Sebagian besar hanya gejala ringan atau tanpa gejala. Hanya sedikit yang mengalami gejala sedang atau berat. Juga persentase kematian sangat kecil. Tapi keuntungan jelas: siapa terkena Omicron akan mendapatkan daya imunitas tinggi. Sukar terkena Covid lagi.
Kepercayaan demikian menimbulkan krenteg di hati saya untuk terkena Covid Omicron. Hanya lintasan keinginan di hati. Tidak benar-benar berniat mendapat. Tapi krenteg ini terus ada dan bergema. Masuk ke alam bawah sadar.
Dan ini mempengaruhi tindakan. Ketika berjalan-jalan kadang melepas masker. Sering tidak menjaga jarak ketika berinteraksi dengan orang lain. Makan bareng ayuk. Ngopi bersama oke. Ngobrol ngalor ngidul ikut nimbrung juga. Mulai jarang mencuci tangan.
Hari Rabu siang saya terkena demam. Tidak sangat tinggi, sekitar 38,6. Diberi Panadol menurun. Selang enam jam kemudian meninggi lagi. Diminumi Panadol, menurun lagi. Besoknya sama. “Wah, jangan-jangan ini Omicron,” kata saya dalam hati.
Tapi ketika akan ditest Covid di hari Kamis, anak mengatakan untuk menunda sampai hari Jumat saja. Karena harus menunggu minimal dua hari setelah gejala, baru virus Covid dapat dideteksi.
Hari Jumat muncul batuk-batuk. Jumat sore itu saya di swap PCR. Hasilnya menunggu 24 jam. Sabtu malam hasil keluar. Dan? Benar. Saya dinyatakan positif Covid. Seharusnya Ct Gen OFR1B > 40 ternyata saya 22. Dan Ct Gen RdRp 24.
Ternyata krenteg ini kesampaian. Hati kecil yang menginginkan terkena Covid terbukti menjadi kenyataan. Hati ini girang walau bercampur khawatir. Girang karena akan mendapatkan imunitas, khawatir karena gejala batuk-batuk masih ada.
Di hari Ahad di WA ada kiriman satu video dari teman yang dibuat oleh WHO. Saya melihat video ini sampai tuntas karena perwakilan WHO adalah seorang dokter wanita yang sangat cantik.
Salah satu pertanyaan dari presenter adalah: “Jika Omicron ini tidak berbahaya, mengapa harus dicegah penularannya?”
Dijawab oleh wakil WHO: “Alasan pertama, ada pasien yang harus masuk ICU karena Omicron. Dan ada juga yang meninggal karena virus ini. Tetap ada resiko. Apalagi jika anda berusia lanjut. Walau kecil, ada kemungkinan virus ini dapat berbahaya. Jangan sampai anda salah satu dari sebagian kecil itu.”
Wah, ini benar. Tidak terpikir oleh saya sebelumnya. Jika ada 1000 orang terkena Omicron, 997 selamat, dan 3 meninggal, yakinkah bahwa kita termasuk dalam 997 orang yang selamat? Apa jaminannya? Apakah benar, seberapa pun kecil kemungkinannya, kita tidak termasuk yang 3 orang? Apalagi tahun depan usia saya sudah 60 tahun.
Wakil WHO: “Kedua, kita tidak sepenuhnya mengenal akibat jangka panjang virus Covid-19 ini atau yang kita sebut post-Covid condition. Apakah benar bahwa Omicron ini sama sekali tidak meninggalkan bekas pada korbannya, ataukah ada pengaruh jangka panjang. Dan tentunya post-Covid condition ini tergantung apakah anda terinfeksi Covid-19 sebelumnya atau tidak.”
Wah, ini juga belum kepikiran. Ternyata penelitian sejauh ini belum final. Makanya saya sering membaca status WHO “Current Knowledge about Omicron”. Mereka hanya berani menuliskan “Pengetahuan sejauh ini mengenai Omicron”. Dampak jangka panjang Omicron adalah salah satu topik yang belum banyak diteliti.
Wakil WHO melanjutkan: “Ketiga, Omicron ini menyebar sangat cepat. Jauh lebih cepat dari varian Delta. Ini dapat menimbulkan disrupsi atau gangguan sistem kesehatan maupun sistem penting lain. Contohnya jika rumah sakit penuh, layanan ke pasien yang bukan Covid akan terganggu. Juga sistem transportasi terganggu karena tiap orang harus di swap, dan penumpang dibatasi. Jika tersebar luas, Kepolisian pasti dilibatkan dalam penanggulangan Omicron. Fasilitas kesehatan seperti laboratorium akan penuh. Sekolah terganggu, pasokan bahan pangan terganggu, dan lainnya.”
Ini benar. Ketika hari Jumat jam sepuluh pagi ke laboratorium, mereka menolak saya. Dikatakan bahwa kuota test pagi itu sudah penuh. Saya diminta kembali jam tiga sore. Saya datang jam tiga dan menunggu sampai jam lima baru dapat giliran diswap. Memang lab sangat penuh hari itu.
Seterusnya: “Terakhir, semakin banyak virus ini menyebar, semakin besar kemungkinan virus ini berubah bentuk menjadi varian baru. Tidak selalu varian baru ini lebih berbahaya. Bisa lebih ringan, bisa juga lebih berat. Tapi yang pasti, para dokter harus belajar lagi dari awal untuk mengenali sifat-sifat varian baru. Dan boleh jadi varian baru ini bisa punya sifat immune escape yaitu menghindari imunitas yang sudah dibentuk oleh varian sebelumnya. Sehingga yang sudah terkena Omicron pun dapat terkena lagi.”
Waduh, yang keempat ini benar-benar menohok. Berarti saya mendukung virus ini untuk bermutasi menjadi varian baru. Saya membiarkan diri menjadi tempat persemaian virus. Kemungkinan mereka bermutasi di tubuh saya. Hiiii…..
Hari Ahad adalah hari kelima sejak gejala awal. Gejala bertambah dengan sakit tenggorokan. Wah, kok gejala malah bertambah nih. “Jangan-jangan saya salah satu dari 3 orang itu,” pikir saya mulai menyangsikan kebenaran krenteg awal. Ketika batuk jadi terasa sakit di dada. Saya makin menyesal mempunyai keinginan yang aneh dan nyleneh sebelumnya.
Sekarang doa saya di hari kelima adalah: “Ya Allah, hindarkan aku dari penyakit ini. Aku sudah kapok ya, Allah. Cukup sekian saja. Aku masih banyak dosa….” Semoga doa ini diijabah.
Bagi anda yang punya krenteg, hati-hati dengan krenteg anda. Pikirkan matang-matang sebelum itu menjadi kenyataan.
Tangerang Selatan, Februari 2022
Artikel ini sudah dimuat di Kabar Fajar https://www.kabarfajar.com/opini/pr-1132616699/hati-hati-dengan-krenteg-anda