Sholat zhuhur di masjid kami dilanjut dengan sholat jenazah. Ada yang meninggal di lingkungan kami. Sebut saja namanya pak Parto. Saya tidak kenal beliau. Tapi ikut saja menyolatkan bersama banyak jamaah lain. Oh, pantas saja jamaah sholat zhuhur jauh lebih banyak dari biasanya. Mereka ingin menyolatkan jenazah pak Parto ini.
—oooOooo—
Sore harinya, habis sholat maghrib saya duduk-duduk di masjid dan berbincang dengan salah satu jamaah. Dia bercerita mengenai almarhum pak Parto yang jenazahnya kami sholatkan siang tadi.
“Pak Parto itu dua tahun lalu menjual rumahnya seharga dua milyar”, kata jamaah itu membuka percakapan.
“Memangnya dia kaya?” tanya saya.
“Sebenarnya kaya banget sih tidak. Tapi dia punya dua rumah. Yang satu ditinggali, yang satu lagi dikontrakkan,” kata jamaah.
“Terus dia menjual satu rumahnya yang tidak ditinggali seharga dua milyar,” lanjutnya.
“Oh, begitu,” saya mengangguk-angguk.
“Terus dia sumbangkan semua uangnya,” kata jamaah itu.
“Ha?” saya terbelalak. “Dua milyar disumbangkan semua?”
“Ya, mungkin tidak semua. Tapi sebagian besar,” kata jamaah itu.
“Kamu kenal pak Amir penjual susu kedelai?” tanya jamaah itu ke saya.
“Ya, saya kenal. Yang jualan di depan TK Amanah?” saya balik bertanya.
“Ya, benar. Dia dibelikan rumah seharga dua ratus delapan puluh juta oleh pak Parto,” jelas jamaah.
“Ha?” kembali saya terbelalak.
“Pak Parto ini membelikan rumah untuk orang-orang miskin yang dia kenal. Harga rumah antara 250 sampai 300 juta,” kata jamaah. “Ada mungkin enam orang yang dibelikan rumah dengan uang dua milyar itu.”
“Ha?” rasanya mata ini bolak-balik terbelalak.
Baru saya sadar kenapa banyak sekali orang yang menyolatkan jenazah pak Parto. Langsung penilaian saya padanya melejit tinggi. Hadiah rumah ini jauh-jauh lebih berharga daripada hadiah umroh. Sepuluh kali lipat lebih mahal. Dan jauh lebih bermanfaat. Bisa dipakai berpuluh tahun dibanding umroh yang hanya beberapa hari.
Dan saya yakin bukan hanya hadiah rumah yang beliau lakukan. Pasti sudah banyak amal-amal lain yang dia lakukan.
Percayakah anda orang yang naik gunung Everest tidak pernah mendaki gunung yang lebih rendah sebelumnya? Tidak mungkinlah. Pasti sudah puluhan gunung dia taklukkan sebagai persiapan ke Everest.
Demikian juga orang yang bisa infak dua milyar, pasti sebelumya sudah sering “berlatih” infak dengan nominal lebih kecil. Maka latihannya pasti sudah “cukup” yang memungkinkan dia berinfak dengan nominal sebesar itu.Saya percaya pak Parto ini sudah banyak berinfak sebelum dia mampu mengeluarkan dua milyar.
Tiba-tiba rasa iri mendera hati. Bagaimana mungkin pak Parto bisa melakukannya sedang saya tidak? Rasanya infak seratus ribu saya jadi liliput dibanding infak beliau.
Dan itu dilakukan dua tahun sebelum dia meninggal. Seolah itulah persiapan dia menghadapi perpisahan dengan dunia. Itulah harta yang dibawa mati. Tercatat dengan tinta emas di buku amalnya. Belum lagi infak-infak dan amal beliau yang lain. Dan ratusan, ribuan doa dari orang-orang yang dibantunya, beserta keluarganya, mengalir padanya.
Malaikat mendoakannya. Allah tersenyum padanya. Dan jika Allah sudah tersenyum, semua alam pun akan menolongnya dalam segala hal.
Saya membayangkan pak Parto berjalan di hutan. Semua burung berkicauan gembira melihat pak Parto. Rumput berebutan bergeser karena ingin diinjak. Tiap pohon memberi jalan lapang untuk dilalui. Awan meneduhi. Air sungai gemercik di samping mengiringi tiap langkahnya. Harimau menjaga di kanan kiri, tidak peduli pada rusa, kijang, kancil yang juga mengiringi perjalanan pak Parto. Kupu-kupu terlihat berkitaran di atas. Oh, gambaran yang sungguh menyenangkan.
Selamat jalan, pak Parto. Sudah selesai tugasmu. Dan membuat berat diriku untuk bisa mengalahkanmu: merebut senyum Allah darimu.
Pamulang, Februari 2020