Kenapa semua yang enak-enak itu diharamkan
Kenapa semua yang asyik-asyik itu yang dilarang
Lagu Rhoma Irama bersama O.M. Soneta menggema di salah satu rumah yang saya lalui. Lagu dangdut lama, tapi masih banyak penggemarnya. “Iya, kenapa ya?” tanya saya dalam hati. Bukan irama dangdut yang menarik. Oke, oke, iya, saya akui ada sedikit pengaruh dangdut yang menarikku. Puas? Puas? Tapi juga lirik ini, setelah sekian puluh tahun tidak terdengar, jadi menggelitik rasa penasaran. Kenapa yang enak-enak diharamkan? Kenapa yang asyik-asyik dilarang?
—oOo—
Saya dulu suka jalan. Kadang mendaki gunung. Kadang juga camping bersama teman-teman memakai tenda. Saya perhatikan tenda yang kedap air sukar untuk dilipat. Karena waktu melipat, ada udara yang terperangkap. Membuat tenda menggelembung saat dilipat kecil.
Untuk tenda tembus air, mengeluarkan udara ini mudah. Asal ditekan, udara akan menerobos kain tenda dan keluar. Sehingga dengan mudah dapat dilipat menjadi kecil.
Untuk tenda kedap air, mengeluarkan udara terperangkap bukan hal mudah. Tenda sudah terlipat setengah, udara tak punya pintu keluar. Sedang kain tenda tidak dapat ditembus. Ditekan di sini, menggelembung di sana. Ditekan di sana, menggelembung di tempat lain. “Ngajakin main kucing-kucingan nih udara,” kata saya menggerutu. Tapi berhubung tenda kedap air ini mahal, dan sangat membantu saat hujan, biar susah payah ya disabarin saja saat melipat.
—oOo—
Tidaklah seorang atlit berprestasi kecuali dia menempa diri setiap hari. Konsisten. Tidak membolos. Tidak membuat excuses (alasan) untuk diri sendiri. Dia meninggalkan gadget, meninggalkan hang out di mall bersama teman-teman. Enak? Tentu tidak. Apalagi para atlit ini berusia muda. Dorongan bermain-main masih besar. Belum lagi pengaruh lingkungan dari teman-teman sangat menggoda. Tapi atlit yang berani meninggalkan yang enak-enak akan menikmati hasilnya bertahun kemudian. Kualitas meningkat seiring dengan banyaknya dia meninggalkan hura-hura dan melakukan latihan yang melelahkan.
Tidaklah seorang Albert Einstein dihormati karena keilmuannya, kecuali dia mencurahkan sebagian besar waktunya untuk belajar. Rutin. Konsisten. Ketika ada hal yang dia tidak tahu, dia mempelajari literatur-literatur yang membahas hal itu. Bukan hal mudah. Pertama harus mencari literatur ketika belum ada Google, kedua harus mempelajarinya sampai mengerti. Ketika tidak ada yang membahas, dia memikirkan dan mencari sendiri teorinya. Enak-enakan jauh dari kamus Einstein. Tapi kualitas yang meningkat lebih appealing bagi dirinya.
Begitulah. Jadi kenapa yang enak-enak diharamkan? Karena tidak meningkatkan kualitas diri.
Ada perkataan motivator yang saya ingat. Hendaklah bermimpi sesuatu yang besar. Tapi kemudian, bangunlah untuk mewujudkannya. Niat saja belum cukup. Harus bangun dan bekerja keras secara rutin agar niat menjadi kenyataan.
Dan menghayati syair bang Rhoma Irama: janganlah terlena dengan enak-enakan karena itu diharamkan. Tapi ada tambahan. Menghindar dari yang enak-enak itu bukan hanya sekali atau sehari atau sebulan. Harus setiap hari secara rutin dan konsisten.
Yuk, jadi tenda kedap air. Biar pun sukar untuk dilipat. Yuk, jadi Einstein. Biar pun harus belajar keras. Yuk, jadi atlit berprestasi. Meski pun harus meninggalkan hang out bersama teman-teman.
Tulisan ini dibuat untuk menyemangati diri sendiri. Menjelang membuat resolusi tahun 2020.
Pamulang, hari terakhir di tahun 2019