Disiplin belumlah merupakan budaya bangsa. Alangkah malunya ketika bangsa kita tidak menerapkan budaya disiplin ini dalam kehidupan. Kita akan disebut bangsa yang tidak berbudaya. Yang pada gilirannya saya percaya akan membawa bangsa ini ke arah keterpurukan yang terjal. Mari biasakan kalimat: “Hari gini tidak disiplin?”
Dalam perjalanan Depok – Jakarta Kota baru-baru ini saya menjumpai tiga kejadian memalukan. Ketiganya dilakukan oleh para pini sepuh yang seharusnya sudah tahu disiplin, serta seharusnya memberi contoh baik.
Kejadian Pertama
Hari itu saya antri membeli karcis kereta api Commuter Line jurusan Depok – Jakarta Kota. Sedang mengantri dengan tertib, tahu-tahu ada seorang bapak yang begitu datang langsung ke depan loket melewati kita-kita yang antri tertib, memasukkan uang dan berkata lantang: “Tanah Abang, satu”. Saya melotot ke arah bapak itu tapi beliau cuek saja. Kira-kira umur beliau 60 tahun. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan beliau. Bapak ini sudah senior citizen tapi masih belum mengerti budaya antri. Melewati orang-orang tertib, dan mendapatkan karcis terlebih dahulu. Tidak peduli perasaan orang-orang yang antri dengan tabah.
Budaya main serobot ini menunjukkan etika bangsa yang rendah. Lebih buruk lagi, itu menyebabkan orang-orang yang tadinya tertib merasa bahwa ketertiban mereka sia-sia. Ada orang tidak berdisiplin yang bisa mendapatkan karcis lebih cepat daripada mereka yang antri dengan tertib. Sangat contagious.
Kejadian Kedua
Di dalam stasiun, seorang ibu kira-kira berumur 50 tahun memakan sesuatu dan membuang bungkusnya ke rel, menimbulkan pemandangan kotor dan sampah. Lagi, seorang senior citizen memberikan contoh tak terpuji.
Membuang sampah sembarangan selain membuat pemandangan tidak indah, juga bisa berdampak luas. Dari mendatangkan binatang-binatang yang tidak diinginkan, menyebarkan penyakit, bahkan sampai menjadi penyebab banjir. Alangkah sayangnya tempat-tempat sampah yang sudah disediakan. Tempat sampah itu tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Apalagi membuang sampah ke rel dapat membahayakan para petugas sampah. Karena mereka harus turun ke rel untuk mengambil sampah-sampah itu. Ada resiko tertabrak kereta api di sana.
Kejadian Ketiga
Sampai di Jakarta Kota, saya akan menyeberang jalan di perempatan. Lampu menyala hijau untuk kendaraan sehingga saya harus berhenti menunggu lampu berubah merah. Tapi dari belakang seorang bapak membawa tas plastik besar langsung menyeberang. Lalu lintas sedang padat sehingga kendaraan tidak dapat melaju cepat. Jika dihitung mungkin 10-20 km per jam.
Bapak itu menyeberang dengan pelan karena memang umurnya sudah sepuh, saya taksir 75 tahun. Itu membuat kendaraan harus mengerem dan memberinya kesempatan menyeberang. Karena lampu masih hijau, kendaraan di belakang tidak mengira bahwa kendaraan di depan akan berhenti. Alhasil, klakson menyalak keras bersahut-sahutan.
Saya mengurut dada menyaksikan bapak tua itu terus berjalan pelan menyeberang, membuat puluhan mobil menunggu. Memang umur beliau sudah uzur sehingga tidak bisa berjalan cepat. Tapi apakah beliau tidak merasa bahwa beliaulah yang salah dan beliaulah penyebab klakson-klakson itu membahana? Mengapa tidak bisa menunggu sampai lampu menyala merah dan beliau bisa menyeberang dengan aman?
Bapak itu membahayakan diri sendiri, dan juga membahayakan pengguna jalan yang lain. Mereka harus mengerem mendadak, dengan resiko terjatuh untuk sepeda motor, dan resiko tertabrak dari belakang untuk mobil. Bapak itu juga menambah stress penduduk Jakarta, mereka memaki atau minimal mengumpat dalam hati tanpa dapat berbuat apa pun mencegahnya menyeberang jalan.
Lalu Lintas
Penyebab lalu lintas macet salah satunya, atau boleh dibilang penyebab utamanya, adalah tidak adanya disiplin dalam berlalu lintas. Dalam pengalaman hari itu, budaya main serobot di loket terbawa kemana-mana termasuk main serobot di lalu lintas.
Ketika akan belok kiri, para tukang serobot ini mengambil jalur paling kanan karena itulah yang paling kosong. Jalur pertama yang paling kiri memang penuh. Kemudian mereka memotong ke kiri lima meter sebelum berbelok keluar jalan. Inilah yang menyebabkan kemacetan meluas ke jalur kedua dan ketiga.
Sampah
Budaya disiplin yang buruk juga terlihat dalam masalah pembuangan sampah. Ketika sungai penuh sampah, ketika selokan tersumbat, ketika danau terdangkalkan, itu lebih disebabkan ketidakdisiplinan masyarakat dalam hal membuang sampah. Kala hujan datang banjir pun tak terelakkan. Dan sumpah serapah dialamatkan ke hujan: “Banjir ini disebabkan curah hujan yang tinggi sehingga Jakarta terendam, kegiatan ekonomi lumpuh.” Lho, kita yang buang sampah, hujan yang disalahkan.
Dampak lain adalah kebersihan dan keindahan kota. Ini tidak begitu terasakan oleh masyarakat. Tapi akibat panjangnya adalah berkurangnya wisatawan asing datang karena mereka mengeluhkan kotornya Jakarta, termasuk taman dan toiletnya. Wisatawan mana yang ingin datang ke tempat kotor dan kumuh?
Dampak berikutnya adalah kesehatan penduduk kota, baik kesehatan lahir maupun batin. Kesehatan lahir jelas terganggu, karena sampah membuat lalat, tikus, kecoa maupun binatang penyebar penyakit lain menjadi tumbuh subur. Kesehatan batin adalah kurangnya mata melihat pemandangan yang indah, hijau dan menyejukkan. Ini berdampak panjang pada kesehatan mental penduduk.
Kapankah kita bisa melihat disiplin penduduk Indonesia?
Start small, start from yourself, start now.
Depok, April 2014