Rumah tangga teman saya sedang di ambang perceraian. Kata beliau, masalah ekonomi adalah pemicu utama. Mungkin juga ada masalah lain tapi ekonomilah yang paling sering disalahkan oleh teman saya itu. Dahulu ekonomi agak lumayan sehingga beliau bahkan bisa menyekolahkan istri ke S1, dan terus ke S2. Sekarang istrinya sudah menjadi dosen di almamaternya. Sedang sang suami tetap seperti semula, kerja serabutan dari satu kerja ke lainnya.
Terakhir beliau bisa membeli mobil Toyota Avanza dengan seluruh uang tabungan. Kemudian mobil disewakan dan mendapat penghasilan dari hasil sewa. Setelah satu tahun berlalu, salah satu teman menyewa mobil itu untuk masa satu bulan. Karena percaya, mobil diberikan ke teman, sewa tanpa sopir. Satu bulan berlalu mobil belum dikembalikan. Teman tersebut ditelepon, tapi teleponnya selalu mati. Didatangi ke rumahnya, ternyata teman itu hanya mengontrak di rumah tersebut dan sekarang sudah kosong. Dicoba dicari ke teman-teman yang lain, tidak ada yang tahu rimbanya. Setelah dua bulan berlalu, akhirnya yakin bahwa mobilnya raib digondol penipu. Memang beliau kenal teman tersebut belum lama, baru dalam hitungan bulan. Juga tidak tahu asal usulnya, kampung halaman teman itu. Teman saya sangat terpukul dengan peristiwa itu, dan pada saat yang sama proyek juga mulai menurun bahkan terhenti menghampiri dirinya.
Maka mulailah perpecahan besar dengan istri. Istri yang tidak terima selalu menyalahkan suami karena kehilangan mobil tersebut. Buat mereka, seratus lima puluh juta itu jumlah yang sangat besar. Tiap ada masalah, selalu masalah mobil diungkit-ungkit kembali oleh istri.
Di lebaran tahun lalu, mereka mudik ke Jawa Timur dengan menyewa mobil. Dengan merogoh tabungan dalam-dalam, sang suami menyewa mobil seharga Rp 1 juta. Apa mau dikata, lebaran kemarin terjadi macet sangat parah. Perjalanan yang biasa ditempuh satu hari menjadi tiga hari. Alhasil, pulang ke rumah pun telat tiga hari. Harga sewa Rp 1 juta menjadi Rp 1,8 juta. Tabungan sudah terkuras habis di kampung sehingga tidak bisa membayar kelebihan harga. Jadilah dia menunggak pembayaran Rp 800 ribu.
Satu hari debt collector dari persewaan mobil itu datang ke rumah. Kebetulan sang suami sedang tidak ada, debt collector diterima istri yang sedang mengerjakan pekerjaan dosen di laptopnya. Karena tidak mendapatkan hasil tagihan, mereka mengambil laptop dengan paksa. Istri sangat marah dan bingung karena semua pekerjaan dosen ada di laptop itu.
Ketika suami datang, perang dengan istri tidak dapat dicegah lagi. Laptop yang merupakan alat vital sebagai dosen hilang. Hasil-hasil ketikan yang sangat diperlukan tidak dapat diambil lagi. Celakanya, suami tidak punya uang untuk membayar sewa mobil itu sehingga laptop istri tidak bisa ditebus. Istri menyalahkan suami yang tidak bisa membayar tunggakan sewa sehingga berakibat fatal yaitu kehilangan laptop. Dengan tangisan dan teriakan, istri memarahi suami habis-habisan.
Demikian seterusnya, istri setiap hari selalu menyalahkan suami karena ekonomi yang semrawut, tidak ada kerja tetap, penghasilan yang selalu kurang. Berakhir dengan keluarnya suami dari rumah karena tidak tahan terus-terusan bertengkar dan selalu disalahkan istri. Sekarang proses perceraian sedang diurus.
Mereka berumah tangga selama 23 tahun. Sekarang di ambang perceraian. Menurut saya ini sangat tragis. Setelah berkumpul berpuluh tahun, jalan bersama, makan bersama, tidur bersama, bangun tidur juga bertemu orang yang sama, bagaimana mungkin bisa terjadi keretakan hubungan? Mengapa selama dua puluh tiga tahun belum ada kesamaan paham antara keduanya?
Saya yakin ekonomi bukanlah penyebab. Karena ada banyak pasangan yang hidup di bawah ekonomi keduanya tapi tetap langgeng bersama. Teman saya itu masih punya rumah sehingga sedikitnya tidak perlu mengontrak. Saya kenal banyak pasangan yang selalu mengontrak dari tahun ke tahun tapi tetap bertahan sebagai suami istri. Bisa bahagia, tersenyum dan tertawa bersama.
Barangkali persiapan mental yang belum terbina. Ekonomi mereka memang mapan sebelumnya. Proyek masih banyak. Sehingga bisa membeli rumah, membiayai istri sekolah tinggi, sampai terakhir membeli mobil. Kalau bisa diangkakan, keluarga yang biasa hidup dalam taraf ekonomi 70 misalnya, kemudian harus hidup dalam taraf ekonomi 40 akan merasa sangat sengsara. Sedang keluarga yang biasa hidup di taraf 30, ketika naik ke taraf 40 sudah merasa sangat senang, seakan terbang tinggi di awan.
Bukankah sama-sama taraf 40? Ya, tapi asalnya beda. Yang satu dari bawah naik ke atas, yang lainnya dari atas turun ke bawah. Ini yang memerlukan persiapan mental tangguh. Karenanya ada yang mengatakan peristiwa pahit akan menjadi kenangan manis dan peristiwa manis akan menjadi kenangan pahit. Seorang yang miskin kemudian menjadi kaya akan terus mengenang keadaan miskinnya sebagai kenangan manis: “Dulu saya miskin bahkan sekolah anak pun harus minta-minta bantuan ke saudara… Sekarang saya bisa membantu saudara-saudara saya…”. Seorang yang kaya kemudian jatuh miskin akan mengenang keadaannya dulu dengan pahit: “Dulu saya kaya raya, mau makan di restoran mana pun hayo… Sekarang jangan kata ke restoran, bisa makan tiga kali sehari pun sudah sangat senang…”
Karenanya, seorang yang sedang sengsara seharusnya bersyukur. Dia punya potensi untuk menjadi bahagia. Kenaikan taraf hidup yang sedikit saja bisa membuatnya senang. Sedangkan orang kaya harap hati-hati. Penurunan taraf hidup yang sedikit saja bisa mengancam kesenangan hidup. Contoh di atas menjelaskan hal ini. Orang yang dari taraf 70 ke 40 merasa sedih dan sangat sengsara. Orang yang dari 30 ke 40 merasa sangat senang dan bahagia. Sama-sama di taraf 40, mantan orang kaya menjadi sedih dan mantan miskin menjadi senang.
Mari bersyukur dengan apa yang ada.
Serpong, Maret 2015
2 thoughts on “Di Ambang Perceraian”