Oleh: Bambang Santoso
Curug adalah air terjun dalam bahasa Sunda. Dia terlihat begitu perkasa. Air jatuh bebas dari tempat ketinggian, tumpah ke danau kecil di bawahnya. Dikelilingi tebing-tebing penuh pepohonan menjulang. Indah mempesona.
Begitu melimpah air tercurah dari tempat tinggi, tidak habis-habisnya terjun ke danau kecil di bawah. Susul menyusul, berlomba dengan sangat ceria. Suara air tumpah tidak kenal lelah memanja telinga. Ditambah angin menderu, pohon berkerisik dan bergesekan, burung dan binatang hutan bersahutan. Udara sejuk, angin segar, bau tanah bercampur daun kering, titik air berhamburan sedikit menghalangi pandangan. Bukan dalam arti negatif, bahkan kesan blur ini menambah suasana romantis. Kemudian air dengan sopan berlalu, dalam aliran sungai yang berkelok manis dan syahdu.
Kita dapat melihat dua hal yang tidak terpisahkan di sini. Curug dan danau di bawahnya. Berlawanan tapi harmonis. Bertolak belakang tapi saling mendukung serta saling melengkapi.
Curug menunjukkan keperkasaan dan kekuatan alam. Suara menggelegar membahana bergaung dari tebing ke tebing. Siapa dapat menahan aliran ini? Seakan tantangan itu diserukan oleh air sang digdaya. Tiada takut ketika terjun dari ketinggian. Membentur bebatuan di bawah setelah melayang terbang di udara bebas. Memercik ke kiri kanan tanpa peduli orang suka atau tidak. Keperkasaan, kejumawaan, ketidakpedulian, tercermin dalam gerakan air. Kecepatan gerak, tenaga besar, keuletan ketika membentur benda keras, keberanian, kemauan kuat, kebulatan tekad, semua itu terlihat nyata dalam aliran air. Tenaga besar tercurah, tumpah dalam gerakan liar penuh kekuatan. Tiada yang dapat mengendalikan aliran air ini.
Sedang danau di bawahnya mencerminkan hal yang sebaliknya. Tenang dalam menghadapi “kemarahan” air terjun. Menerima tumpahan air tanpa mengeluh. Tetap di tempat, merasa tidak perlu menghindar. Mapan dalam sikap. Tidak berlebihan dalam menanggap. Merespons tanpa gagap. Kediaman yang menenangkan. Biru air membirukan hati.
Lihatlah bagaimana sifat danau. Kedalaman tak terduga. Kadang sampai 6 meter kedalaman palung air danau. Diam bukan berarti tak berdaya. Terbukti dapat menampung air seberapa pun banyaknya. Curug pun tak kuasa menggesernya. Harap hati-hati bermain di sana. Dapat membahayakan nyawa.
Danau dalam diamnya tidak kalah mempersona. Kejernihan air menawarkan ketenangan jiwa. Walau terlihat diam, tapi tidak mati. Selalu mencari jalan untuk menyalurkan airnya. Tidak banyak berteriak dalam usahanya. Bijak dalam mengalirkan airnya.
Dapat dilihat perbedaan keduanya.
Gelegar vs Diam
Curug berteriak perkasa, suaranya menggelegar membahana. Dari jauh kita dapat mendengar kumandang suara. Dinding-dinding jurang membantu memantulkan gema.
Sementara danau diam tak merasa perlu berkata-kata. Hanya sedikit gemercik suara, kala mengantar air mengalir ke sungai di bawah sana. Cukup berbisik ke airnya: “Silakan pergi, ke arah sana. Dan sampaikan salamku pada laut sahabat lama.”
Air menuruti anjuran danau induk. Bergerak mengalir berurutan beriringan. Sedikit demi sedikit, merantau lepas tanpa tahu nasib apa yang akan melibas. Apakah akan sampai di laut lepas, atau terperangkap di labirin buas. Menguap hilang di lapangan luas.
Keliaran vs Kemapanan
Curug bergerak liar dan tak beraturan. Air jatuh dari ketinggian memercik ke segala tempat. Tidak peduli akibat yang ditimbulkan dan tidak peduli akan terjatuh ke mana. Orang Sunda mengatakan “kumaha engke weh”. Air dapat terjatuh ke danau, ke pepohonan, bebatuan, atau terkena orang di bawah. Kadang terjatuh jauh dari induknya. Ada yang terkena batu dan terpecah menjadi butiran-butiran sangat kecil. Kemudian menyublim menjadi uap air.
Sebaliknya danau bergerak lamban dan mengalir tenang. Walau kedung di kedalamannya dapat berpusar melingkar membahayakan apa pun yang di atasnya, tapi tak terlihat dari luar. Di permukaan, danau terlihat mapan. Tidak pernah melakukan gerakan mendadak yang mengagetkan. Segala tindakan seakan sudah direncanakan. Tidak grusa grusu, tak pernah potong kompas.
Seenaknya vs Mengikuti Alur
Curug membuang air ke bawah dari ketinggian. “Silakan cari jalan di udara. Ayo terjun, semau anda,” kata curug kepada airnya. Dan air melayang tak beraturan. Entar program komputer mana yang dapat memprediksi jatuhnya satu titik air di mana. Karena pembuangan ini bersifat seenaknya. Tak peduli apa yang terjadi pada air yang dulu dibina. Sekarang engkau merdeka. Bebas mau ke mana. Kehendak adalah raja.
Sedang danau mengalirkan air ke sungai mengikuti pakem yang sudah dibuat nenek moyang air sebelumnya. Tidak ada jalan baru yang dibuat. “Silakan ikuti jalan ini saja. Tidak usah membuat jalan berbeda.” Alhasil sungai dipenuhi air utusan danau. Mengalir berlenggok manis bak kumpulan bebek berbaris. Indah dalam pandangan, menjadi inspirasi para seniman.
Tapi yang patut diteladani adalah kerja sama yang rapi. Curug dan danau. Berbeda tapi bersama. Berlainan tapi berdampingan. Berlawanan tapi berkawan.
Sedang manusia, sedikit berbeda pemikiran langsung menjadi lawan. Dikutuk menjadi monyet, didoakan rejeki tergencet. Dibenci sampai ulu hati, diperlakukan dengan tangan besi. Diharapkan masuk jahanam, hanya gara-gara berbeda paham. Oh, kapankah kita belajar dari alam?
Oleh-oleh dari Curug Pasir Reungit, Kab. Bogor
Pamulang, akhir Januari 2023