Oleh: Bambang Santoso
Telah berpulang ke rahmatullah. Prof. Dr. H. Achmad Sofyan Hanif, M.Pd. hari Rabu, 16 November 2022 pukul 12:30 di rumahnya pada usia 59 tahun 3 bulan. Guru besar UNJ, Rawamangun, Jakarta. Pernah menjadi Staf Ahli Purek III, Ketua Jurusan Somatokinetika, Pembantu Dekan FIK, Sekretaris Prodi Pascasarjana, Dekan FPOK UNJ, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan UNJ, Kepala BPS Lab-School YP-UNJ, Jakarta, dan sederet panjang jabatan lain yang menulisnya pun membuat pegal tangan.
Mendapatkan gelar mahasiswa berprestasi ke II FPOK IKIP Jakarta saat menjadi mahasiswa dan Dosen Teladan I FPOK IKIP Jakarta saat menjadi dosen.
Ketika mahasiswa menjadi ketua senat FPOK, Ketua Komisi Organisasi BPM FPOK, Komando Menwa IKIP Jakarta, dan lainnya. Setelah lulus menjadi Ketua Bidang Diklat PSTI – Persatuan Sepaktakraw Indonesia, Ketua Persaudaraan Shorinji Kempo Indonesia (Perkemi) DKI Jakarta, Ketua FOPI DKI Jakarta, Ketua Forum Dekan FIK Se-Indonesia, Ketua Komisi Nasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga, dan, ah sudahlah. Terlalu banyak jabatan yang pernah disandangnya.
Sebentar, … FOPI? Apa itu? Federasi Olahraga Petanque Indonesia. Ini olah raga yang saya baru tahu ketika membaca riwayat hidupnya. Bahkan olah raga yang saya belum pernah dengar pun digelutinya.
Dia profesor olah raga. Tidak heran perhatiannya mengenai olah raga sangat intens. Buku-bukunya banyak. Mengenai kempo (Falsafah Pengukuran dan Teknik dasar Sorinji Kempo, Rajawali Press), sepak takraw (Sepaktakraw Double Event, Mari Bermain Sepaktakraw, Perkembangan Sepaktakraw dan Tokohnya, Kepelatihan Dasar Sepaktakraw, Sepaktakraw Pantai, Sepaktakraw untuk Pelajar, Manajemen Penyelenggaraan Pertandingan Sepaktakraw). Olah raga lain yang digelutinya adalah bulu tangkis, basket, volley, tenis meja, berenang, menyelam. Tulisannya mengenai olah raga banyak tersebar di jurnal dan prosiding, baik nasional mau pun internasional.
Saya yang baru menulis satu buku merasa sangat minder ketika membaca biodata beliau. Wah, bukan level saya banget. Huhu…
—oOo—
Dia teman sekolah di SMP 1 Semarang. Pernah satu kelas. Pernah sehobby main volley. Sahabat. Teman main ke mana-mana. Tetangga. Dia di Barusari I, saya di Barusari II. Bapaknya seorang ustadz di kampung kami. Tidak heran Prof. Hanif orangnya religius. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Sering menginap di aula SMP, tempat olah raga indoor di sekolah kami. Berempat kami menginap di sana. Tidur di matras. Hanif, Iwan, Heri, dan saya. Heri ini ayahnya guru di SMP kami. Bertempat tinggal di lingkungan SMP. Pamit ke orang tua belajar bersama. Hasilnya ngobrol ngalor ngidul saja. Bawa buku sih iya. Baca buku, itu lain soal adanya.
Saat lapar, mengintip ke gedung tetangga. Ada gedung pertemuan bernama Gedung Pemuda. Saat malam akhir pekan sering ada pernikahan di sana. Diam-diam kami masuk ke gedung pesta. Karena berempat, diatur dua-dua. Masuk mengikuti pasangan yang tidak membawa putra. Kalau sudah di dalam, wah, serasa surga turun ke dunia. Maklum, saya orang tidak berada. Makanan macam ini di rumah tidak pernah tersedia. Makan lahap tanpa bayar apa-apa. Kalau diingat, masih merasa berdosa. Tapi tak tahu sekarang harus menebus ke mana.
Hanif jago kempo, Iwan jago karate. Mereka sering berlatih berdua saat menginap. Heri dan saya, karena tidak berlatih bela diri, menjadi penonton setia. Satu saat Iwan kena tendang. Saat lain Hanif kena pukulan telak Iwan. Kalau sudah begitu pertandingan berhenti. “Asem, loro buanget ikh,” sering makian terdengar. Kami hanya tertawa-tawa saja.
Dulu Heri jatuh cinta pada salah seorang teman putri cantik bernama Atun. Hujan lebat kami berempat mengantarkan buku ke rumahnya. Besoknya pada batuk pilek demam. Ya, tidak apa-apa. Pokoknya sudah membuktikan cinta Heri padanya. Dan kami dukung. Kenangan yang tidak bisa diulang.
Saat meneruskan ke SMA, Hanif di SMA 29, saya di SMA 1, sama-sama di Jakarta. Beberapa kali sempat main ke tempat tinggalnya di Kreo. Tapi semenjak kuliah kami berpisah kota. Sudah tidak pernah bersua. Apalagi ketika sudah bekerja, saya di Arab, dia berkarya di UNJ sebagai pendidik. Dan setia dengan profesinya sampai akhir hayat.
Ketika saya pulang ke Indonesia, Prof. Hanif lah yang sangat intens mencari berita mengenai saya. Selalu bertanya ke teman-teman SMP mengenai keberadaan saya. Dan ketika ketemu nomor saya, dia dengan antusias segera menelepon. Tertawanya menggelegar, suaranya renyah. Menanyakan “Ning ndi wae awakmu? (ke mana saja kau?). Ayo, reuni. Ayo ketemuan.”
Sayangnya, ketemuan saya yang pertama dengan beliau adalah ketika beliau di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional. Dirawat karena terkena stroke. Tapi kemudian sembuh, bisa jalan-jalan lagi. Walau setelahnya beberapa kali beliau terkena penyakit.
Bulik saya pernah menjadi guru di SMP 1 Semarang. Bulik meninggal Mei 2022 lalu. Prof. Hanif datang ke rumah saya di Pamulang sekedar mengucap duka cita. Begitu perhatiannya kepada orang-orang yang pernah dikenalnya.
Saat itu saya berikan buku yang baru saya tulis. Dengan penuh bangga karena itu buku pertama saya. Dan dia dengan gembira menyambutnya: “Wah, hebat. Bisa menulis buku,” dengan mengacungkan jempol besarnya. Dia membuat selfie diri bersama buku saya. Dibagikan ke group SMP kami.
Dia sama sekali tidak mengatakan bahwa dia sudah menulis banyak buku. Setelah dia meninggal baru saya tahu buku karyanya bertebaran di mana-mana. Alangkah malunya. Berbangga bisa menulis satu buku di depan Profesor dengan rentetan karya tulis.
Prof. Hanif tidak memakai motto muluk-muluk, slogan bombastis, atau kata-kata mutiara indah sebagai pedoman hidup. Dia orang pragmatis, kata-katanya sederhana, tidak melangit.
Tapi dia menjalankan apa yang dikatakan, walk the talk. Dan istiqomah pada hal yang diyakini benar. Mau bekerja keras untuk mewujudkannya. Dengan kesabaran tingkat dewa. Dengan ketelatenan tiada henti.
Saya benar-benar iri padanya. Seorang yang sangat menjaga silaturahim. Perhatian pada teman. Royal dalam memberi. Tidak pernah segan menolong. Pekerja keras tapi tidak pernah mengatakan “saya sibuk”. Berprestasi besar tapi tidak pernah mengatakan “Saya pernah ini dan itu”. Pendidik sejati dengan dedikasi luar biasa. Terlalu luar biasa untuk bisa dipercaya.
Boleh iri pada dua orang: Orang kaya yang senang menginfakkan hartanya, dan orang berilmu yang menyebarkan ilmunya. Keduanya ada di Profesor Hanif.
Ya, Allah, persaksikanlah bahwa Prof. Hanif adalah orang baik. Ya, Allah, karuniakan surga tertinggi baginya.
Pamulang, November 2022