Halal bihalal ex teman-teman SMA berlangsung meriah. Lokasi di rumah salah satu teman di bilangan Jakarta Selatan. Rumahnya luas, besar, mewah. Di depan berjejer lima mobil. Ketika masuk, ternyata ada lagi 4 mobil mewah sekelas Mercedes dan teman-temannya di garasi dalam. Juga ada 3 moge yang tampak terawat rapih dan kinclong. Kolam renang di halaman dalam menampilkan air melimpah nan jernih dengan dasar kolam berwarna biru terlihat nyata. Dibatasi tembok tinggi agar pandangan orang luar terhalang. Di samping ada kolam ikan ukuran kira-kira 5 x 2 meter. Berisi dua ikan besar sekitar 1,3 meter panjangnya. Ketika saya tanya apa namanya, dia berkata ini adalah arapaima, ikan purba dari sungai Amazon. “Oh…”, saya hanya bisa membulatkan mulut. Nama ikan tersebut baru kali ini saya dengar. Dua ikan besar tersebut bergerak dengan anggun di kolam. “Ini masih tergolong kecil”, katanya melanjutkan. “Ada yang punya 3 meter panjangnya.” “Oh”, lagi keluar dari mulutku.
Beliau juga bercerita baru pulang dari tour moge ke Amerika. Tour lima hari menempuh jarak 4000 km. “Oh” lagi keluar dari mulutku. “Wah, jauh banget mas”, kataku berkomentar. “Ah, biasa itu”, kata beliau. “Saya pernah tour 6000 km selama tujuh hari, dari ujung barat ke ujung timur Amerika”, ujarnya. “Oh”, mulutku latah lagi.
Banyak ah oh mendengarkan pengalaman-pengalaman beliau. Sesuatu yang tidak pernah terlintas bahkan dalam mimpi saya.
Di dalam HBH yang sama, saya kenal seorang teman yang untuk makan pun susah. Kemarin ketika ingin membeli kompor dia perlu menunggu uluran bantuan teman. Untuk datang ke HBH beliau minta ongkos jalan ke saya. “Ga ada ongkos buat ke sana nih”, katanya memelas.
Di jaman SMA tidak kelhatan siapa yang akan jadi kaya dan siapa yang akan berkekurangan. Setelah 30 tahun terlihat jelas siapa-siapanya teman SMA kami. Ada yang melimpah ruah, ada yang berkecukupan, dan banyak juga yang kekurangan.
***
Salah satu pelajaran yang saya dapat hari itu adalah jangan pernah meremehkan orang. Tidak ada yang tahu suratan nasib. Seseorang yang sekarang berada di bawah suatu saat bisa melambung jauh di atas kita. Seseorang yang sekarang di atas, bisa saja terjatuh menjadi paling bawah. Maka sikap terbaik adalah bergaul dengan semua orang sama baiknya. Tidak menjilat ke atas atau pun menginjak ke bawah.
Urusan akhirat lebih samar lagi. Kita tidak tahu siapa wali Allah di sekitar kita. Yang saya maksud wali Allah adalah orang kesayangan Allah swt. Yang mencintai Allah dan dicintai-Nya.
Cerita Malik bin Dinar
Wali Allah itu bisa di mana pun. Tetangga, teman, atasan, bawahan, bahkan mungkin anak kita. Kata pameo, tidaklah dikenal wali kecuali oleh wali. Maka jika saya dan anda bukan wali, jangan berharap bisa tahu siapa-siapa saja yang wali di sekitar kita. Jangan coba-coba menyakiti hati seorang wali. Allah swt akan terusik jika kecintaan-Nya disakiti. Jangan kata kecintaan-Nya, orang biasa yang terzholimi pun doanya akan didengar Allah swt. Apalagi bila kecintaan-Nya disakiti dan dizholimi. Kebayang khan bagaimana jika Allah murka? Masalahnya, kita tidak pernah tahu siapa saja orang-orang kecintaan-Nya!
Saat itu kekeringan sedang melanda. Penguasa negeri mengundang ulama-ulama dari seluruh pelosok untuk berkumpul dan bersama dengan masyarakat melakukan shalat istisqo di alun-alun. Sebelumnya, para ulama memberikan tausiahnya, kemudian bersama-sama istighfar, kemudian sholat lalu menengadahkan tangan berdoa memohon hujan. Tapi hujan tidak kunjung datang. Sholat diulang. Berdoa lagi. Jangankan hujan, setetes air pun tidak turun dari langit. Sholat diulang ketiga kalinya. Berdoa lagi. Jangankan tetes air, mendung pun tidak datang. Langit jernih tanpa awan dan panas terik mencengkeram bumi.
Akhirnya masyarakat bubar. Semua kembali ke rumah dengan sedih. Hujan yang diharapkan tidak dapat datang.
Adalah Malik bin Dinar, seorang ulama tabiin yang ikut sholat istisqo, merasa masygul dengan kejadian ini. Dia menuju masjid dan berdiam diri sana sampai Isya. Selesai Isya, dia masih tinggal di masjid sampai sepi.
Di tengah malam tiba-tiba datang seorang laki-laki, Dia tampaknya tidak tahu bahwa Malik bin Dinar masih ada di masjid dan duduk di kegelapan. Laki-laki itu kemudian sholat 2 rakaat. Kemudian menengadahkan tangannya berdoa: “Ya, Allah, berikanlah hujan kepada penduduk negeri ini. Jika tidak, aku khawatir mereka menjadi kufur. Dengan kemurahan-Mu, ya Allah”. Sebelum laki-laki itu menurunkan tangannya, terdengar guruh bersahut-sahutan dan tak berapa lama hujan turun, rintik-rintik kemudian menderas. Laki-laki itu kemudian berdiri dan berlalu dari masjid di tengah guyuran hujan.
Malik bin Dinar sangat kagum kepadanya, maka dia mengikuti laki-laki tersebut dari kejauhan. Sampai laki-laki itu masuk ke salah satu rumah.
Besok paginya Malik bin Dinar menuju ke rumah itu dan bertanya ke pemilik rumah apakah ada laki-laki dengan ciri-ciri seperti yang kemarin ke masjid. Pemilik rumah mengiyakan dan berkata “Dia budak kami. Tidaklah ada kerjanya kecuali siang puasa dan malam berdiri sholat. Budak tak berguna”.
Cerita masih berlanjut tapi biarlah kita hentikan di sini. Intinya, seorang budak hina dina, miskin, sama sekali tak dikenal, ternyata doanya mengalahkan doa para ulama-ulama besar yang berkumpul. Betapa tak terduga.
Jika urusan dunia saja kita tidak dapat menduga siapa yang akan berhasil nanti, maka urusan akhirat lebih pelik dan halus lagi. Siapa yang berhasil di akhirat sangat rahasia. Maka jangan merasa diri suci. Siapa tahu tetangga yang sepertinya lebih rendah dari kita ternyata dapat memasuki surga dengan mudah. Sedang kita jauh tertinggal di belakangnya.
Mari tundukkan hati dan jauhkan ujub dari diri.
Be HWLL, he who laughs last.
Depok, Oktober 2014