Saya jalan-jalan Jumat malam itu ke satu tempat. Pulang ke rumah, biasalah, banyak kerjaan rumah. Terutama menggoda si Bontot. Menggoda si Bontot ini harus sampai dia marah. Kalau belum marah berarti belum berhasil.
Tengah malam baru sadar bahwa hape ketinggalan. “Wah, pasti ketinggalan di warung tadi,” kata saya dalam hati. Tapi sudah terlalu malam. Pasti sudah tutup. “Besok pagi saja ke sana,” kata saya membatin.
Besok paginya saya ke sana. Berharap besar hape bisa ketemu. Bertanya ke tukang warung, “Bang, lihat hape ketinggalan tidak?”.
“Wah, tidak tuh,” katanya.
Saya berasio mungkin jatuh saat saya berjalan ke parkiran. Ke warung sembako sebelah saya bertanya, “Pak, lihat hape saya jatuh?”
“Tidak lihat, mas. Kalau ada yang menemukan biasanya diberikan ke saya,” jawab tukang sembako.
Kembali ke rumah, saya pinjam hape anak untuk menelepon hape yang hilang. Dering pertama disambut mesin, “Nomor telepon yang anda tuju sedang sibuk. Cobalah beberapa menit lagi”. Wah, ada harapan nih. Berarti ada yang menemukan. Buktinya hape sedang dipakai.
Menuruti anjuran si abang mesin, lima menit kemudian saya menelepon lagi. Kembali pesan yang sama dari abang mesin, “Nomor telepon yang anda tuju sedang sibuk”.
Tunggu lima menit, kemudian menelepon lagi. Kali ketiga ini ada nada sambung. “Nah, dia sudah selesai menelepon,” kata saya girang. Tapi sampai dering terputus telepon tidak diangkat. Telepon keempat langsung ditutup olehnya. Telepon kelima dan seterusnya dijawab mesin, “Nomor telepon yang anda hubungi sedang tidak aktif”.
Lemaslah diriku. Putus harapan akan menemukan hapeku kembali. Sudah kelihatan bahwa orang yang menemukan hape ini tidak berniat baik. Setelahnya saya masih mencoba menghubungi. Berkali-kali telepon, SMS, Whatsapp hanya terjatuh ke ngarai dalam. Sama sekali tak berjawab.
Besoknya hari Sabtu. Kebetulan ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda sehingga tidak sempat ke operator telekom.
Hari Ahad ada arisan keluarga. Saat pergi bersama istri ke arisan, saya ceritakan hape yang hilang. Istri dongkol ke saya. “Hari Jumat hilang hari Ahad baru cerita. Suka berahasia nih,” komentar istri jengkel.
Eh, bukannya prihatin hape hilang, dia malah jengkel karena suami tidak segera “lapor” ke istri. Itulah wanita. Kadang tak terduga belokannya.
Saya sih tidak begitu peduli pada hape. Sudah hape lama sih. Baterai sudah zoak. Tiap diisi listrik penuh hanya bertahan 6 jam. Harus segera diisi lagi. Hapenya sendiri sudah lemot. Kalau ada aplikasi yang diupdate harus menghapus-hapus yang lain dulu. Kalau mengunduh video harus segera dihapus. Kalau tidak, hape bisa bertingkah aneh karena kepenuhan isi.
Tapi ada banyak cerita berseliweran ketika hape hilang, penemu hape menghubungi nama-nama yang ada di hape. Dengan mengatasnamakan pemilik hape dia mengatakan, ”Saya sedang butuh uang. Bisa transfer Rp 2 juta ke rekening teman saya?”. Kemudian disebutkan nomor rekening. Beberapa teman pernah terjebak modus demikian. Terutama jika hape tidak memakai password.
Hape saya memang tanpa password. Karena kadang ribet. Saat ingin membuka hape harus menasukkan password terlebih dahulu. Yang akhirnya saya hilangkan saja password. Lebih mudah memakai hape. Tapi juga lebih mudah orang lain membacanya.
Maka menunggu hari Senin terasa sangatlah lama. Hati deg-degan takut akan ada cerita miring mengatasnamakan nama saya meminta pinjaman. Semoga yang menemukan hape hanya tertarik dengan hape saja, tidak mengutak-atik kontak.
Saya datang ke teman yang rumahnya dekat warung tempat hape hilang. “Lho, kok sampeyan baru datang sekarang. Mustinya hari Jumat, biar bisa kita lacak. Sekarang sudah dua hari. Bisa-bisa sudah berpindah tangan dua tiga kali”, kata teman saya. Lha hari Jumat baru nyadarnya tengah malam, bagaimana bisa menghubungi dia?
“Baik, nanti kita tanya-tanya orang sekitar. Tapi saya kok yakin hape pasti bisa kembali”, katanya sok dukun. Saya iyakan saja firasatnya. Soalnya itu sesuai kemauan saya.
Hari Senin datang. Saya ke operator telepon untuk meminta nomor telepon saya kembali. Soalnya nomor itu sudah tersebar luas ke teman dan saudara. Juga untuk mengambil alih Whatsapp dan media sosial lain.
Di sana diterima customer service cantik. Ada banyak pertanyaan, “Mana KTP asli?” Kemudian, “Sebutkan 3 nomor telepon yang anda hubungi dalam 3 bulan terakhir ini”. Ada lagi, “Punya surat ijin mengemudi?” Juga, “Berapa top up terakhir yang anda lakukan?” Bla bla bla… saya layani dengan senyum terpaksa. Wong saya butuh je. Sepuluh menit kemudian kartu SIM baru sudah jadi. Dengan nomor telepon yang lama.
“Ini, pak, kartu SIM bapak yang baru. Bisa langsung dipakai. Oh, ya. Jangan lupa nanti akan ada pertanyaan survei dari perusahaan kami mengenai pelayanan saya. Kasih bintang lima ya pak”, katanya merayu. Wuh… kalau lagi ada mau senyumnya manis banget.
“Ya, siap”, kata saya tak kalah manis. Setelah itu memang ada SMS survei. Saya balas dengan bintang lima. Saya pikir tak ada salahnya menyenangkan orang. Apalagi orangnya cantik manis.
Pulang dari sana, istri sudah menunggu dengan makan siang. Di saat makan siang istri berkata: “Mas, saya mau ngomong”.
“Ya, ngomong saja situ”, jawab saya sambil terus makan.
“Siapa Mila?”.
Deg… terkejut saya mendengar pertanyaan istri. “Dia teman SMP”, jawab saya berusaha santai.
“Saya perhatikan mas intens berhubungan dengan dia lewat media sosial,” kata istri. “Sehari bisa berkali-kali mas chatting dengan dia. Dengan saya pun tidak sesering itu,” lanjutnya.
“Iya, itu baru ketemu setelah berpuluh tahun berpisah”, alasan saya.
“Mas kan tahu setan itu bisa masuk dari mana saja. Setan paling senang mengganggu hubungan suami istri. Itu kan yang sering mas katakan,” kata istri.
Saya terdiam. Dia benar. Saya sering mengatakan rumah tangga orang lain banyak yang berantakan. Itu karena ada setan yang bertugas khusus menggoda suami istri.
“Setan itu menyelinap halus dalam darah lho mas. Kenapa mas berhubungan dengan dia terus? Becanda, saling memberi nasehat, kadang saling menggoda?” Iya, sih. Istriku kok tahu saja ya?
“Maaf, kalau saya membuka hape mas untuk melihat. Awalnya tidak sengaja. Tapi ketika saya perhatikan kok setiap hari nama itu muncul di pesan teratas. Yang berarti ada pesan baru terus menerus,” kata istri saya.
“Jujur, sebagai istri saya cemburu. Suami berhubungan dengan wanita lain di belakangku. Tahu nggak mas? Sudah sepekan ini saya terus terusan berdoa agar diberi pemecahan atas masalah ini. Saya panteng terus doa supaya ada jalan keluar,” kata istri. “Dan Jumat itu, Allah menjawab permintaanku. Hape mas hilang. Jadi tidak bisa berhubungan dengan dia, minimal sementara. Dan sialnya mas menunda kegembiraan saya, baru memberitahu hari Ahad bahwa hape hilang. Inilah jawaban doa saya selama sepekan ini. Terus terang merinding saya mengetahui Allah mengabulkan doa dalam sekejab. Hanya dalam waktu 1 pekan,” kata istri. Bukan hanya dia, saya juga merinding.
“Sekarang terserah mas. Mau diteruskan, atau mau dihentikan. Pokoknya saya sudah berbicara,” istri menutup pembicaraan.
Kami meneruskan makan dengan diam. Masing-masing dengan pikirannya sendiri-sendiri. Saya masih menerawang. Apa yang harus saya lakukan? Memutus begitu saja? Apa alasan saya? Mengurangi intensitas? Atau meneruskan sebagaimana sebelumnya?
Saat itu juga saya berharap agar ramalan teman sok dukun itu tidak terjadi. Semoga hape saya tidak ditemukan agar istri mengira bahwa doanya terkabul. Janganlah istriku menjadi kecewa karena doa yang tadinya dianggap terkabul menjadi batal gara-gara hape ketemu.
Tapi mungkin ada baiknya sekarang saya pakai password untuk hape.
Pamulang, Januari 2020