Teman saya punya anak, katakan namanya Budi. Dia lulusan SMK Listrik. Budi ini sudah berkali-kali ganti pekerjaan karena tidak sesuai. Satu perusahaan karena mandornya minta dia ‘mengutil’ pembelanjaan. Dituliskan perlu kabel 100 meter padahal hanya perlu 50 meter. Perlu alat listrik seharga Rp 250.000 padahal harganya hanya 150 ribu. Dia disuruh tanda tangan usulan pengadaan walau tahu itu salah. Dia merasa tidak betah dan keluar ketika baru bekerja dua bulan.
Menganggur selama empat bulan, dia dapat pekerjaan di perusahaan lain. Tapi teman sekerjanya suka bermalas-malasan, sehingga dia harus bekerja keras. Pekerjaannya menjadi lebih berat, dia harus meng-cover kerja rekan. Mau protes tidak berani, maklum masih yunior. Bertahan 1 bulan, dia keluar.
Mencari lagi pekerjaan, dan 5 bulan kemudian diterima di perusahaan lain lagi. Tapi tidak betah karena atasannya pemarah. Sedikit sedikit dia kena omelan walau tidak bersalah. Bertahan 3 pekan, keluar.
Dapat pekerjaan lagi di perusahaan lain, ternyata prosedurnya sangat kaku. Telat satu menit saja kena penalti. Baju kurang lengkap gaji dikurangi. Dia keluar setelah 2 bulan bekerja.
—oOo—
Teman saya yang lain punya seorang anak, masih kelas 2 SD. Di sekolah dia di-bully temannya yang lebih besar badannya. Guru tidak bertindak apa-apa terhadap anak berbadan besar tersebut. Orang tuanya protes ke sekolah. Tapi tidak ada perubahan apa pun dari sekolah untuk mencegah hal itu terulang. Akhirnya dia pindahkan anaknya ke sekolah lain.
Di sekolah baru ada masalah di kelas 5 SD. Guru berganti dan ada banyak PR yang tidak masuk akal. Setumpuk PR harus dikerjakan dalam waktu singkat. Dan tidak relevan dengan materi dalam buku-buku yang dipakai. Anaknya mengeluh setiap hari bahkan kadang sampai menangis. Dia pindahkan anaknya ke sekolah lain.
Di SMP hal yang sama terjadi lagi. Kali ini gurunya galak. “He picks on me”, kata anaknya. Tidak ada pilihan selain pindah sekolah. Maka kembali teman saya harus mencari sekolah dan memindah anaknya sekolah di sana.
—oOo—
Para ahli mengatakan selain intelectual quotient (IQ) ada adversity quotient , kecerdasan menyikapi keadaan yang sulit. Jika dunia tidak berjalan seperti yang diinginkan, seberapa besar daya hidup seseorang? Apakah dia dapat bertahan hidup di sana?
Adversity quotient adalah kecerdasan mengatasi kesulitan dan sanggup untuk bertahan hidup, tidak mudah menyerah dalam menghadapi apa pun kesulitan hidup. Tidak semua keadaan sesuai dengan harapan kita. Seringnya tidak. Ingin bekerja di tempat dingin ber-AC, ternyata dapat kerja di lapangan di bawah matahari terik. Ingin sekolah dengan guru yang welas asih, perhatian, ternyata dapat guru galak dan tidak toleran. Maunya beristri yang lembut, penyabar, ternyata dapatnya cerewet dan selalu mengomel.
Contoh kurangnya adversity quotient adalah Budi seperti contoh di atas. Keluar dari pekerjaan dengan rentang waktu pendek. Bukan karena ada pekerjaan lain yang lebih baik, tapi karena tidak betah atau merasa tertekan dengan pekerjaannya. Semua alasan sekecil apa pun dipakai untuk mengatakan orang lain salah dan dia benar. Kadang alasan yang sangat personal, misal tidak suka soto padahal warung makan di situ hanya sedia soto.
Juga anak teman saya yang minta berpindah-pindah sekolah. Tidak tahan dengan keadaan sekitar dan minta dipindah ke sekolah lain. Lingkungan salah dan dia benar.
Seseorang dengan adversity quotient rendah cenderung menyalahkan lingkungan. “Atasan saya tidak adil” atau “Teman saya berkomplot untuk menjatuhkan saya”. Tidak tegar menghadapi kesulitan dunia. Menghindar dari kesukaran. Menyalahkan orang lain. Ingin lingkungan berubah dan dia tidak perlu berubah. Orang lain salah dan dia benar.
Sebagai orang tua, sebaiknya melatih anak menghadapi kesulitan. Ketegaran menghadapi masalah harus dilatih sejak kecil. “Aduh, sini papa pakaikan tali sepatunya.” ketika sebenarnya anak sudah bisa memakai tali sepatu meskipun dengan mengotori lengan baju. Mengatakan: “Ayo, mama suapin biar cepat” ketika anak sudah bisa makan sendiri walau perlu waktu lebih lama. Orang tua tidak perlu selalu intervensi saat anak kesulitan melakukan sesuatu. Atau ketika anak bertengkar dengan teman.
Kesulitan untuk dihadapi, bukan untuk dihindari
Ada teman yang punya kesulitan keuangan. Hutang banyak dan tidak ada uang untuk membayar. Dia tidak mau berpikir keras untuk menyelesaikan masalahnya. “Nanti sajalah dipikir, jatuh temponya masih lama ini”, katanya selalu. Ketika sudah dekat, baru kelabakan. Akhirnya harus mencari hutangan lain yang lebih besar dengan bunga yang lebih mencekik. Karena tidak ada pilihan lain dengan waktu yang mendesak. Kemudian dia bisa bersantai beberapa waktu. Tidak memikirkan hutang yang ditanggung. Saat hutang ini jatuh tempo, kelabakan lagi. Akhirnya harus melepas rumah warisan sebagai jaminan hutang. Ini salah satu bentuk adversity quotient rendah yang terbawa terus sampai dewasa. Lari, bukan menghadapi.
Yang lebih parah adalah menghindari kesulitan dengan memakai narkotika, melarikan diri dari kenyataan, melamun, berhalusinasi yang indah-indah. Ketika kebutuhan mendesak maka segala cara dipergunakan. Kriminal, menipu orang, pergi ke dukun untuk bisa kaya mendadak, atau pasang susuk agar omongan dipercaya orang. Bagaimana bangsa bisa besar jika adversity quotient rendah. Bagaimana bangsa tegak di hadapan bangsa lain kalau daya tahan minim. Apabila ingin bangsa menjadi maju maka keuletan menghadapi kesulitan, ketabahan menghadapi tantangan, daya tahan dalam bekerja keras harus menjadi budaya bangsa.
Banyak yang mengikuti artis idola. Bukan kerja kerasnya dalam berlatih, tapi mengikuti tampilannya saja. Artis memakai tato, mereka ikut. Artis memakai anting lingkaran besar di telinga kiri, mereka memakai yang sejenis. Artis memakai sepatu merek tertentu, mereka beli juga (meski kadang KW). Kerja keras artis untuk mencapai tingkatan profesional tidak mereka lihat. Yang instant dan mudah ditiru hanya tampilan saja.
Negara butuh orang-orang dengan adversity quotient tinggi. Bertahan hidup dalam keadaan sulit. Bekerja keras walau sinar terang tidak tampak. Ulet dan tahan uji meski pun dalam tekanan. Bekerja jujur walau dicemooh. Terus berkomitmen membangun bangsa dalam senyap. Negara benar-benar butuh.
Selamat hari pahlawan.
Pamulang, Nopember 2019