Ibu saya meninggal hari Ahad tanggal 21 Juli 2013 atau 12 Ramadhan 1434 Hijrah. Beliau menyusul ayah yang sudah lama menghadap Illahi. Berita wafat ibu sangat singkat, tidak ada rumah sakit maupun dokter terlibat. Pagi hari masih bisa duduk berjemur di luar. Memang sudah lama beliau tidak bisa berjalan. Jadi didudukkan di kursi roda dan didorong ke luar rumah. Masih bisa berbicara dan berkomunikasi. Tapi makan pagi susah. Jadi hanya diberi minum air tajin.
Ibu tinggal dengan kakak perempuan saya di Kebon Nanas, Jakarta Timur. Saya tinggal di Cimanggis, Depok. Ketika ada telpon dari kakak bahwa ibu susah bernafas dan harus dibawa ke rumah sakit, saya langsung mandi dan berganti pakaian. Belum sempat keluar rumah, ada telpon lagi bahwa ibu sudah berpulang.
Kami sekeluarga segera berangkat ke rumah kakak. Sepanjang jalan berpikir betapa ibu tidak ingin merepotkan kami-kami. Sakaratul maut beliau sangat singkat. Dalam hati saya ingin seperti itu. Sakaratul maut yang singkat, tidak merepotkan orang lain. Karena saya mendengar dan melihat banyak orang yang sakaratul mautnya lama, bahkan sampai berbulan-bulan.
Sepanjang perjalanan ke rumah kakak, pikiran saya menerawang ke masa lalu.
*****
Saya dahulu tinggal di Abu Dhabi, UAE selama bertahun- tahun. Hidup tenteram sebenarnya. Tidak ada gejolak, anak manis-manis dan lingkungan menyenangkan. Kehidupan yang bagaikan surga. Tiap hari Jumat kami menelepon ke Indonesia. Dan tiga tahun terakhir sering kali ibu menanyakan kapan saya pulang. Ketika saya jawab nanti bulan Juli akan pulang, ibu mengatakan “Itu kan cuti. Kapan pulang?”. Dan saya tahu bahwa yang dimaksud pulang adalah pulang menetap kembali di Indonesia.
Setelah menimbang-nimbang, berpikir-pikir, mengalisa lama, saya memutuskan pulang dan menetap kembali di Indonesia. Itu terjadi setelah tiga tahun ibu menanyakan kapan saya pulang.
Keputusan yang berat, karena iklim sungguh sangat menyenangkan di Abu Dhabi. Tapi keputusan pulang ke Indonesia sudah bulat. September 2011 saya kembali ke tanah air yang “batu dan kayu jadi tanaman”. Dan keputusan pulang itu tidak pernah saya sesali.
Di Indonesia, selama hampir 2 tahun saya puas bercengkerama dengan ibu. Bercanda, menggodanya, tertawa bersama. Enam bulan terakhir memang beliau tidak dapat berjalan. Dan ingatan sudah sangat menyurut. Beliau tidak kenal cucu-cucu, bahkan anak sendiri. Saya satu-satunya orang yang masih dikenal baik oleh beliau. Bahkan kakak saya yang tinggal serumah dengan ibu tidak dikenal lagi. Tiap kali kakak mendekat selalu ditanya ibu: “Kamu siapa?”. Tapi tiap kali saya datang, beliau bisa menyebutkan nama saya dengan benar. Saya sangat bangga dengan itu.
Ketika beliau sudah mulai sukar mengucapkan kata-kata, ada satu kalimat panjang yang tetap bisa diucapkan beliau. Yaitu ketika saya berpamitan pulang dan mengucapkan salam, beliau secara lengkap menjawab: “Wa alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh”. Itu kalimat terpanjang yang bisa diucapkan beliau hingga akhir hayat.
****
Saya biasa ke rumah kakak untuk menengok ibu di hari Ahad. Di hari Ahad itu kami sekeluarga sudah berencana ke sana di sore hari. Tapi takdir berkehendak lain, Allah swt telah memanggil ibu sebelum saya ke sana. Dengan sakaratul maut yang singkat. Dengan tidak merepotkan keluarga ataupun rumah sakit. Bahkan dokter pun tak sempat dipanggil.
Semoga diampuni dosa-dosanya, dinaikkan derajatnya, dihindarkan dari siksa kubur dan siksa neraka, ditempatkan di sisiNya di surga kelak. Amin.
****
Sebulan sebelum meninggal, ibu sukar BAB (buang air besar). Sampai perut beliau menggembung dan keras. Oleh keponakan yang dokter, ibu diberi obat. Dua hari kemudian beliau bisa BAB banyak sekali. Tapi berikutnya setelah obat dihentikan, BAB sukar lagi. Demikian terus.
Tapi tiga hari sebelum meninggal, ibu dapat BAB setiap hari. Kami sangat gembira bahwa ibu telah sembuh. Tapi ketika ibu meninggal, kakak mengatakan: mungkin ibu ingin menguras isi perut tiga hari sebelumnya agar meninggal dalam keadaan bersih. Benar-benar tidak ingin merepotkan.
****
Ada lagi kejadian unik setelahnya. Ibu mempunyai tabungan yang kartu ATM-nya dipegang kakak. Ketika ibu meninggal, kakak saya tidak bisa mengambil habis uang di tabungan tersebut karena ada minimal saldo Rp 100 ribu yang tidak bisa diambil.
Setelah diambil terus, di tabungan tersisa Rp 122 ribu yang tidak bisa diambil. Pecahan terkecil di ATM adalah Rp 50 ribu. Pengambilan dengan pecahan terkecil selalu gagal karena menyebabkan saldo menjadi di bawah saldo minimum Rp 100 ribu.
Kakak menggerutu panjang pendek karena tabungan tidak bisa diambil seluruhnya. Sedang pengambilan dengan buku tabungan perlu tanda tangan ibu, yang tentu saja tidak bisa dilakukan.
Pada esok harinya, ada tas ibu yang ditemukan. Ketika dibuka-buka, di dalamnya terdapat uang Rp 122 ribu, sama jumlahnya dengan uang yang tidak bisa diambil di tabungan. Seakan-akan kami mendengar ibu mengatakan: “Mengapa ribut dengan uang segitu. Ini ibu ganti kontan”. Kami malu dengan “suara” ibu tadi …
***
Pada akhirnya, semua yang hidup akan meninggal. Kita boleh mencintai apapun, tapi kita harus ingat bahwa suatu saat kita akan berpisah dengan yang kita cintai. Selamat jalan, ibu. Kami akan selalu mengingat nilai-nilai yang selalu ditanamkan ibu yaitu menjalin silaturahim, mengumpulkan keluarga, dan senantiasa mengulurkan tangan untuk membantu sesama. Tiga nilai yang selalu didengungkan dan dipraktekkan oleh ibu. Semoga kami bisa meniru dan melestarikan nilai-nilai tersebut.
Salam kami untuk ibu, wanita yang pertama kali mengenalkan dunia kepada kami. Merawat dan tidak meminta imbalan. Memberi dan tidak mengharap dibayar kembali. Menyayangi dan tidak peduli apakah cintanya berbalas.
Depok, Juli 2013