Seribu Jalan

Saya tidak takut sinar matahari. Saya senang berjemur di halaman rumah saat pagi hari untuk mendapatkan hangatnya. Sering saya heran dengan orang-orang yang menghindari matahari. Lah, orang dari negara dingin berpayah-payah pergi ke negeri tropis untuk mendapatkan sinar matahari, kok kita yang sudah mendapatkan berkah matahari sepanjang tahun malah menghindarinya.

Kalau hanya berjemur saja, kelihatan kurang berguna. Orang kok kerjanya hanya berjemur. Maka saat berjemur saya juga mencabuti rumput liar di halaman depan rumah.  Jadi dapat dua burung sekali timpuk.

Ada rumput yang akarnya kuat. Perlu tenaga ekstra untuk mencabutnya. Ini membuat berjemur saya lebih berguna lagi. Pertama mendapat sinar matahari, kedua membuat halaman bersih rapi, dan ketiga berolah raga mencabut rumput liar sekuat jari.

Ada juga rumput yang akarnya lemah. Tidak perlu tenaga untuk mencabutnya. Lebih mudah dan lebih cepat membersihkan halaman kalau semua rumputnya seperti ini.

Tadinya saya berpikir ini rumput lemah sekali. Gampang dicabut dan dibersihkan. Tapi setelah saya amati lebih jauh, ternyata rumput lemah ini ketika dicabut akarnya patah. Sebagian besar akar masih berada di dalam tanah. Beda dengan yang berakar kuat. Ketika dicabut terangkat dengan hampir semua akar.

Akibatnya, rumput lemah dapat berkembang lagi dengan cepat. Akarnya masih banyak di dalam tanah. Sedang rumput kuat tumbuh lebih lama setelah operasi pembersihan. Karena akar di dalam tanah tinggal sedikit. Ck ck ck… Makhluk hidup punya bermacam cara untuk mengatasi masalah mereka.

Yang satu sangat kuat, sehingga orang atau makhluk lain sukar mencabutnya. Sedang yang satu lagi sangat lemah. Sehingga akar mudah putus. Tapi kemudian berkembang lagi dengan akar yang bersembunyi di dalam tanah. Yang di atas tanah biarlah dicabut dan dibuang. Tapi simpanan akar di tanah menjadi sumber tunas baru.

Mirip cicak. Ketika ada bahaya dia memutuskan ekornya. Nanti bisa tumbuh lagi. Tapi dia selamat berlari dari musuh. Inilah banyak ragam cara makhluk mempertahankan diri.

–oOo—

Saya punya teman ahli bela diri. Pernah juara nasional PON. Sering bertanding di gelanggang dengan hasil menang gemilang. Di luar gelanggang pun sering dia bertanding (baca: berkelahi). Selalu percaya diri bahwa dia bisa mengalahkan lawan. Dan memang demikian. Dia melatih banyak anak muda di mana pun dia berada. Sehingga praktis tidak ada yang berani mengganggu dia.

Teman yang satu lagi tidak bisa berkelahi sama sekali. Dia bercerita saat kecil dia lemah dan sering dibully. Akhirnya dia ikut olah raga bela diri. Setelah berlatih beberapa lama, diadakan latih tanding. Dia kebagian melawan teman yang kuat. Ketika terpukul ulu hati, dia langsung pingsan. Setelah itu dia keluar, tidak lagi ikut latihan. Mencoba pindah ke olah raga bela diri lain. Saat latih tanding, dia sudah deg-degan dan berkeringat dingin. Takut kena pukul sampai pingsan lagi. Benar, kembali dia terpukul pingsan. Sejak saat itu dia tidak lagi ikut latihan bela diri apa pun. Kapok, katanya.

Maka dia mengalihkan perhatiannya ke hal-hal lain yang tidak perlu kekuatan tubuh. Dia belajar keras di sekolah dan universitas. Lulus dengan cepat. Bekerja di perusahaan minyak asing dan mendapat kedudukan bagus. “Ternyata tidak membutuhkan tubuh tahan pukul untuk bisa tetap hidup. Toh saya sekarang juga bisa survive biar pun tidak bisa bela diri”, katanya.

–oOo—

Begitulah makhluk hidup. Satu masalah tidak hanya punya satu penyelesaian. Tidak seperti matematika yang menanyakan berapa 2 tambah 3.  Hidup adalah menanyakan bagaimana dari Jakarta pergi ke Bandung. Sebagian besar mengatakan lewat tol Cikampek, belok ke tol Cipularang, dan keluar di kota Bandung.

Tapi ada yang tidak mau melewati jalan itu. Atau tidak bisa. Karena dia memakai sepeda motor. Maka dia harus lewat jalur Puncak, Cianjur, dan dilanjutkan sampai Bandung.

Ada pula yang tidak ingin lewat dua jalur itu. Dia naik kereta yang punya jalur sendiri. Tidak mungkin lewat tol atau pun jalan darat mana pun. Ada pula yang memilih jalur pesawat. Tentu tidak lewat ketiga jalur yang lain.

Mana yang benar mana yang salah dari keempat jalur tersebut? Yang satu tidak bisa menyalahkan yang lain. Masing-masing punya alasan, preferensi, dan kekurangan diri.

Ada yang harus berhenti di banyak tempat. Maka dia memilih naik mobil. Ada yang ingin cepat, maka dia memilih pesawat. Ada yang memilih jalan puncak karena ingin melihat pemandangan indah dan hawa dingin sejuk. Ada yang memilih tol karena tidak ingin bersaing dengan angkot dan motor.

Ada yang punya kekurangan misal penyakit sering kencing. Maka lewat tol bukanlah pilihan terbaik bagi dia. Karena untuk berhenti harus menunggu bertemu rest area. Ada yang sukar naik turun karena lutut sudah goyah. Maka naik kereta adalah pilihan terakhir.

Asal tujuan tercapai, maka jalur mana pun boleh ditempuh. Tujuan adalah Bandung. Seribu jalan bisa mencapainya. Pilih jalan yang sesuai dengan keadaan anda.

–oOo—

Contoh jelas keaneka ragaman cara mengatasi masalah adalah bagaimana manusia menghidupi dirinya. Tetangga depan rumah bekerja sebagai arsitek. Sebelah kanan jadi dosen. Depan kanan pekerja seni. Saudara saya jadi dokter. Teman saya akuntan. Jangan lupa harus ada pemungut sampah, pembersih jalan, satpam, guru. Dan masih ada ribuan profesi lain sebagai cara mencari nafkah. Adakah kita bisa menyalahkan salah satunya?

Ketika seseorang kurang cerdas, dan dia mengerjakan sesuatu dengan lambat, mungkin dia punya kemampuan lebih di bidang lain. Bukan mungkin lagi, saya yakin dia punya skill lain. Itulah cara dia nanti mengatasi masalahnya. Ada yang tidak lulus SD, tapi pandai dalam beternak burung. Ada yang sama sekali tidak tahu teknik, tapi bisa sukses sebagai pelawak. Yang tidak tahu ekonomi ternyata di kemudian hari menjadi sales yang berhasil. Allah swt tidak akan memberikan tanggung jawab kecuali Dia akan memberikan kemampuan untuk memikulnya.

–oOo—

Cara belajar pun bermacam-macam. Ada yang belajar harus ditemani musik. Ada yang ingin sepi, kalau ada musik malah tidak bisa belajar. Ada yang belajar dengan menggambar diagram. Ada yang dengan menulis rangkuman.

Beragam cara belajar adalah simbol beragam cara mengatasi masalah.

Karenanya, tidak bisa kita menyamakan satu orang dengan orang lain. Allah swt menciptakan manusia beragam. Tiap orang unik.

Saya ingat cerita seorang Indonesia yang tinggal di luar negeri. Keluarga dibawa dan anaknya bersekolah di sana. Ketika pembagian rapor, sang bapak bertanya anaknya ranking ke berapa. Gurunya langsung marah dengan sikap sang ayah, dan mengatakan semua anak punya kemampuan masing-masing yang tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Mengapa harus berpedoman pada ranking untuk menilai seorang anak? “Tidak perlu ranking-rankingan,” kata gurunya sewot. “Yang penting anak bisa bekerja sama, senang belajar, partisipatif, dan lain-lain soft skills”.

Begitulah seharusnya. Apakah seseorang berhasil ditentukan oleh ranking? Tentu tidak. Thomas Alpha Edison drop out dari SD. Dia dianggap tidak mampu belajar. Tapi kemudian ibunya dengan sabar mendidiknya. Berpuluh tahun kemudian dia menjadi ilmuwan hebat mengungguli semua guru-gurunya di SD. Guru-guru yang menganggap dia tidak mampu belajar.

–oOo—

Di jaman remaja dulu, beragam cara menarik pujaan hati. Ada yang lewat guyonan, lewat traktiran, lewat musik, lewat perhatian berlebih, lewat surat. Ribuan cara seseorang menjadi jatuh cinta. Masih ingat, bukan?

Cara menghibur diri pun beragam. Yang senang bepergian, akan jalan ke pojok-pojok dunia. Yang senang film, menghabiskan waktunya menonton. Yang senang musik akan datang ke konser. Ada lagi yang senang menyendiri, senang berolah raga, atau senang membaca.

Percayakah bahwa manusia beragam? Bahwa ada seribu jalan dari Jakarta ke Bandung? Lantas, kenapa semua orang harus mengikuti cara kita menyelesaikan masalah?

Pamulang, Juli 2019

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *